Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Menghabiskan Sabtu Bersama -Part 1

Sabtu, 24 Februari 2008

Jika Ayah tahu aku masih latihan piano tambahan dengan tujuan beasiswa musik, ia bisa melakukan apapun. Maka, ketika Ayah bertanya aku hendak pergi ke mana tadi pagi, aku spontan berkata bahwa aku akan ke rumah Jihan.

Kebohonganku yang kesekian.

Seberapa banyak aku harus berbohong pada Ayahku, hanya untuk tetap jujur pada diri sendiri?

Aku memikirkan hal itu seraya mulutku mengeluarkan kebohongan itu lagi. Ayah berkata hati-hati di jalan, dan aku segera pamit dari rumahku. Undur diri dari kebohonganku pada Ayahku.

Sesampainya di tengah perjalanan menuju OPUS, aku menelepon ponsel Jihan, dan berkata bahwa aku baru saja berbohong.

"Lo gila ya? Kalau ketahuan, gimana?"

"Gue akan tanggung jawab, Jihan. Dan gue kan memang belajar sekarang..."

"Iya, bukan belajar buat Ujian Nasional, tapi buat beasiswa lo, kan? Ya gue nggak apa-apa, tapi kalau lo yang kena akibatnya, nanti lo mau ngapain?"

Aku meyakinkan Jihan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Bahwa hari ini latihanku akan agak banyak, dan juga karena aku diajak pergi bersama Romi ke Cikini.

"Dia ngapain ajak lo ke Blue Romance?"

"Dia belum pernah ke sana."

"Terus?"

"Ya udah. Terus sekalian mau nonton layar tancap gitu di TIM, lagi nayangin Janji Joni."

"Oh, lo nge-date ama Romi? Ngomong dong dari kemarin! Kita kira lo mau latihan terus sampai malam. Rupanya lo juga mengejar cinta, hahahaha!" seru Jihan sambil tertawa.

"Nggak nge-date, Jihan. Pergi doang..."

"Ah, elo, Sof. Itu mah nge-date. Gue bilang ke anak-anak ah," ujar Jihan. Aku bisa merasakan senyum jahilnya dari tempatku.

"Heh, udah deh."

"Udah, lo pergi aja, sana. Kalau bokap lo tiba-tiba nelepon ke sini, ya udah gue bilang lo lagi ama kita."

Aku memberikan kecupan jauh dari ponselku sambil mengucapkan terima kasih.

**

Sesampainya di OPUS, kami terus latihan dari pukul sembilan pagi hingga pukul satu siang. Sudah ada dua piece yang kami coba latih: Slovanic Dances dari Dvorak tanpa melihat music sheet, serta mencoba 6 Morceaux Op.11 dari Rachmaninoff. Piece kedua adalah piece baru yang kudapatkan dari Google untuk permainan piano empat tangan.

Namun, piece dari Rachmaninoff terdiri dari 6 piece-piece yang memiliki petunjuk permainan yang berbeda-beda: ada yang harus dimainkan dengan cepat lalu semakin menghentak-hentak, ada pula yang harus terkesan 'megah' lalu perlahan turun dengan gerakan yang semakin melambat. Jika memainkannya, butuh setengah jam. Maka kami sepakat untuk hanya memainkan piece kedua dari enam piece tersebut, yang berjudul Scherzo.

Kami memainkannya dengan cepat. Tangan kami seolah tak berhenti menari. Sesekali aku melihat kearah music sheet dan dengan cepat membalikannya. Seraya kami bermain, Romi berceletuk, "Kayaknya kita harus hapalin music sheet ini deh. Ini lumayan panjang, dan kita belum pernah mainin. Jadi kita enggak biasa..."

Beberapa kali jari kami salah menekan tuts. Walau akhirnya bisa bermain hingga not terakhir, kami masih belum percaya diri dengan piece Scherzo ini.

Abeng tiba-tiba membuka pintu tempat kami latihan dan berseru memanggil Romi. "Rom!"

Romi menoleh ke belakang, ke arah pintu masuk ruang latihan kami dan melemparkan kami dua buah roti bungkus, yang hanya ditangkap salah satunya oleh Romi.

"Pasti kalian belum makan kan?" ujar Abeng sambil menutup pintu sebelum Romi sempat mengucapkan terima kasih.

Kami akhirnya istirahat sebentar dan memakan roti bungkus isi bakso ayam itu dengan lahap, sebelum akhirnya kami mulai membuka music sheet kami berikutnya: Gymnopedie dari Erik Satie. Ketika kami memainkannya, kami sama-sama terkejut bahwa kami tidak membalikkan music sheet kami sama sekali. Begitu juga dengan The Nutcracker dari Tchaikovsky.

Kami akhirnya benar-benar terkapar pada pukul setengah tiga siang. Kecapaian. Memainkan tiga piece berulang-ulang benar-benar menguras energi, bahkan ketika kami sudah menghapalnya. Namun yang paling menantang adalah memainkan piece Scherzo tadi.

"Gue ngerasa empat piece ini udah cukup banget, dan cocok banget buat kita kirim sih. Tinggal kita pertajam Scherzo," ujar Romi yang bersandar pada kaki piano. Kakinya yang berbalut jeans hitam tampak semakin panjang ketika ia selonjorkan.

Aku naik ke atas kursi piano dengan tenaga tersisa dan bersila, menyilangkan kakiku yang berbalutkan jeans biru tua. Aku melihat Romi dengan kaus abu-abu dan kemeja flanel kotak-kotak berwarna biru putih. Dan tentu saja, sneakers Converse putih kebanggaan kami, yang juga kupakai sekarang.

Sejak pagi tadi, aku bingung apakah aku harus mengenakan terusan atau celana. Namun aku lega, ketika pilihanku jatuh pada kaus lengan panjang berwarna putih dengan motif strip berwarna biru tua, yang senada dengan celana jeansku. Jika tidak, aku tak bisa bersila seperti ini setelah kecapaian main piano.

"Sof?"

"Ya?" tanyaku sambil melirik ke arah Romi yang masih bersandar di kaki piano sambil memejamkan mata.

"Yuk, ke Blue Romance, sekarang. Jangan main piano lagi..."

Aku sontak tertawa.

"Kenapa?" tanya Romi sambil membuka mata dan menengok ke samping, melihat ke arahku yang bersila di atas kursi.

"Suara lo, kayak anak kecil mau minta orangtuanya ajakin dia main..."

Romi tertawa. "Ayuk, yuk. Kita udah main lama banget, kita mau ngejar Janji Joni itu juga jam 6 sore."

Aku mengangguk-anggukmengiyakan.


____________

Hayuk dilanjutkan ke part 2! Let's go! :)

-Sheva

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro