Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Hari-hari yang Sulit [part 1]

Jumat, 14 Maret 2008

Jika biasanya aku dan Romi berlatih hampir setiap pagi di ruang musik, beberapa minggu ini, kami tidak lagi melakukannya.

Tepatnya, aku memilih untuk tidak melakukannya.

Latihan pagi terakhir kami adalah di hari Rabu beberapa minggu lalu –hanya beberapa hari sejak kabar tentang Ayahku. Pada sebuah latihan kami di sore hari, aku mengatakan kepada Romi bahwa latihan pagi ini akan sangat sulit dilakukan ke depannya.

"Wah, jadi tiap pagi, kita nggak latihan lagi?" Romi terkejut. Ia benar-benar terkejut. Wajah seperti itulah yang kulihat ketika ia melihat Kikan bergandengan dengan Darius ke dalam kedai es campur.

"Iya, sekarang setiap pagi, Nyokap gue minta dibantuin masak dulu dan beres-beres..." ujarku sambil menelan ludah, berusaha membuat tenggorokanku yang sedang berbohong ini tetap terdengar normal. Aku semakin menyandarkan bagian depan tubuhku pada Bleki, menunduk dan berusaha melihat ekspresi Romi.

"Ohhh..." balas Romi. Ia lanjut memainkan bagian primo dari The Nutcracker. Wajahnya tampak serius menekuri permainannya. Aku tak tahu apa yang ia rasakan. Mungkinkah ia kecewa?

"Gapapa, kan, Rom?" aku semakin menunduk.

"Gapapa," jawab Romi sambil tersenyum.

Maka sejak hari itu, latihan kami di sekolah hanya setiap sore, pada hari di mana orkestra sekolah tidak menggunakan ruang musik dan aku sedang tidak les Bahasa Belanda. Kami masih berlatih bersama Ibu Yeni di tempat lesku, dan di OPUS saat akhir minggu.

Namun, jika ditambah dengan latihan setiap pagi, aku rasa aku tidak akan bisa melakukannya. Setiap kali bertemu Romi, aku seperti dipukul berulang-ulang, dipaksa untuk berkata sejujurnya. Dan juga, aku belum menemukan waktu yang tepat untuk mengatakannya.

Menuju berakhirnya pendalaman materi Biologi –yang rasanya membuatku mual melihat nama-nama organ dan jaringan yang perlu dihapalkan, Jihan menoleh padaku yang duduk di belakangnya. "Lo udah ngomong yang sejujurnya, belum?"

Aku menoleh ke teman sebangkuku dan melotot ke arah Jihan. Aku enggan membahasnya saat ada orang-orang yang tak terlalu dekat denganku mendengarnya.

"Udah belum?" desak Jihan.

Aku dengan cepat menggeleng. "Belum nemu waktunya..."

"Hhh... Sofia. Dengar ya, tidak akan pernah ada waktu yang tepat. Cepat atau lambat, dia berhak tahu."

Ketika pendalaman materi Biologi sudah berakhir, aku menoleh ke jendela kelas dan melihat Romi sudah ada di luar kelasku. Ia pasti langsung keluar setelah pendalaman materi Matematikanya usai. Ia bersandar membelakangi jendela kelasku.

Perasaan dalam diriku setiap kali melihatnya masih sama: semangat, optimis dan senang yang selalu bercampur menjadi satu. Tapi, terutama minggu-minggu belakangan ini, aku melihatnya dan tak tahu apa yang kurasakan. Jujur seharusnya hal yang mudah bukan? Mengapa belakangan ini hal ini jadi sulit kulakukan untuk Romi?

Terngiang di kepalaku apa yang dikatakan Gilang. Semua menjadi sulit karena aku menyukainya. Dan jika kita menyukai seseorang, kita tak akan tega melihatnya kecewa, bukan?

Aku menghalau pikiranku dan segera berkemas. Dari posisiku berdiri, aku melihat sekilas Kikan dan Romi saling mengangkat alis. Seolah berkata 'halo' tanpa suara.

Romi dan aku berjalan seperti biasa menuju tempat les Ibu Yeni. Ia bicara macam-macam. Tentang istirahatnya tadi siang, dan bagaimana Todi masih getol menggoda adik-adik kelas namun tak kunjung ada yang mau jadi pacarnya. Juga, tentang Herman yang mengobrol bersamanya di kantin. "Dia nanya tentang lo, tuh."

Aku tersentak. "Nanya apa?"

"Dia nanya-nanya aja, gimana latihannya, gitu-gitu..." jawab Romi.

Aku membiarkan jeda panjang menggantung di udara. Memikirkan Romi, beasiswa, kesehatan Ayah dan Ujian Nasional sebentar lagi membuat otakku mau pecah. Aku tak ingin mengambil risiko itu lebih lanjut dengan mulai membahas soal Herman.

Kami sampai di tempat lesku dan Ibu Yeni menyambut kami yang masuk ke ruangan latihan berlapis karpet abu-abu itu dengan senyum lebar. "Coba tebak, Ibu bawa apa buat kalian?"

Ibu Yeni mengeluarkan dua lembar tiket. Di tiket itu, terpampang seorang laki-laki berwajah Eropa dan seorang perempuan berwajah Jepang. Romi menunjuk dua tiket tersebut dan bertanya, "Itu siapa, Bu?"

"Ada resital permainan piano empat tangan nih, dari Duo Ykeda. Acaranya tanggal 23 Maret nanti, hari Minggu, di daerah Menteng. Kebetulan, anak dari sahabat Ibu akan menikah tanggal itu. Mumpung kalian lagi jadi four hands piano player gini, kalian aja deh yang nonton."

Aku menggigit bagian bawah bibirku. Harus dengan alasan apa lagi aku menolak tawaran ini? Beberapa kali setelah kami berlatih di akhir pekan, aku menyerah menuruti keinginan Romi untuk makan bersama. Aku sudah merancang alasan agar tidak berlatih di pagi hari. Try out dan ulangan umum kemarin sudah menjadi alasan yang pernah kugunakan.

Sekarang, tak ada ulangan apapun untuk dijadikan alasan. Kami hanya tinggal menunggu Ujian Nasional.

"Yuk, bareng?" Romi bertanya padaku. Wajahnya tampak antusias sembari menunjukkan dua tiket resital yang sudah ia genggam. Aku hanya tersenyum lebar dan mengangguk.

**

Minggu, 23 Maret 2008

Aku belum pernah mendengar tentang Duo Ykeda sebelumnya. Namun, Ibu Yeni memberi kami sebuah katalog daftar pertunjukkan budaya asal Perancis yang sudah ia terima sebelumnya. Di dalam deretan pertunjukkan budaya yang ditampilkan, Duo Ykeda menjadi salah satu figur yang meramaikan acara bulan itu.

Aku memakai terusan berwarna hitam dengan lengan pendek dan sepatu hak datar berwarna hitam juga. Aku tampak seperti akan ke pemakaman, tapi hanya ini pakaian terbaik yang kupunya.

Ayah dan Ibu sedang pergi berkunjung ke rumah Om Arthur, adik Ayah yang juga adalah partner di law firm Ayah. Maka dari itu, aku meminta Romi menjemputku di rumah pukul lima sore. Romi tak akan bertemu Ayah –dan tak perlu bertemu dengannya. Ayah tak perlu tahu bahwa anaknya ini memiliki partner in crime dalam usahanya mendapatkan beasiswa itu. Aku tak perlu menambah lebih banyak kerepotan antara Ayah dan aku.

Romi sampai dengan pakaian yang lebih rapi dari biasanya –kemeja hitam lengan panjang dengan celana jeans berwarna gelap, dan sepatu Converse putihnya. Setelah berpamitan dengan Bibi Diah yang mejaga rumahku, kami segera berangkat dan sampai di gedung pertunjukkan itu pada pukul enam sore. Acara akan dimulai tepat pada pukul tujuh malam.

Kami duduk di ruang tunggu dan bicara tentang kapan terakhir kali kami pergi ke resital. Rupanya, sejak sama-sama duduk di kelas tiga, kami sudah lama tidak pergi ke resital. Ini adalah resital kami yang pertama di tahun ini.

"Kalau lo... Pianis pertama yang bikin lo mau main piano siapa sih?" tanyaku pada Romi. Kami duduk bersisian pada sebuah kursi panjang dari kayu yang bersandar pada dinding. Kursi itu berhadapan dengan pintu aula pertunjukkan yang masih ditutup dan dijaga panitia.

"Hmmm... Dulu, gue tuh baca komik tentang tokoh-tokoh dunia penting gitu. Lo tau nggak? Namanya Seri Tokoh Dunia." Romi menoleh padaku sambil menggulung lengan kemejanya hingga ke siku.

"Oh, kayaknya tahu deh. Dulu gue pernah baca. Ada Leonardo Da Vinci, Galileo Galilei... Gitu-gitu?"

Romi mengangguk. "Iya, yang itu. Dulu gue baca tentang Mozart. Dan, udah. Sejak baca itu, gue kepikiran kayaknya seru jadi kayak Mozart. Bisa ke banyak tempat dan main piano. Simpel banget ya?"

Aku ikut tertawa bersama dengan Romi. Kami sering mengobrol, tapi baru di hari inilah aku tahu kesukaannya bermain piano diawali dari sebuah buku komik.

"Kalau lo?" tanya Romi. "Siapa pemain piano yang bikin lo merasa 'gue mau main piano terus'?"

Tanpa berpikir keras, aku kembali menceritakan tentang sebuah tayangan di televisi yang kutonton bersama ibuku saat aku duduk di kelas enam SD. Aku menghabiskan banyak waktuku untuk les piano, namun aku tak pernah memikirkan bahwa cita-citaku adalah menjadi pianis. Namun, saat menonton acara tersebut, aku melihat seorang anak kecil tanpa kaki yang bermain piano dengan sangat lincah. Ia tampak bahagia memainkan piece Chopin, dan jari-jarinya sangat lincah.

"Lalu, Ibu gue bilang: 'Banyak orang yang punya kekurangan dan ketidakpastian dalam hidup, tapi mereka selalu punya jalan keluar: menekuni hal yang mereka sukai. Pikirkan apa yang kamu suka, Sofia. Maka, setiap kekurangan dan ketidakpastian dalam hidupmu, bisa kamu atasi...' Gitu. Udah, dari situ, gue mulai..." aku hampir berkata 'mau jadi pianis'. Aku buru-buru berkata, "...serius main piano."

Romi mengangguk-angguk sambil tersenyum. Ia memajukan posisi duduknya dengan menumpukan kedua ujung sikunya pada paha. Ia menopang dagu dengan tangan kanannya dan menoleh padaku yang duduk di sebelah kirinya. "Nyokap lo pasti bangga sama lo, ya."

Aku tertawa dan berkata, "Setelah itu, dia bosan banget sih dikit-dikit gue tanya dia tentang piano. Sekarang gue dikit-dikit tanyanya ke Ibu Yeni."

Romi tertawa sambil terus memandangku. Tawa kami akhirnya berangsur hilang. Namun, ia masih terus menopang dagunya dan melihat ke arahku. Ia membuka mulutnya, namun ia tak mengatakan apa-apa.

"Kenapa, Rom?"aku ikut memajukan posisi badanku dan menopang daguku dengan tangan kiri, memandang Romi yang duduk di sebelah kananku.

Romi terkekeh. Sambil terus menopang dagunya, ia berkata, "Nggak deh. Nanti aja. Habis Ujian Nasional aja kita ngomongnya."

Aku mengernyit ragu. Namun, Romi akhirnya mengubah topik pembicaraan kami. Kami akhirnya bicara macam-macam: film favorit, apakah ia punya band kesukaan, siapa penyanyi favoritku –segala topik yang penting-tapi-tidak-penting sebelum akhirnya pintu aula pertunjukkan dibuka.

Kami akhirnya melihat bagaimana Duo Ykeda beraksi dengan piano mereka. Mereka sangat lincah, menghibur namun juga memiliki energi yang benar-benar menghisap perhatian kami dari awal hingga akhir. Romi dan aku menghabiskan setiap menit dalam diam, mengagumi permainan Patrick Zygmanowski dan Tamayo Ikeda itu. Pertunjukkan itu pun penuh dengan penonton. Seusai pertunjukkan, kami semua berdiri dan bertepuk tangan.

Romi dan aku terus membicarakan tentang teknik permainan mereka yang seolah diatur-tapi-terlihat-natural itu. Kami akhirnya sampai di rumah dan aku memberikan helm yang kupakai pada Romi dan mengucapkan terima kasih.

"Nanti kita latihan lagi aja ya, Selasa sore." Romi melambaikan tangannya padaku dan berlalu dari depan rumahku.

Bibi Diah rupanya menungguku di ruang televisi. Ia berkata bahwa kedua orangtuaku akan terlambat pulang dan aku diminta beristirahat terlebih dahulu karena besok harus sekolah. Aku mengucapkan terima kasih dan kembali ke kamar.

Lalu aku tersadar akan sesuatu. Romi bilang, ia akan berkata sesuatu setelah Ujian Nasional selesai. Apa yang akan ia katakan?

---------------------------

Hi semua,

Cerita ini akan berakhir besok!! Wahhh! Pastikan kalian semua sudah membacanya sampai part akhir ya. Karena sebentar lagi, cerita ini juga akan ada deadlinenya untuk dibaca di Wattpad.

Seraya Sofia menjalani hari-hari yang sulit untuk menghindari Romi, ia merasa menemukan Romi dan mengenal Romi lebih dalam. Tapi, apa ia akan terus dapat kesempatan itu?

Ikuti terus kisahnya ya. Aku pun belum ingin cerita ini berakhir.


Terima kasih! Happy reading.


-Sheva


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro