
1 April 2008
Selasa, 1 April 2008
Selasa lalu, kami 'membajak' waktu yang seharusnya Ibu Yeni gunakan untuk mengajar anak lain untuk dikhususkan pada kami. Dengan bantuan tangan Ibu Yeni, kami berhasil merekam piece-piece yang akan kami daftarkan:, Scherzo dari Rachmaninoff, The Nutcracker dari Tchaikovsky, serta Slovanic Dances dari Dvorak. Sesuai dengan pengingat Ibu Yeni, kami harus mengorbankan Gymnopedie dari Erik Satie untuk tidak kami masukkan karena, sesuai dengan peraturan awal, hanya akan ada tiga lagu yang harus kami mainkan.
Dan hari ini, tepat seminggu setelah kami melakukan proses rekaman itu, Romi menyerahkan padaku sekeping CD dalam sebuah case bening. Usai pendalaman materi hari Selasa itu, kami pergi bersama ke OPUS. Tepat setelah kami membayar uang sewa untuk merekam piece lainnya yang akan kami praktekkan, Romi memberikannya padaku.
Romi bersila di lantai kayu ruangan yang kami sewa itu dan berkata, "Hasilnya bagus banget. Gue suka." Aku duduk di kursi piano sambil melihat rekaman itu dengan perasaan campur aduk. Dalam hati aku mengeja kata-kata bahwa aku bodoh karena membiarkan semua ini terjadi begitu cepat.
"Kita harus kasih nama buat kita. Bisa sih cuma disebut nama kita aja. Tapi kalau kita lolos nanti, kita harus bisa punya nama grup. Kira-kira namanya apa ya?"
"Gue nggak tahu, Rom. Kenapa nggak nama kita aja?" jawabku, seolah grup ini benar-benar akan terbentuk.
Mana bisa grup ini terbentuk? Semua ini seharusnya tak terjadi sejak beberapa minggu lalu.
"Ya, bisa juga sih. Yuk, kita latihan." Romi segera berdiri dari posisinya yang bersila dan mengeluarkan handycam, menempatkannya pada sebuah kursi pendek yang menyorot kami berdua dari samping. Aku melihat ke dalam lensa dari handycam tersebut, dan tersenyum kecil.
Selama dua jam berikutnya, kami berusaha agar bisa terus memainkan piece dari Tchaikovsky, Badarzewska dan Horowitz dengan sempurna. Tanpa jeda, terus berlanjut, dan tanpa music sheet. Karena sudah pernah memainkannya berulang-ulang selama latihan, tiga piece tersebut menjadi lebih mudah untuk dipraktekkan. Tepat pada pukul enam sore, kami menyudahi latihan tersebut.
"Kayaknya kita harus ngerayain ini, Sof. Es campur yuk, mau nggak?" ajak Romi dengan wajah excited sembari menutup handycam miliknya dan memasukannya ke dalam tas. Aku mengangguk dan kami segera pergi dari OPUS menuju kedai es campur itu –kedai es campur yang sama saat kami bertemu dengan Darius dan Kikan.
Romi dan aku masih berbicara tentang sedihnya kami karena harus mengorbankan salah satu piece yang cukup kami suka karena kami sedikit lupa dengan peraturan awal. Kami masih tertawa, hingga akhirnya dua mangkuk es campur yang kami pesan diantar ke atas meja kami. Aku membuka tasku untuk mengambil dompet, dan pandanganku terhenti pada sekeping CD yang Romi berikan.
Aku mengeluarkan dompetku lalu membayar es campur pesananku pada penjual es campur yang menunggu lembaran uang dariku .Sambil melahap es campur pesanannya, ia kemudian menanyakan padaku tentang nama grup kami.
"Kira-kira nama grup kita, kalau nanti kita lolos apa ya? Nggak mungkin The Es Campurs, kan?" tanya Romi sambil tertawa sendiri mendengar leluconnya. Lelucon yang hanya kutanggapi dengan tawa sekadarnya.
"Oh, atau kalau namanya Apple Pie and Café Latte gimana?"
Kali ini aku benar-benar terdiam. Romi menunggu reaksiku, namun tak lama ia menjelaskan, "Soalnya dulu gue enggak suka kopi, lo juga enggak suka apel. Tapi kita jadi berani mencoba, dan akhirnya suka. Sama kayak apa yang kita lakukan sekarang kan, kita memberanikan diri untuk mencoba piano empat tangan. Kita enggak biasa, kita berani coba, dan akhirnya kita suka."
Aku menahan air mataku untuk tidak menetes. Haruskah Romi seperti ini sekarang? Haruskah ia selalu optimis seperti ini? Haruskah ia masih dengan penuh semangat, berpikir bahwa aku pasti akan diizinkan melarikan diri dari tuntutan Ayah dan menggapai impianku sebagai pianis? Tidakkah ia sekalipun berpikir bahwa semua rencana ini bisa lenyap karena aku?
Sejak awal, aku tidak pernah mengatakan semuanya secara keseluruhan. Sejak awal, semua hal ini tidak perlu terjadi. Romi berhak tahu semua hal ini.
Dan, jika semua ini selesai, aku berjanji aku tak akan menyesal. Walau semua ini tidak berjalan sesuai keinginanku atau keinginan Romi, setidaknya aku memberi ruang bagi Romi untuk tahu dan maju tanpaku.
"Rom..."
"Ya?" jawab Romi sambil meletakkan sendok es campur miliknya.
"Gue enggak akan ambil beasiswa itu." Tanganku terasa dingin ketika mengatakannya. Es campur pesananku mulai mencair, sedikit demi sedikit. Memenuhi mangkukku dengan sirup merah jambu yang sudah bercampur air.
"Kenapa?" tanya Romi.
Selama kami berlatih, aku sering melihat wajah Romi. Wajahnya ketika kelelahan dengan rambut ikalnya yang seolah naik ke atas melawan gravitasi, ketika ia tampak segar dan penuh semangat, wajah saat ia serius memarahiku yang pesimis dan juga saat ia marah melihat Kikan dan Darius.
Tapi aku tak pernah lihat wajah Romi seperti hari ini. Segi-segi di wajahnya tampak tertahan. Ia seolah menahan sesuatu untuk tidak keluar dari tenggorokannya. Dan sorot mata Romi, sorot mata itu masih tak bisa kulupakan bertahun-tahun kemudian.
"Karena... gue akan lanjut ke Belanda. Bukan ke Juilliard," aku berusaha tak berkedip. Jika aku berkedip, aku yakin suhu tubuhku akan memanas, dan air mataku akan segera terjatuh tak tertahankan.
"Karena apa?" tanya Romi lagi. Ia mulai menggaruki kepalanya. Tangannya tak sengaja berbenturan dengan meja, menimbulkan suara gaduh yang membuatku tersentak. Membuatku bertanya-tanya, apakah ia marah?
"Karena, gue tahu gue nggak akan lolos beasiswa itu..." ujarku pelan, perlahan-lahan membuat alasan yang cukup kuat. Aku tak akan mengatakan tentang kondisi Ayahku. Jika ia tahu, mungkin ia tak akan tega ikut beasiswa itu tanpaku. Sifatnya yang satu itu, yang selalu merasa tidak enak pada orang lain, akhirnya pasti akan ia tunjukkan padaku.
Aku tak ingin menjadi sepotong cerita yang perlu dikasihani. Romi berhak untuk ikut beasiswa itu tanpaku.
"Lo tahu dari mana lo nggak akan lolos?" balas Romi sengit. Aku hanya terus menunduk melihat es campur kami yang terabaikan.
Aku menelan ludah dan berkata, "Saingan kita banyak, Rom. Ada banyak dari provinsi lain yang juga ikut, dan mereka juga tak kalah pintar. Gue nggak mau sombong, gue tahu kita bisa. Tapi kita juga harus realistis..."
"Tapi itu semua dugaan lo doang, kan? Lo bukan jurinya, Sof. Mereka yang akan memutuskan, bukan lo," tukas Romi memotong perkataanku.
"Keputusan gue udah bulat, Rom..." tukasku tak kalah tajam. "...Gue yakin pilihan gue nggak salah."
Romi dan aku bertatapan dalam diam. Setelah membalas perkataannya dengan nada tajam, aku merasa semakin diyakinkan untuk tidak lagi mengubah pikiranku.
"Ini bukan dalam rangka April Mop, kan?" tanya Romi sambil berusaha tertawa. Tawa itu berangsur menjadi sumbang ketika ia tidak melihatku memberi respon pada perkataannya.
Romi menopang kepalanya dengan tangan kanan, mengacak rambutnya hingga tampak kusut. Aku berusaha membuat ekspresi wajah yang sedatar mungkin dan berkata , "Gue minta maaf banget, gue mau ngomong soal ini ke lo dari kemarin-kemarin. Tapi, lo terlalu bersemangat sama semua ini."
Romi mengangkat tangan kanannya, memintaku berhenti bicara. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, seolah berkata padaku bahwa semua baik-baik saja. Tapi wajahnya terlihat gusar. Ia gelisah. "Kamu tahu, Sof?"
Tenggorokanku terasa tercekat. Aku baru mendengar beberapa kali ia memanggilku dengan sebutan 'kamu'. Aku tak menyangka kata 'kamu' yang berikutnya adalah kata yang tak bisa kulupakan.
"Kamu selalu mengira-ngira. Kamu lupa kalau kamu bisa salah." Romi menatapku tajam tanpa berkedip. Membuatku semakin terdiam. Tenggorokanku terasa semakin kering. Untuk beberapa detik, aku memikirkan apa yang harus kukatakan.
Tetapi, aku tidak berkata apa-apa. Aku mengemas tasku dan pergi dari kedai es campur itu, meninggalkan Romi sendirian di sana. Seraya terus berjalan menuju rumahku, aku tahu ada banyak hal yang bisa kuhentikan. Rencana aplikasi beasiswa four hands piano kami misalnya. Juga, ada banyak hal yang tak bisa kuhentikan: Romi yang marah, dan tangisanku yang tak berhenti sampai aku tiba di rumah.
_________________________
Hai guys,
Kira-kira masih akan ada 1 (atau 2) update lagi yang akan ku-upload. Masih dalam proses pengetikan, tapi segera akan ku-upload hari ini juga :) Aku akan lihat apakah panjang ketikannya bisa kumuat hanya 1 update saja, atau 2 kali update. Will let you know soon.
Ini adalah part yang cukup bikin aku pusing, karena aku sendiri tak ingin mereka berada di posisi ini :") *penulisnya ikutan sedih* Tapi, cerita ini akan menemui akhirnya sebentar lagi. Mohon bersabar ya, aku sedang siapkan untuk kalian.
Terima kasih. Happy reading :)
-Sheva
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro