Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Membunuh Waktu

Romi berjalan terlebih dahulu menuju gerbang utama sekolah. Ia berkata bahwa ia akan berjalan terlebih dahulu dan memintaku untuk tidak melihat ke arah pos Pak Nanang agar tidak ditanya-tanya "Mau ke mana?".

"Rom, lo sering bolos ya?" aku menghentikan langkahku di susunan anak tangga kedua yang kami lewati.

"Nggak, ini pertama kalinya, sih..." gumam Romi sambil berbalik melihatku. Ia melihatku dengan wajah seolah ia sudah melakukan ini berkali-kali, membuatku mengangkat kedua alisku terkejut.

"...Ya, tapi ini kan cuma sekali. Dan bukan pas hal penting kayak ujian atau try out. Santai lah, sesekali. Lo tahu apa yang terjadi dengan orang yang nggak pernah bolos seumur hidupnya?"

"Apa?"

"Mereka lupa caranya bersenang-senang sedikit," ujar Romi sambil menganggukkan kepalanya dengan mantap –lagi-lagi, seolah ia adalah raja bolos seantero sekolah.

"Dan kata-kata itu datang dari lo, yang nggak pernah bolos," balasku sambil memutar kedua bola mataku.

"Heits, jangan salah. Hari ini adalah hari bolos gue yang pertama. Juga hari bolos lo yang pertama kan?"

Aku mengangguk samar dan segera menghalaunya untuk cepat-cepat pergi menuju gerbang utama kami. Ia memintaku menunggu beberapa saat untuk menyusulnya agar tidak terlalu mencurigakan bagi Pak Nanang lalu menemuinya di titik tempat kedai es campur akan buka jam sepuluh pagi nanti.

Aku yakin Pak Nanang juga tak begitu memperhatikan. Ia pasti masih sibuk dengan menjepit janggut-janggut halus di dagunya dengan dua buah koin. Ia pasti akan sibuk melihat kelengkapan seragam para siswa-siswi untuk mengenakan dasi dan memasukkan kemeja ke dalam celana atau rok mereka –bukan murid-murid yang keluar.

Namun, aku benar-benar tak tahu menahu bahwa saat aku turun dari susunan tangga kedua dan disambut oleh Gilang. Ia berniat naik ke lantai atas melewati tangga yang sepi dan jarang dipakai itu.

"Lah, Sof? Mau ke mana?"

Aku yakin, mulutku sempat menganga saat melihat Gilang ada di depanku. Memang, ini bukan jam yang terlalu pagi bagi setiap siswa-siswi untuk datang ke sekolah. Hanya saja, aku tidak memperhitungkan bahwa Gilang adalah orang yang kutemui.

"Lah, kok lo pagian hari ini?" tanyaku, berusaha mengalihkan perhatian Gilang.

"Jam pertama mau dipakai buat latihan pembubaran OSIS di aula... Makanya gue datang pagian. Mau ke mana lo?" Gilang bertanya kembali padaku.

"Ngg, buku Bahasa Inggris gue ketinggalan di sekolah, eh di rumah, Lang. Jadi mau balik bentar... Duluan ya!" aku berlari meninggalkan Gilang sebelum ia sempat berkata apa pun.

Aku benar-benar berlari sekencang-kencangnya menuju gerbang utama dan berharap dengan singkat agar Pak Nanang tidak memanggilku.

Napasku baru kembali stabil ketika aku sudah melihat Romi di titik tempat kedai es campur berjualan. Ya, kedai es campur yang itu. Kedai es campur tempat ia memergoki Darius dan Kikan bersamaan.

Romi melihatku terbungkuk-bungkuk sambil mencari napas. "Sof, kenapa lo?"

Aku menumpukan badanku pada kedua tanganku yang menyentuh kedua lututku. "Aduh, gue deg-degan..."

Romi hanya tertawa sambil menepuk-nepuk punggungku sekilas. "Yuk, kita lewat sebelah sana. Nanti bisa sampai OPUS, tapi agak muter... Kita cari jalan m

Hari Rabu adalah hari di mana kami mengenakan seragam khas SMA Tirtacahya. Para siswi mengenakan kemeja putih dengan dasi berbentuk pita dan rok motif kotak-kotak berwarna hitam dan abu-abu. Sementara, para siswa mengenakan kemeja kotak-kotak bermotif sama dan celana panjang putih. Seragam kami cukup mudah dikenali. Hal itu membuatku deg-degan dan berusaha menutup kemeja dan dasiku dengan cardigan milikku.

Romi juga telah mengenakan jaketnya. Ia berjalan dengan santainya, seolah ia yakin tidak akan ada siswa-siswi SMA Tirtacahya yang menegurnya nanti di tengah jalan. Kami memang bertemu dengan beberapa siswa-siswi SMA Tirtacahya saat berjalan menuju OPUS, namun kebanyakan dari mereka adalah adik-adik kelas kami.

"Di samping OPUS ada kayak kedai gitu, jualan bubur ayam. Makan dulu ya?" tanya Romi. Aku mengangguk. Kata Romi, OPUS baru buka jam delapan pagi, dan biasanya baru ramai di pukul sepuluh pagi. Sembari membunuh waktu, kami memesan dua mangkuk bubur ayam.

Kami masuk ke sebuah kedai sederhana bernuansa biru. Sebelum masuk, aku melongok ke plang nama kedai tersebut di depan pintu. Plang tersebut bertuliskan "Bubur Ayam Herni".

Seorang bapak Tionghoa yang berusia sekitar 60-an tampak menyendokkan bubur ke dalam mangkuk-mangkuk bergambar ayam jago. Ia dibantu seorang laki-laki muda Tionghoa usia 20-an. Pekerjaannya ialah menaburkan suwiran ayam, potongan cakwe, seledri dan bawang goreng.

Beberapa orang tampak mengantre di depan pintu, masih dengan piyama dan sandal jepit. Beberapa orang lainnya tampak berdiri di belakang kasir yang ada di sebelah kiri tempat menyiapkan bubur. Kasirnya adalah seorang ibu Tionghoa yang tampaknya tak jauh berbeda usianya dengan bapak yang menyiapkan bubur. Mungkin itu adalah istrinya.

"Om, aku pesan dua bubur ayam. Yang satu, tanpa seledri. Lo punya lengkap?" tanya Romi sekilas padaku. Aku mengangguk. Pria muda itu mencatat pesanan kami dan mengangguk –tanda pesanan kami telah dicatat dan akan disiapkan.

Kami duduk di sebuah meja untuk dua orang, dekat dengan tulisan "Sedia: Asinan Mangga dan Jus Terong Belanda".

"Gue sering makan di sini sama keluarga gue. Terus gue juga jadi makin sering ke sini kalau malam-malam. Siang ampe sorenya mereka tutup, masak lagi mungkin panci-panci berikutnya..." Romi terkekeh.

Romi dan aku membicarakan tentang makanan-makanan favorit kami. Ia baru mengetahui tentang aku yang tak bisa menolak nasi goreng, tidak gemar makan apel dan menyukai kopi panas. Aku juga baru mengetahui tentang dirinya yang menggemari bubur ayam, membenci seledri dan tidak terbiasa minum kopi.

"Seriusan, lo enggak suka minum kopi?" tanyaku terkejut. Dua bubur ayam pesanan kami sudah datang. Sembari menyantapnya, kami melanjutkan pembicaraan kami tentang makanan favorit.

"Bukan enggak suka sih. Enggak terbiasa. Mungkin kalau gue udah tua, gue baru bisa suka..." ujarnya dengan mulut penuh bubur ayam.

"Gue tahu ada tempat kopi yang enak. Mungkin lo kalau ke sana, lo bisa suka. Nama tempatnya Blue Romance, di Cikini. Tahu nggak lo?"

Romi menggeleng. "Boleh lah kapan-kapan kita ke sana kalau gitu..."

Aku tersentak saat mendengar kata 'kita'. Namun aku cepat-cepat menyendoki bubur lagi ke dalam mulutku sambil mengangguk-angguk , berusaha bersikap biasa saja. "Ya boleh, kapan-kapan..."

"Lo kenapa enggak suka makan apel?" Romi lanjut bertanya sambil melihat ke arahku. Mulutnya masih terus mengunyah buburnya.

"Buahnya keras. Garing-garing gitu, enggak lembut kayak pisang," jawabku dengan muka mengernyit, membayangkan kerasnya buah apel di mulutku. 

"Dijus aja kalau gitu," celetuk Romi. "Apel tuh sehat lho.. Sebutir apel setiap hari bisa bikin hari lebih baik..."

"Kata siapa?" aku mendengus sambil meletakkan sendok buburku.

"Kata gue," Romi terbahak sambil menyantap buburnya kembali.

Entah apa yang Romi rasakan, namun aku sangat senang bisa mengetahui makanan yang ia sukai dan ia benci. Bahkan ketika tempat kami membunuh waktu bersama hanyalah sebuah kedai bubur sederhana, pembicaraan kami terasa sangat menyenangkan.

Namun, pikiranku sering sekali merasa bahwa aku tidak boleh merasa senang sedikit. Ya, aku merasa seperti itu. Karena tepat ketika hatiku terasa senang, pikiranku membawaku kembali kepada perkataan Gilang : hari ini adalah gladi resik pembubaran OSIS sebelum acara akan diadakan hari Jumat –seperti yang dikatakan di papan mading sekolah.

Hari ini adalah hari di mana harusnya Romi bertemu dengan Kikan dan Darius.

Namun, ia ada di sini bersamaku. Ia melewatkan gladi resik terakhir ini.

Apa ia membawaku ke OPUS hari ini hanya untuk menghindari Kikan dan Darius?

Mendadak bubur nikmat ini terasa tak ada rasa. Mungkinkah Romi melakukan hal itu kepadaku? Jika ya, bukankah itu sedikit keterlaluan?

"Rom..."

"Ya?"

"Hari ini hari gladi resik terakhir, kan? Bukannya harusnya lo di sekolah?"

Romi terdiam.

____________________________________________

Hai guysss,

Update kali ini telat 2 jam... Maafkan aku yaaa :((((

Tapi, update kali ini adalah update favoritku juga, karena di sini, fokusnya benar-benar lagi cuma antara Romi dan Sofia saja. Pembicaraan pianonya tidak ada.

Di sini aku menuliskan Sofia dan Romi yang bercerita tentang hal-hal di luar mimpi mereka -tentang makanan kesukaan, tentang kopi, hingga tempat makanan favorit . Pokoknya, tentang hal-hal yang dibicarakan kedua orang yang ingin lebih kenal satu sama lain (ciye).

Di sini, aku juga menyelipkan tentang kedai Blue Romance -kedai kopi yang juga adalah judul buku pertamaku. (sekalian promosi, hehee. Beli "Blue Romance" di toko buku online yaaa. Di toko buku besar sudah agak susah *colek Bentang Pustaka untuk nambah stok hehehe*)

Tapi, apa ya alasan Romi ingin bolos hari ini? Apakah karena menghindari Kikan dan Darius? Atau kenapa ya?

Ikuti terus kisah lanjutannya ya. Happy reading and see you on the next update! Ikuti juga blogku di dearsheva.wordpress.com dan Twitterku di (at)dearsheva hehehe :)

Thank youuuu!

-Sheva

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro