
Bermain Bersama -part 1
Oh, Romi sudah punya pacar?
"Lah, Romi udah jadian dari tahun lalu sama Kikan. Mungkin karena mereka sama-sama di OSIS, ya. Serasi sih mereka, yang cowok jangkung, yang cewek kutilang gitu..."Sarah meremas bungkusan keripik kentangnya yang sudah habis.
"Kita juga serasi, kan?" Dimas merangkul Sarah sambil memberikan cengiran andalannya ketika ia menggoda Sarah: senyum yang terlalu lebar dan memperlihatkan semua giginya, setengah tertawa dengan alis dinaik-naikan.
Menurut Dimas, ia tampak charming dengan cengiran itu. Menurut kami, cengirannya mengingatkan kami pada Joker dalam cerita Batman (Sarah juga setuju, karena ia pernah mengatakannya pada kami ketika Dimas sedang tidak ada).
"Duh, diem aja deh, nih makan keripiknya," Sarah menepuk keras dada Dimas dengan tangan memegang bungkusan bekas keripik itu dan berlalu meninggalkan Dimas di belakang.
"Sarah, tungguin! Kaga ada keripiknya nih yang kamu kasih!" Dimas mengejar Sarah yang sudah berjalan ke arah tangga menuju lantai 3.
Jihan dan Gilang tertawa-tawa di belakang sambil berjalan mengikuti Sarah dan Dimas. Aku hanya terdiam di belakang Jihan dan Gilang. Perkataan Jihan tadi entah mengapa membuatku malas berbicara.
"By the way, pulang nanti makan Indomie yuk. Lo nggak kemana-mana kan?" tanya Jihan padaku sambil menengok ke belakang.
Aku menggeleng. "Nggak bisa. Nanti Pak Andi jemput, gue harus ke Kuningan. Les Bahasa Belanda gue kan sekarang setiap Senin dan Rabu." Pak Andi adalah supir Ayah yang selalu mengantarku dari sekolah menuju les bahasa Belanda selama setahun terakhir. Ayah benar-benar memastikan bahwa anaknya ini tidak bolos les, sehingga Pak Andi tidak hanya sebagai supir, tapi juga sebagai mata-mata untukku.
Jihan menghentikan langkahnya dan menatapku sambil menghela napas.
"Yah, lo tahu kan." Aku hanya mengangkat bahuku pelan sambil tersenyum kecil, tanda aku tak bisa melakukan apa-apa untuk hal yang satu itu: belajar sesuatu yang tidak sungguh-sungguh kuinginkan.
Karena keinginanku adalah hal yang lain. Cita-citaku adalah hal yang amat berbeda dengan keinginan Ayah.
Jihan tak bicara apa-apa. Begitu juga dengan Gilang. Namun dari mata mereka, aku melihat hal yang sama: bahwa satu-satunya hal yang tak bisa kupaksakan sekarang adalah cita-citaku sendiri.
*
Selasa, 15 Januari 2008
"Kenapa sih, kamu harus selalu lebih pagi datang ke sekolah?" tanya Ibu sambil menarik kursi di meja makan dan memberikanku segelas susu putih untuk sarapan.
Pertanyaan ini lagi, pikirku. Dengan Ibu yang mengambil posisi duduk di sampingku dan menggenggam tanganku cepat-cepat, takut jika aku akan meminum susu itu dalam satu kali teguk dan pergi secepat kilat dari rumah.
"Biasa, Bu. Aku mau pemanasan."
"Pemanasan?" tanya Ibu yang sontak mengerutkan kedua alisnya tanda tak mengerti. Aku mengangkat kedua tanganku dan menggerak-gerakkan kesepuluh jemariku, seperti sedang bermain piano di udara. Ibuku mengangguk-angguk tanda memahami maksudku.
Ayahku sedang mandi dan bersiap untuk pergi ke kantor. Sebelum ia keluar dari kamar dengan pakaian kerjanya, aku memilih untuk cepat-cepat pergi. Aku tak mau ditanya macam-macam tentang les bahasa ataupun aplikasi jurusan Hukum itu. Aku ingin menghindari Ayah sebisa mungkin.
"Nggak apa-apa juga kok kalau Sofia mau main piano di rumah. Nggak harus ke sekolah sepagi ini juga, kan?"
"Sofia bisa main lebih santai kalau di sekolah atau di tempat les, Bu."
"Memangnya kalau di sini, Sofia nggak santai?"
Aku menggeleng kecil. "Sofia sebentar lagi nggak akan main piano juga kok, Bu. Jadi untuk beberapa bulan ke depan ini aja, aku dibolehin untuk main piano sepuasnya di luar. Ya, Bu?" pintaku sambil tersenyum.
Ibu hanya mengangguk, membiarkanku menegak susuku dengan cepat dan segera memakai sneakers Converse Chuck Taylor berwarna gading andalanku untuk pergi ke sekolah.
SMA Tirtacahya hanya berjarak sekitar sepuluh menit berjalan kaki dari rumahku. Biasanya, aku sering sekali datang pada waktu yang sangat mepet mendekati jam masuk. Namun, sejak aku memasuki kelas tiga, aku lebih rajin untuk masuk kelas lebih pagi untuk pemanasan di ruang musik.
Semua terjadi setelah aku masuk kelas tiga. Ayah memintaku untuk memikirkan masa depan keluarga kami. Tidak ada yang akan meneruskan firma hukum Ayah, dan ia memintaku untuk mengambil jurusan Hukum setelah aku lulus nanti. Ayah menegurku dengan sangat keras untuk membuang mimpiku meneruskan pendidikan ke sekolah musik formal.
"Apa yang bisa didapat dari menjadi pemain piano? Kamu hanya akan jadi guru les, sama seperti guru lesmu!" Ayah membentakku dalam suatu pertengkaran di ruang makan yang disaksikan Ibu. Aku belum diperbolehkan masuk ke kamar tidur hingga pukul satu pagi. Aku dan Ayah bersikukuh dengan pendapat kami masing-masing. Semuanya berujung pada Ayah yang masih keras kepala dan aku yang akhirnya menangis.
Sejak itu, aku berusaha menghindari Ayah sekuat tenagaku.
Sejak pertengkaran itu, tempat manapun lebih nyaman bagiku selain rumahku sendiri. Aku bangun lebih pagi. Aku menyanggupi suruhannya untuk les bahasa Belanda, selama itu bisa membuatku sampai di rumah lebih malam dan tak perlu membicarakan tentang perbedaan pendapat kami. Ibu setiap hari membujukku untuk tidak menghindar, namun ia tak pernah berhasil.
Aku tersenyum pada Pak Nanang, satpam yang berjaga di pos depan sekolah. Pak Nanang mengangkat gelas kopinya dan berkata, "Ngopi dulu, Sopi.. Mau ke ruang musik lagi, ya?"
"Iya, Pak. Biar seger, hehehe," jawabku sambil sedikit bersandar pada pintu pos Pak Nanang yang terbuka.
"Kayaknya lagi ada yang pakai deh," ujar Pak Nanang sambil menunjuk jendela ruang musik yang menghadap ke bagian pintu gerbang depan sekolahku. Aku melihat jendela musik itu sudah bergeser.
Aku mengangguk pamit kepada Pak Nanang dan melangkahkan kakiku menuju tangga. Aku memikiran satu nama ketika aku berlari-lari menaiki setiap anak tangga hingga ke lantai 3. Aku melihat jam tanganku. Sekarang pukul 6.30 pagi.
Aku berlari kecil menyusuri koridor kelas 3 IPA, koridor kelas 3 IPS, hingga akhirnya sampai di koridor ruang musik.
Pintu ruang musik sudah terbuka.
Aku mendengar alunan lagu yang familier di telingaku. Lagu ini pernah diajarkan Ibu Yeni, guru les pianoku. Ia berkata bahwa lagu ini ia dengar dari sebuah film Perancis yang suaminya gemari.
Aku melihat ke dalam ruang musik, dan, ya. Aku menemukan Romi.
Ia sedang memainkan lagu Perancis itu di atas Bleki. Tangannya masih memainkan bagian awal dari lagu itu ketika ia menghentikan permainannya dan menoleh ke arah pintu masuk, melihatku berdiri di sana.
"Hei, Sof. Gue tunggu lo dari tadi," Romi melemparkan senyumnya lagi, senyuman yang sama persis seperti di kantin kemarin.
"Hah?"
"Kemarin kan gue bilang mau lihat lo main. Gue anaknya menepati janji, jadi gue datang ke sini pagi-pagi. Baru sampai 10 menit yang lalu sih." Romi tertawa kecil lalu berdiri dari kursi piano. Ia mengulurkan tangannya ke arah piano sambil melihatku, mempersilakanku untuk masuk dan memainkan Bleki.
"Kenapa?" tanyaku sambil sedikit bersandar pada pintu geser ruang musik.
"Maksudnya?" Romi menurunkan tangannya yang terulur. Ia berjalan ke arahku, mendekatiku yang bersandar di depan pintu dan ikut menyandarkan tubuhnya di tiang pintu masuk. Saat ia bersandar, barulah kusadari apa yang dikatakan Jihan itu benar. Ia memang bertubuh jangkung. Aku tak terlalu memerhatikannya saat pertemuan kami di ruang musik.
"Maksud gue, kenapa lo mau lihat gue main piano?" tanyaku sambil melihat tepat ke kedua matanya.
Celakanya, degup jantungku sedikit lebih cepat saat melihat kedua manik mata berwarna cokelat itu. Saat ia melihatku dari samping saat kami bicara tentang lagu Close to You, degup jantungku saat itu juga menjadi lebih cepat. Tapi tidak secepat sekarang.
Aku bisa merasakan jantungku berdegup semakin hebat karena dua alasan. Pertama, karena matanya. Dan kedua, karena jawaban yang keluar dari mulutnya.
____________________________________________________________________
Hai readers sekalian,
Terima kasih banyak sudah mau membaca bagian pertama dari part "Bermain Bersama". Ini adalah kali pertama Sofia dan Romi bermain bersama di ruang musik.
Tapi, kenapa ya Sofia mau bermain sama Romi? Apa sebenarnya alasan Romi mau melihat Sofia main piano? Kalau menurut kalian kenapa ya kira-kira? Aku tunggu jawaban menurut kalian ya, hihihi ;)
Hari Sabtu nanti, aku akan update kelanjutan dari cerita "Bermain Bersama" ini. Sampai bertemu hari Sabtu, ya! :)
Terima kasih!
-Sheva
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro