Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dilema -part.1



Maka, jika kamu bertanya padaku, tanggal apa yang selalu kuingat?

Ada banyak tanggal yang kucatat di buku harianku. Tanggalku latihan pertama kali bersama Romi, pergi bersama ke OPUS, piece-piece apa saja yang kami coba. Tapi aku tidak akan lupa tanggal hari ini. Tanggal di mana Ayahku sangat marah hingga pianoku raib dari tempatnya.

Ayah tidak berteriak-teriak padaku seperti saat ia memarahiku di ruang makan sebelumnya. Atau saat aku bolos les Bahasa Belanda. Ia memintaku duduk di kursi meja makan, tepat di sampingnya.

Aku hanya bisa menutup mataku sejenak ketika tersadar apa yang Ayahku letakkan di atas meja. Secarik kertas yang seharusnya sudah kubuang, atau kubakar jauh-jauh dari rumah ini.

"Kamu mau lamar beasiswa ini? Beasiswa..." Ayah memakai kacamatanya dengan cepat lalu membacakannya lagi. "...Jeanne Wang Foundation & The Juilliard School Solo Pianist Scholarship Program."

Aku mengangguk. Formulir itu sebenarnya tidak kugunakan lagi, namun masih kusimpan. Aku bertanya-tanya bagaimana formulir ini bisa sampai ke tangan Ayah.

"...Ayah curiga kamu pergi pagi setiap hari. Bahkan sampai hari Sabtu juga. Now I know why," Ayah menghela napas sambil melempar kertas formulir itu kembali ke atas meja. "Kamu tahu kan kamu enggak bisa melakukan ini?"

Aku tahu, membalas ucapan Ayah tidak akan membawa kebaikan apapun nanti. Aku hanya terdiam menunggu apa komentar Ayah berikutnya.

"Kamu nggak boleh main piano di rumah ini lagi. Ngerti? Piano kamu akan Ayah buang, dan kamu silakan main di sekolah atau di tempat les."

Aku mengernyit lalu memberanikan diri menatap Ayah. "Maksudnya, Yah?"

"Ayah akan berikan kamu kesempatan main piano sampai Ujian Nasional nanti. Kamu silakan pikir. Jika kamu tidak jadi ikut beasiswa ini, semua aplikasimu ke Belanda akan Ayah bereskan di akhir April. Jika kamu tetap kekeuh ikut beasiswa ini, Ayah yang akan pergi dari rumah."

Mataku terasa mencelat keluar, panas dan penuh air mata yang seperti dicungkil keluar ketika mendengar kata-kata Ayah yang terakhir. "Jangan, Yah."

"Ayah yang akan pergi dari rumah. Sekarang kamu pilih yang mana?"

Perkataan Ayah itu terdengar kekanakan, seperti seorang anak yang mengambek karena tak diberikan apa yang ia mau. Tapi, ini mulut Ayah. Mulut yang selalu bisa membuat Ibu merasa bersalah, dan membuatku merasa harus selalu mengikuti keinginannya.

"Apa Sofia nggak bisa melakukan apa yang Sofia mau?" air mataku menetes setelah aku menanyakan hal itu.

"Bisa. Tapi bukan di rumah ini."

"Hanya karena Sofia anak Ayah satu-satunya?"

"Karena Ayah sakit, Sofia. Dan hanya Sofia yang bisa bantu Ayah."

Pintu kamar Ayah dan Ibu terbuka. Ibu keluar dari kamar dengan rambut berantakan dan pipi yang basah karena air mata. Namun, wajah Ibu sama terkejutnya denganku. Kami tak pernah dengar perkataan ini dari Ayah. Kami tak pernah dengar Ayah sakit.

"Kamu sakit apa?" Ibu menghampiri Ayah sambil mengelus bahunya, tanpa bisa menghentikan air matanya yang tak kunjung berhenti.

Hari ini, aku tidak hanya tahu bahwa pianoku raib dari tempatnya. Hari ini juga kuingat karena pada hari inilah segalanya berubah.

**

Minggu, 25 Februari 2008

Aku tak memeriksa ponselku semalaman. Berita yang dikabarkan Ayah tentang dirinya yang sakit gagal ginjal membuatku tak bisa tidur.

Romi mengirimkan pesan bertuliskan 'Seru ya hari ini. Kapan-kapan jalan lagi, yuk.'

Aku baru membalasnya pukul empat sore lewat dua puluh menit. 'Iya seru banget. Terima kasih ya. Yuk, kapan jalan-jalan lagi.'

Aku melempar ponsel tersebut ke sisi samping tempat tidurku. Aku sudah bangun namun aku enggan keluar dari kamar. Aku masih menyerap apa yang baru saja kudengar dari Ayah kemarin.

Bertahun-tahun, sejak aku masih duduk di bangku SD, Ayah memang menderita darah tinggi. Namun ia tak pernah berkata apa-apa tentang ginjalnya. Yang kami ketahui selama ini adalah Ayah hanya pergi ke dokter untuk merawat tekanan darah tinggi yang ia miliki.

Tapi, kami tak tahu sama sekali bahwa dokter Ayah adalah dokter spesialis ginjal. Desember lalu, dokter spesialis ginjal itu berkata bahwa penyakit Ayah sudah mencapai stadium yang sangat parah. Ginjal Ayah sudah berhenti berfungsi, dan membutuhkan cuci darah sebagai pengobatan.

Saat itulah Ayah tahu bahwa hidupnya bisa berakhir kapan saja. Ia tak ingin hidup terus menerus dengan mengandalkan cuci darah.

Maka ia mulai memikirkan tentang kami. Tentang keluarga ini. Tekanan penyakitnya itu membuatnya sangat menekanku untuk meneruskan usahanya.

Rasanya aku ingin marah pada Ayah. Ia sembunyikan ini semua dari kami, dan akhirnya ia membuatku harus membunuh impianku sendiri. Ia bersikap berlebihan, ia meneriakiku dan membuatku merasa hancur.

Ia egois karena tak memberitahu apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Dan ia juga egois karena akibat hal yang ia lakukan, ia memaksaku mengubur apa yang benar-benar aku inginkan.

Tapi, penyakit ini bukan hal yang ia inginkan juga bukan?

Suara dari sudut pikiranku membuatku kembali meneteskan air mata.

Aku bisa merasakan ponselku bergetar. Romi menelepon.

"Halo?"

"Sof? Lagi ngapain?"

Suara Romi di seberang sana terdengar seperti Raja Midas yang kukagumi dulu –tak tersentuh masalah, dan semua di sampingnya terasa indah. Aku terdiam sejenak lalu mataku mengarah pada buku latihan untuk Ujian Nasional Kimia. "Lagi belajar Kimia buat minggu depan... Kenapa Rom?"

"Wih, prepare banget. By the way, besok pagi kita latihan lagi, gimana?"

Aku ingat Ayah berkata bahwa aku bisa bermain piano sesuka hatiku sebelum Ujian Nasional. Itu berarti aku punya satu bulan untuk semua ini. Aku tahu, Romi harus tahu tentang kebenaran ini. Bahwa bukan karena aku dipaksa Ayahku menjadi pengacara, tapi keadaan akan membuatku mengubur impian ini.

Aku nggak bisa latihan lagi, Rom. Ayahku sakit. Aku nggak akan ambil beasiswa itu. Aku akan tetap ke Belanda, dan jadi pengacara untuk nerusin apa yang Ayah mulai. Kamu pasti bisa persiapkan untuk pemain piano solo dengan mudah, dan akan dapat beasiswa itu.

Namun sebaliknya, aku malah menjawab, "Boleh, Rom." Aku menghela napas sejenak, lalu melanjutkan, "Tanggal akhirnya kapan sih untuk aplikasinya, Rom?"

"Eh? Tanggal 15 April, sih. Sebentar lagi. Pengumuman semi finalnya tuh tanggal 1 Mei, terus semi finalnya tanggal 15 Juni, habis pengumuman kelulusan. Horor banget ya, ngeri nggak sih?" ujar Romi sambil terkekeh.

Tawa Romi itu benar-benar membuatku tersenyum. Aku tahu aku tak akan lupa sifatnya yang cenderung petantang-petenteng, namun selalu berhasil membawa semangat. Bagaimana mungkin aku bisa membuat Romi kecewa?

_________

Hi guys,

Ini adalah salah satu episode paling sulit yang kubuat. Bagi saya, semua cerita memiliki dua sisi. Dan jika selama ini kita hanya mendengar dari sisi Sofia, kita lupa bahwa ada sisi dari sang Ayah yang harus kita perhatikan.

Cerita ini masih berlanjut guys, dan akan berakhir di tanggal 20 April 2017. Which means, wah tinggal 2 hari lagi?!

Kisah Sofia dan Romi masih belum selesai. Terus baca ya, sampai tanggal 20 April 2017 nanti :)

Yuk lanjut ke part 2. Tunggu ya!

Terima kasih :)


-Sheva

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro