Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Rebirth of The Soul

• Planet Sear, abad ke-16 •

Lelaki itu berlari dengan susah payah. Tas kain di sisi kiri, sang buah hati di sisi kanan. Meski terbatuk-batuk dan paru-parunya terasa sesak, pria itu berjuang untuk bisa sampai di tepi pulau. Di sana, akan ada perahu kecil yang menanti. Perahu yang akan membawa dirinya serta anak semata wayangnya ke tempat yang lebih aman, seandainya mereka dapat segera sampai.

"Uhuk, uhuk. Aku takut, Ayah," lirih gadis kecil itu. Tubuhnya terayun-ayun, begitu pula kedua tangan kecilnya.

"Berh-tahanh-lah, Nak. Pejamkanh mata."

Si anak memejamkan mata dengan rapat. Di belakang pria itu, langit ungu menghitam. Asap tebal dan pekat kian meluas, menghalangi sinar bintang Polluxa. Orang-orang berlarian dan saling berteriak.

Mungkin, beberapa dari mereka mencari anggota keluarga lainnya ....

Pria berambut ikal itu mengumpulkan segenap tenaga. Ia mulai tersenyum kala mendapati sebuah perahu masih bergeming di pesisir pantai.

"Kita sampai, Nak." Ia pun menurunkan si gadis dan mendekati perahu.

Seorang pria berkumis tebal menahan bahu si ayah. "Maaf, Pak. Perahu ini hanya bisa menampung dua belas orang. Hanya salah satu dari kalian yang bisa ikut dengan kami."

Si ayah menghitung penghuni perahu. Ternyata benar. Hanya muat untuk satu orang lagi. Namun, ia tak terlihat kecewa sedikitpun.. "Bawa saja anak saya, Pak."

"Ayah! Aku ingin bersama ayah!" Gadis kecil itu mulai terisak.

"Tidak apa-apa, Nak. Nanti ayah akan menaiki perahu lain. Ayah janji."

Si anak mencari-cari. "Tapi aku tidak melihat perahu lain, Yah."

"Nanti akan sampai. Pergilah, Sayang." Sang ayah pun mengecup kening putrinya itu. Dibelainya rambut biru si gadis kecil. "Eiihash gvanesy [aku menyayangimu]." Dengan lembut ia menyerahkan tas kain pada si gadis kecil. Di saat yang sama, pria berbadan besar dan tegap menariknya agar ikut ke perahu.

Anak itu menolak. Dadanya kian sesak—bukan hanya karena abu vulkanik, tapi juga karena perpisahan serta paksaan.

Dan masih tiada perahu lain mendekati pantai.

"Cepat, masuk ke perahu atau kami tinggalkan!" seru si pria berbadan besar.

"Hei, jangan teriak pada anak kecil!" seru si pria berambut ikal.

"Persetan! Kami hitung sampai tiga atau kalian berdua kami tinggalkan!"

"Tolonglah, Rila. Pergilah. Selamatkan dirimu!"

Rila menggelengkan kepala kuat-kuat. Kedua tangannya mengepal. Hidungnya kembang kempis. Ia memasukkan banyak udara ke dalam paru-parunya.

"Satu ... dua ... tiga."

Lantas, Rila berteriak sejadi-jadinya.

Orang-orang di sekitar menutup telinga, termasuk sang ayah. Bersamaan dengan teriakan, terdengar suara berupa gemuruh disusul retakan tanah; kian memanjang dari pantai hingga ke gunung yang sedang memuntahkan asap dan magma.

"RILAAA!" Sang ayah berteriak tanpa bisa didengar oleh Rila.

Sempat nyaris kehilangan keseimbangan, Rila pun berhenti berteriak. Gadis itu lantas mendapati sang ayah tampak panik—terpisah beberapa meter darinya akibat retakan, lalu detik selanjutnya cairan panas berwarna hijau menyembur secara ganas dan menggila.

●●●

• Planet Bumi, abad ke-26 •

"Dasar anak tidak berguna! Seperti robot! Seharusnya dari dulu aku menyerahkanmu ke panti asuhan!" Suara sopran wanita bertubuh jangkung itu terdengar hampir ke seluruh bagian rumah. Ia bahkan tampak tak peduli dengan kehadiran beberapa asisten artifisial yang tengah bekerja. Sebagian membersihkan lantai, sebagian merapikan pakaian, dan sebagian lainnya memastikan keindahan serta kerapian taman.

Di hadapan si wanita, bocah bermata bulat sibuk menundukkan kepala dan menyelesaikan puzzle tiga dimensi berbentuk sebuah perahu layar. Ia sama sekali tak terpengaruh oleh amarah sang ibu. Malah, detik selanjutnya ia berkata dengan ekspresi datar.

"Antingmu hanya sebelah, Bu," ujarnya.

Tubuh wanita itu mematung. Kedua tangannya memegang masing-masing telinga dan terkesiap begitu mendapati anting kanannya hilang. Barangkali terjatuh dan ia tak menyadarinya. Ia kembali memaki sambil menatap jam tangan. Tubuhnya lantas menghambur ke ruangan lain. Sol sepatunya menghentak di tiap langkah. "Sial! Asisten tiga, empat, dan lima-cepat carikan satu anting berlianku yang terjatuh!" titahnya.

Lima detik kemudian, asisten dua menghampiri anak laki-laki itu. Berusaha agar sejajar, robot berkaki dua itu membungkukkan badan.

"Tuan Marvin, ini waktunya kau meminum jus buah."

Marvin mengangguk dan mempersilakan sang asisten menaruh gelas di permukaan meja. "Terima kasih. Ayah sudah tiba?"

Robot putih di hadapan Marvin mengangguk. Garis di bawah matanya membentuk lengkungan yang terdiri dari titik-titik kecil. "Kau terlihat senang, Tuan Marvin," ujarnya sebelum membalikkan badan.

Marvin benar-benar tak mengerti. Mengapa ia disebut senang? Ia ingat, perempuan yang ia sebut sebagai dokter Lusi pernah menjelaskan padanya tentang berbagai emosi. Senang adalah perasan bahagia, katanya. Positif. Lega. Dilambangkan dengan senyuman atau tawa.

"Kalau begitu, robot-robot di rumahku juga senang?" tanya Marvin di tengah sesi konsultasi.

Lusi menggelengkan kepala. "Mereka berbeda. Mereka memang diprogram untuk meniru emosi manusia." Ia lalu menunjuk dirinya sendiri dan Marvin. "Emosi kita alami. Datang dari hati. Kau mengerti?"

Marvin menggelengkan kepala. Ia memang unggul dalam mata pelajaran seperti misalnya menghitung dan berbahasa, tapi tidak dengan emosi.

Pernah suatu kali, seseorang tanpa sengaja melempar sebuah bola ke arah kepala Marvin. Ia jelas melihatnya, menyaksikan bola itu semakin dekat ... tetapi ia hanya diam di tempat sehingga bola itu mengenai kepalanya. Pernah pula ia meminum teh panas hingga lidahnya mati rasa, dan di beberapa momen selanjutnya ia mengulang kesalahan yang sama.

Sakit fisik dirasakannya, tetapi tidak dengan rasa cemas atau takut sedikitpun.

Hal ini juga yang menguras kesabaran sang ibu-Yoana.

"Terserah kau saja, Ares. Aku sudah menyerah untuk mengajarkan Marvin tentang emosi. Aku benar-benar sudah tidak sabar lagi berhadapan dengannya. Kau saja yang urus!"

"Baiklah. Aku memang takkan menyerah untuk Marvin. Kau urus saja bisnis serta reputasimu yang setinggi langit itu."

Bukan sekali-dua kali Marvin mencuri dengar pertengkaran orang tuanya. Ketika Lusi bertanya apa yang dirasakan Marvin saat itu, untuk sesaat sang bocah menatap kotak demi kotak bertuliskan perasaan.

Takut. Cemas. Marah. Tidak nyaman. Tidak betah.

Perlu lebih dari lima kedipan mata bagi Marvin hingga ujung jarinya menunjuk satu kotak pada layar hologram.

"Kau boleh memilih lebih dari satu kotak, Marvin."

"Hanya ini," ujar Marvin. Perasaan itu adalah 'tidak nyaman'.

"Baiklah. Tak masalah. Sebuah kemajuan! Akhirnya di sesi keenam ini kau bisa memilih kotak kurang dari satu menit."

Marvin merapatkan bibir—ia belum pandai menirukan senyuman, jadi hanya itu yang bisa bocah sembilan tahun itu lakukan.

Besok adalah sesi ketujuh. Ares yakin perkembangan Marvin akan lebih melesat. Kali ini, sesi berlangsung dengan sesuatu yang berbeda.

"Nama permainan ini adalah Rebirth of The Soul," papar Lusi seraya menunjuk layar holo di hadapannya. "Baru dirilis tiga bulan lalu. Di sini kita hanya perlu menjawab beberapa pertanyaan, lalu ia akan mencocokkan dengan kriteria jiwa. Kita bahkan bisa memilih di planet mana kita tinggal, berapa lama kita hidup di sana, tantangan apa yang cocok untuk kita, dan lain sebagainya."

Mulut Ares membulat, sedangkan Marvin hanya mengerjapkan mata.

"Sebelum aku mempersilakan Marvin untuk mencoba, aku ingin kau menyetujui agar ia dapat mengikuti permainan ini, Pak Ares." Ia lantas mengangkat bahu. "Aku belum tahu apakah kau termasuk tipe orang yang tidak masalah dengan hal ini atau bagaimana."

"Tentu saja aku menyetujui, Dok." Ares lalu menundukkan kepala. "Kau juga tidak masalah kan, Marvin?"

Anak itu tidak langsung menjawab. Kedua matanya terfokus pada layar holo. Ia mencoba mengenali gambar urutan planet-planet yang terlihat dalam game cover.

"Rigis, Sao, Bumi, Trudent, Varys, Sear, Orha."

"Tepat!" seru Lusi sambil bertepuk tangan. "Terlihat menarik, bukan?"

Marvin kesulitan mendefinisikan kata 'menarik', jadi ia menerjemahkan pertanyaan itu menjadi 'apakah kau mau memainkannya atau tidak'. Anak itu pun mengangguk.

Lusi dan Ares tersenyum.

"Baiklah. Kau tidak keberatan kan, tampilan di dalam helm diproyeksikan ke layar holo?"

"Tidak, Dok."

Detik kemudian, anak itu beranjak menduduki kursi kulit. Ia dibantu humanoid berwarna putih untuk menggunakan helm serta sarung tangan. Makhluk artifisial itu juga memberi sedikit arahan dan bertanya apakah ada yang ingin ditanyakan. Marvin menggelengkan kepala.

Permainan pun dimulai. Suara lembut dan menenangkan mulai mengisi indra pendengaran Marvin.

"Wahai jiwa pemberani, selamat datang dalam permainan Rebirth of The Soul. Siapa pun dirimu, ingatlah bahwa kau begitu berharga. Kau berhak untuk mengenal planet-planet dari berbagai tata surya."

Suara tersebut terdengar sayup-sayup bagi Ares dan Lusi. Keduanya lantas kembali ke kursi masing-masing. Satu pertanyaan bercokol dalam benak Ares.

"Boleh saya tahu, Dok, untuk apa Marvin memainkannya?"

Lusi menjawab dengan santai. "Begini, Pak. Berhubung Marvin mengalami kondisi Alexythimia yang membuatnya sulit mengenali sekaligus menyalurkan emosi, saya harap permainan ini bisa membantunya untuk terkoneksi dengan perasaan-perasaannya di kehidupan lampau. Dengan begitu, perkembangan mental Marvin diharapkan akan sesuai dengan usianya."

Ares menelan ludah. Merasa sedikit waswas, ia memastikan Ares masih duduk nyaman di kursi kulit. "Tapi ketika dilahirkan dia menangis, Dok. Ketika balita pun kerap tertawa dan sesekali marah seperti anak yang lain."

Lusi mengedip pelan dan mengangguk. "Itulah yang ingin saya pahami, Pak. Salah satu faktor kondisi tersebut memang bermacam-macam—salah satunya trauma, tapi saya belum bisa memastikan sampai sejauh itu."

Trauma? Pikir Ares. Sial, kalau saja dulu aku tidak disibukkan pekerjaanku, aku pasti tahu akar masalah ini. Atau mungkin Yoana ....

Ares menggigit bibir. Ia harus membahas ini dengan Yoana.

●●●

• Planet Sear; permainan Rebirth of The Soul yang keenam kali •

"Eksplorasi gunung."

"Baiklah. Gunung mana yang lebih menarik perhatianmu?"

Marvin memperhatikan gambar-gambar di hadapannya saksama. Salah satu gunung menarik perhatiannya—berwarna biru dilatari langit keunguan. Di bagian bawah, terdapat nama gunung tersebut.

"Gunung Essiav."

"Pilihan yang bagus. Gunung Essiav merupakan gunung api aktif yang terbentuk setelah adanya letusan dahsyat Gunung Essiavraia di abad ke-16."

Kedua mata Marvin berkedut-kedut. Tanpa ia sadari, pori-pori kulitnya mulai mengeluarkan keringat dingin.

"Dokumentasi ledakan Gunung Essiavraia di abad keenam belas."

"Baiklah. Dokumentasi berupa artikel, foto, atau...."

"Video!" Suara Marvin naik beberapa oktaf. Pun dirinya terkejut dengan nada suara sendiri.

"Baik. Video pertama diputar."

Anak itu kembali mendengar suara, tapi perhatiannya kini terpusat pada video di hadapannya.

Letusan gunung. Langit ungu menghitam. Cairan magma berhamburan. Teriakan demi teriakan. Kepanikan. Perpisahan. Tangisan. Kematian. Keputus-asaan ....

Kedua tangan Marvin gemetar hebat. Sekelebat demi sekelebat ingatan menguasai benak. Kali ini, tanpa ia duga luapan emosi begitu bergejolak.

"Ayah! Aku ingin bersama ayah!"

"Tidak apa-apa, Nak. Nanti ayah akan menaiki perahu lain. Ayah janji."

"Cepat, masuk ke perahu atau kami tinggalkan!"

Marvin berteriak. Satu hal yang ia sadari, ia melepas helm sebelum dirinya terpental dan punggungnya beradu dengan dinding.

Sekujur tubuh Marvin bergetar hebat. Kala ia masih mencerna apa yang terjadi, dua asisten menghampiri untuk menolong. Saat itu pula ia melihat dinding di seberang terbelah—hampir mencapai langit-langit. Helm terbagi menjadi dua, begitu pula dengan kursi.

Beberapa menit kemudian, seseorang memanggil nama Marvin berkali-kali, tetapi kesadaran anak itu berangsur hilang. Satu kalimat ia ucapkan sebelum tertidur.

"Aku ingat siapa dirimu."

●●●

"Suhu tubuh tiga puluh enam derajat celcius. Nadi seratus sepuluh per menit. Tekanan darah seratus sepuluh per tujuh puluh." Salah satu asisten melaporkan pada Ares dan Yoana. "Tidak ada luka luar. Dipastikan Tuan Marvin tidak mengalami luka serius."

"Terima kasih, asisten satu. Kau bisa mengerjakan hal lain," ucap Ares.

"Sama-sama."

Keheningan mulai menyeruak seisi ruang tengah. Di atas sofa, Marvin berbaring pulas. Sambil mondar-mandir di sisi lain ruangan, ia berharap anak itu dapat terbangun berkat aroma eucalyptus yang sudah menguar sejak tadi.

"Baru kali ini kulihat kau mengkhawatirkan Marvin," sindir Ares. Ia menduga wanita berambut panjang itu akan membalas ucapannya, tapi wanita itu masih menundukkan kepala dan menggunakan kedua tangan untuk menyangga wajahnya.

"Kau pikir kesabaranku tidak habis dengan perilakumu itu? Apakah kau akan bilang, trauma? Kalau memang dokter itu ahli, seharusnya dia bisa memastikan apakah Marvin pernah mengalami trauma atau tidak, seperti tempo hari." Ares mencibir saat menirukan gaya bicara Yoana. "Itukah yang ingin kaukatakan? Atau kau baru menyesal sekarang? HAH?"

Yoana merapatkan bibir. Ia memalingkan muka saat matanya mulai berlinang.

"Jawab aku, Yoana. Kau tampak tidak keberatan Marvin memainkan gim virtual reality di rumah, apa karena kau tidak ingin banyak berinteraksi dengan anakmu sendiri?"

Yoana memejamkan mata rapat-rapat. Saat ia hendak membuka mulut, suara lain menjawab.

"Justru sebaliknya, Yah."

Ares berbalik menghadap Marvin. Dihampirinya anak itu. "Kau siuman! Ada bagian yang sakit?"

Marvin menggelengkan kepala dan tersenyum.

Ares terpaku di tempat. Ia hampir tak memercayai apa yang baru saja dilihatnya. Ekspresi Marvin sangat sulit ia artikan. Saat bersamaan, Marvin bangkit berdiri dan mengangkat kedua tangan.

Anak itu tampak berbeda. Ia seakan telah mengingat bagian yang sempat terkubur dalam jati dirinya. Potensi yang terkandung dalam pusat kesadarannya.

Baik Ares maupun Yoana hanya bisa membulatkan mata saat Marvin membuka pintu lemari kaca hanya dengan tekstur sederhana. Klek. Dari kejauhan anak itu membuka kedua pintu lemari, lalu sebuah benda di dalam sana terangkat dengan amat perlahan, seakan ditarik oleh kekuatan tak kasat mata.

"Mungkin ini terdengar konyol, tapi permainan Rebirth of The Soul membantuku mengingat kembali bahwa aku telah mengalami berbagai kehidupan."

Benda itu, sebuah puzzle rumit yang tempo hari disusun dengan amat teliti oleh Marvin. Benda yang nyatanya membekas dalam alam bawah sadarnya. Melayang-layang sebelum kemudian mendarat tepat di tengah meja.

"Perahu ini sedikit banyak mengingatkanku pada kehidupan di Planet Sear saat abad ke-16 ... lebih tepatnya, saat-saat sebelum ajal tiba." Marvin lantas menatap Yoana. "Dan kau juga ada di sana, Bu—sebagai ayahku."

Saat Ares masih mencerna apa yang terjadi, Yoana bangkit berdiri. Wanita itu terisak. Sama sekali tak terlihat amarah atau kebencian dalam mata cokelatnya.

"Kau ... ingat ... semua itu? Rila?"

Kedua mata Marvin mulai basah. "Eiihash gvanesy [aku menyayangimu]," ucapnya.

Tangis Yoana kian meledak. Ia lantas menarik Marvin ke dalam dekapannya. "Eiihash gvanesy, Marvin."

"Hei! Sebenarnya ada apa ini?" Kening Ares masih berkerut.

Yoana mencoba menjelaskan. "Ketika aku mengetahui Marvin bermasalah dengan emosi, aku mencoba berbagai cara agar bisa memancing perasaannya. Warna, musik, dongeng ... hasilnya nihil.

"Lalu aku menyerah. Aku mencoba cara terakhir; membuatnya marah. Meneriakinya. Memarahinya. Aku sadar cara itu bukan yang terbaik—"

"Dan kenapa kau tidak memberitahuku soal ini?"

"Terlalu riskan," jawab Yoana. "Dia hampir selalu terlahir dengan kekuatan spesial. Selain kehidupan di Sear, ia juga kerap diburu, dipersekusi, atau dimanfaatkan pihak tak bertanggung jawab."

Marvin melangkah mendekati Ares. "Percayalah, Yah. Ibu menutup-nutupi hal ini agar nyawa ayah tidak terancam. Ia hanya menunggu waktu yang tepat. Ia berusaha melindungi kita semua."

Sulit dipercaya bagi Ares, tapi kesungguhan Marvin membuat Ares menelan ludah. Anak itu memohon hingga kedua pangkal alis terangkat. Kondisi Alexithymia yang dialaminya seakan sembuh dalam sekejap.

Tiba-tiba Marvin menggigit bibir. Ia teringat akibat perbuatannya. "Tragedi gunung meletus itu ...."

"Ssst. Sudah, tidak perlu dipikirkan. Sekarang, yang penting kita bersama." Yoana menggenggam tangan Marvin rapat-rapat. Sebelah tangan wanita itu terulur, menunggu sang suami untuk menyambutnya.

Ares bergerak maju, tapi ia masih sangsi. "Jelaskan. Bagaimana kau membuat Marvin mengalami kondisi itu?" Ia merujuk pada keadaan otak Marvin.

Wanita berambut panjang itu menelan ludah sebelum menjawab, "itu ulah ayahku. Aku sungguh menyesal menceritakan semua itu. Dia juga seharusnya tidak tahu di masa lampau Marvin selalu bermasalah dengan emosi ... sehingga ia menjadikan Marvin bahan percobaan laboratoriumnya."

"A-apa?"

"Itu sama sekali bukan masalah!" Marvin berkata penuh semangat. "Justru mungkin akan lebih aman bila aku tetap berpura-pura tidak mengenali emosi. Kurasa itu ide bagus!"

Belum sempat Yoana dan Ares memberikan tanggapan, dua asisten menghambur ke ruang tengah.

"Lapor. Telah ditemukan benda asing dalam helm ini." Asisten tiga menunjukkan kotak kecil berwarna hitam, tersembunyi dalam helm. "Benda ini mengirimkan sinyal ke Jalan Huarsa nomor delapan puluh satu."

Detik kemudian, asisten empat turut melaporkan. "Ditemukan penyadap suara berbentuk serangga di lantai dua. Benda ini juga mengirimkan sinyal ke alamat yang sama. Kedua benda ini baru saja kami rusak."

Yoana membelalakkan mata. "Alamat siapa itu?"

Dua suara menjawab dengan geram.

"Dokter Lusi."

TAMAT

• 2.480 kata •

Catatan:

Cerita ini merupakan bagian dari seri lepas berjudul COSMIX. Cosmic berarti semesta, sedangkan huruf 'X' mengacu pada organisasi semesta bernama 'Xirth' dengan tujuh planet anggota. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro