Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13 Februari 2008

Rabu, 13 Februari 2008

Hari ini, tepat pukul sembilan pagi waktu Australia, Perdana Menteri Australia, Kevin Rudd meminta maaf kepada suku Aborigin. Sebutan lain bagi suku Aborigin tersebut adalah The Stolen Generation. The Forgotten Australians.

Permintaan maaf diberlakukan atas kesulitan yang diakibatkan pemerintah Australia terhadap suku Aborigin antara tahun 1930an hingga 1970an karena membuat banyak dari mereka terlantar di panti-panti asuhan, terpisah dari keluarga mereka. Semua dilakukan atas kebijakan pemerintah, yang rupanya tak memberikan kebahagiaan untuk mereka.

Aku sedang memakai sepatuku ketika tayangan berita dari CNN menampilkan berita tersebut. Berita tersebut sangat singkat tapi membuatku sempat lupa bahwa aku harus menghindari Ayahku yang segera bangun pagi ketika mendengar tayangan berita dari ruang keluarga.

"Aku pergi dulu..." sahutku pamit sambil mengambil tasku dan kardiganku yang berwarna coklat. Rambut sebahuku kukuncir kuda dengan cepat dan berlalu dari ruang keluargaku.

"Sofia..." Ayah memanggilku. Membuatku berhenti seketika, berusaha meredam rasa gugup yang merayap ke dalam diriku.

"Ya?" aku menengok ke arah Ayah.

Rambutnya masih berantakan karena bangun tidur. Matanya menyipit sambil menunjuk ke arah kakiku. "Talimu belum diikat."

Aku mengangguk sambil tersenyum dan mengucapkan terima kasih sambil berlari ke luar rumah. Dari teras rumah, aku bisa sekilas mendengar suara Ayah.

"Sofia masuk sekolah jam berapa sih? Kok pagi amat?"

*

"Gue rasa kita udah mulai bisa kerucutin sih, lagu yang akan kita rekam di video prototype kita yang pertama, kira-kira apa saja. Prototype pertama mungkin bisa Waltz of The Flowers, terus A Maiden's Prayer. Gimana?" tanya Romi sambil bersila di atas bangku piano.

"Bisa. Nanti mungkin gabungin sama Excentrique-nya Horowitz, tapi kita kan belum sempat latihan tuh. Hari ini kita latihan itu saja, sama cari 1 lagi kali ya. Video prototype yang kedua ya, sisanya?" aku berjalan ke arah tempatnya bersila dan menunjukkan buku catatanku yang berisi delapan piece yang rencananya akan kami latih untuk kami rekam.

"Gila, kita ada delapan piece. Ambisius amat, ya," celetuk Romi.

"Ya, kan bisa lihat music sheet, yang penting kelenturan dan keindahan permainannya kan? Itu kan yang dinilai?"

Romi mengangguk sambil tersenyum. Tiba-tiba matanya tertuju pada sosok yang muncul di pintu ruang musik. Ada beberapa anak orkes sekolah yang muncul membawa biola.

"Lah, kalian lagi latihan buat orkes? Kalian ikut juga buat yang acara pembubaran OSIS?" tanya Rendra, seorang anggota orkes sekolah yang menghampiri kami. Aku mengenali wajahnya karena sering tampil di garda depan orkes sekolah sebagai pemain biola.

"Oh, nggak sih. Ini buat acara lain, hehehe," Romi terkekeh. Aku pun juga jadi tertawa hambar, bingung harus menambah komentar apa.

"Weh, Rom! Pacar baru?" tanya Irgi, si pemain cello dalam orkes sekolah. Ia tertawa ke arah Romi sambil menyibak kain penutup alat-alat musik lain dan mengambil sebuah cello yang tertutup pelindung hitam yang besar dan terbuat dari kulit sintetis. Cello itu milik sekolah, terlihat dari bordir merah bertuliskan "SMA Tirtacahya" di pelindungnya. Tampaknya ia memegang cello –namun aku tak begitu hapal wajahnya.

"Hah? Nggak. Apaan deh bahas-bahas pacar..." ujar Romi sambil terkekeh.

"Yah, maap gue nggak update sih. Gue juga baru tahu si Darius sekarang ama Kikan ya? Lo nggak marah si Kikan direbut dari lo?"

Suasana di ruang musik itu berubah seketika. Lima orang anggota orkes sekolah lain yang tak begitu kukenal, termasuk dengan Rendra, langsung memandang Irgi dengan pandangan rikuh. Yang dipandang tampak biasa saja, seolah perkataannya tak menyinggung siapa-siapa.

"Mulut lo selalu begitu ya?"

"Hah?" Irgi menoleh ke arahku. Kedua alisnya berkerut, seolah terkejut dengan ucapanku.

Ya, ucapanku. Aku, anak yang tak pernah terlibat pertengkaran dengan siapa-siapa, mendadak menyulut api pertengkaran dengan Irgi. Aku sudah pernah katakan bukan? Ruang musik ini, bersama dengan keadaan Romi di sini, sering membuat mulutku lebih reaktif daripada biasanya.

Namun aku tak menyangka mulutku ini bisa reaktif di depan Romi, dan di depan anak-anak lain. Dan yang pastinya akan dianggap aneh: aku membela Romi.

Untuk apa? Aku tak membelanya depan Kikan dan Darius ketika mereka bertemu secara tak sengaja di kedai es campur.

Untuk apa?

"Mulut lo selalu gatal mau ikut campur urusan orang kah? Dengan tahu info terbaru, terus lo mau apain? Bisa bikin lo tambah jago main cello?" rentetan kata dari mulutku tampak tak bisa dihentikan. Aku segera mengambil tasku di kaki piano dan pergi dari ruangan musik. Aku berjalan menyusuri koridor dan tiba-tiba dihentikan oleh Romi yang langsung mengejar dari samping dan berdiri menghalangiku.

"Lo kenapa?" tanya Romi sambil setengah tertawa. Ransel Jansport miliknya ia cangklongkan hanya di bahu kanan. Ia memperbaiki letak ransel yang ia cangklongkan itu dengan tangan kanannya sambil terus melihat ke mataku.

"Nggak suka gue sama orang-orang mulut comel. Nadanya juga ngeledek, bukan mau beneran tahu."

"Lo tahu dari mana?" tanya Romi lagi sambil setengah tertawa.

"Ya... Ya gue menyimpulkan aja sih, dari nada suaranya." Aku bisa merasakan wajahku terasa panas. Dari mata Romi, ia tampak kaget melihatku seperti itu.

Romi tertawa kecil. "Hei, lo nggak boleh terlalu cepat mengambil kesimpulan. Bisa aja abis itu dia bilang 'Duh, sabar ya bro'. Bisa aja maksud dia baik," jawabnya sambil menepuk bahu kiriku sekilas dengan tangan kirinya. Tepukan yang membuatku sempat menengok sebentar ke tangannya yang menyentuh bahuku.

"Kelihatan, lah, Rom, orang mana yang mau tahu dan beneran peduli. Dia tadi cuma mau tahu. Nggak peduli sama keadaan lo juga, nggak mungkin bisa bilang 'sabar ya bro'," ujarku sambil meniru caranya mengatakan kata tersebut.

"Duh, lo suka menduga-duga ya. Kalau lo ternyata salah, gimana?" Wajah Romi yang tertawa kecil tampak setengah menunduk ketika berkata 'gimana'. Posisi wajahnya itu membuat wajahku makin terasa panas.

"Ya... Ya udah," ujarku pelan sambil berusaha kabur dari Romi yang menghalangi tempatku berdiri. Aku berbelok melewati koridor anak IPS sebelum akhirnya Romi kembali menyusulku dari sebelah kiri dan berdiri di hadapanku.

"Wei, kok ngambek sih?" tanya Romi yang semakin terkekeh. Dari wajahnya, aku tahu. Ya, aku tahu, ia tampak menikmati karena aku membelanya dan sekarang ngambek seperti ini. Ia tampak senang karena merasa dipedulikan.

"Gue nggak suka ada orang yang mau ikut campur, itu aja kok, Rom," kataku cepat-cepat sambil berusaha meluruskan otot-otot wajahku yang sedikit tegang karena masih kesal dengan Irgi tadi. Mendengar kata-kata itu, senyum di wajah Romi tampak hilang seketika.

"Yah, gue kira lo beneran bela gue," ujar Romi sambil menunduk dan mengketuk-ketukkan kaki kananya di lantai.

Jadi, dia senang karena tadi aku membelanya atau tidak sih? Aku jadi bingung. Aku membetulkan letak tote bag milikku dan berusaha melewati Romi dari samping kanan, namun ia akhirnya berdiri merapat ke dinding pembatas koridor IPS yang terletak di sebelah kananku. Aku bergerak ke kiri, namun ia menghalangi gerakanku juga.

"Rom..." ujarku yang mulai kehabisan kesabaran karena dihalang-halangi terus untuk berjalan.

"Thank you ya, Sof."

Romi tersenyum lebar sambil menepuk bahu kananku sekilas. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Napasku mendadak terasa lebih sesak dan senyumku tak berhasil kusembunyikan. Upayaku untuk seolah mengatakan "Biasa aja kali, Rom" luluh lantak saat mendengarnya mengucapkan terima kasih dengan lembut.

"Lo hari ini ada ulangan nggak?" tanya Romi lagi sambil memperbaiki ranselnya yang setengah melorot dari bahu kanannya.

"Besok baru ada semacam kuis gitu, buat latihan Ujian Nasional juga. Kenapa?"

"Bolos aja, yuk. Kita ke OPUS, latihan buat prototype 1. Kita nggak bisa latihan karena anak orkes pada mau latihan. Gimana?"

Aku melangkah sebentar ke arah kelas 3 IPS 3 untuk melihat ke arah jam dinding yang ada di atas papan tulis. Sekarang pukul 06.35 pagi. Beberapa anak 3 IPS 3 yang tak terlalu kukenal tampak melongok dari meja mereka masing-masing, melihat adanya anak kelas lain yang melongok untuk melihat jam dinding.

"Masih bisa bolos, sih," celetuk Romi. Aku menoleh ke arahnya. Ia tersenyum lebar ke arahku sambil menunjuk arah koridor ruang musik dengan jempol kanannya. Mengisyaratkan agar kita melewati koridor dan tangga yang jarang dilewati dan keluar dari sekolah ini, untuk sementara, hanya sehari saja.

__________

Hai semua,

Maaf banget ya baru hari ini aku upload update cerita Recalling the Memory. Minggu ini merupakan minggu yang cukup berat karena ada anggota keluargaku yang meninggal, jadi ada keterlambatan dalam penulisan bagian cerita kali ini.

Anyway, dari semua bagian cerita Recalling the Memory, aku paling suka bagian ini. Karena gemes-gemes gimana gitu. Aku menganggap adegan di ruang musik dan di koridor pada hari Rabu, 13 Februari 2008 ini sebagai sesuatu yang manis. Semoga kalian juga ngerasain hal yang sama ya :)

Aku akan segera update part berikutnya, sesegera mungkin untuk bisa menjadi bentuk permintaan maaf yang komplit. hehehe!

Ikuti terus cerita Sofia dan Romi ya, dan jangan lupa follow wattpadku di @halosheva dan twitterku di @dearsheva juga. Jangan lupa follow blogku juga di dearsheva.wordpress.com :)

Terima kasih! Have a nice day!

-Sheva

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro