BAB XII : Black Day
5 Jenuwari 2024
Sekelompok pria dengan pakaian serba hitam, helm juga buff putih dengan lukisan mawar merah, bunga lilac, juga tulip putih bekerja di bawah langit malam. Mereka berjibaku dengan kotak-kotak kayu besar lalu mulai meturunkannya dari sebuah truk.
“Pastikan mereka mendapatkan barang dengan kualitas yang bagus. Jangan sampai ada yang terlewat, jangan sampai ada yang rusak juga, Tuan Muda Agung bisa murka.” Seorang pria berujar dengan tegas sambil mengomando di atas truk tersebut.
“Baik, Master!” Mereka berseru kompak.
Pria dengan tubuh tinggi cukup tegap itu melompat dari atas truk sambil sesesekali memeriksa kotak-kotak kayu yang baru saja diturunkan dari dalam truk. Iris kanannya melirik ke arah ponsel.
“Selesaikan sampai pukul dua malam ini!” ucapnya dengan suara lantang.
Penyaluran kotak-kotak kayu tersebut berjalan begitu rapi, mobil-mobil kecil lainnya berdatangan untuk mengangkut. Tak satu pun dari mereka yang leha-leha, mereka sibuk dengan tugas masing-masing.
“Master, rumah melaporkan jika Tuan Yang Agung meminta Anda untuk pulang lebih awal,” bisik seorang pria dengan buff putih berlukiskan bunga lilac.
“Kalau begitu kuserahkan wilayah ini padamu. Kabari aku jika semua pengiriman ke Murth dan sekitaran Ango, jalur Batasku telah selesai!” jawab pria itu berjalan ke arah mobil putih yang terparkir di sebelah truk hitam super besar.
Di jam yang sama, alunan piano di sebuah ruangan dengan jeruji besi di sekelilingnya amat menyayat hati. Chandelier remang-remang menambah rasa pilu yang tergambar di wajah bulatnya. Reffaelle tduduk menikmati musiknya, sambil ditemani sang kakak yang bersandar di dinding yang dipenuhi beragam potret keduanya sejak beli sampai kini dewasa. Tak ada senyum di setiap potretnya, hanya dua pria yang berdiri berdampingan dengan wajah dingin.
“Kenapa kau tak pernah mau makan bersama?” todong pria yang kini berjalan ke arah piano sambil mengikat asal rambut jingganya.
“Tidak sudi!” protes Reffaelle sambil menyentak jemarinya di atas tuts.
“Makanlah bersamaku, sekali!” titahnya.
Reffaelle hanya melirik ketus. “Oke, aku akan makan di sini sambil main piano!” sambutnya acuh tak acuh.
“Lindan, bawakan jamuannya!” panggil pria tersebut pada seorang pria berambut kuning cerah di depan pintu kaca.
“Baik, Tuan Yang Agung!” Ia membungkuk santun.
“Sayap-sayapku belum kembali?” celetuk pria itu ketika pria dengan nama Lindan hendak melangkah ke dapur.
“Master sedang dalam perjalanan, katanya akan langsung menemuimu.” Ia menjawab santun.
“Baiklah, kau siapkan makanan untuk Reff, untukku siapkan arak dan camilan kering. Kurasa aku akan terjaga malam ini.” Pria itu sedikit memelankan suaranya.
“Baik, mengerti!”
***
Matahari benar-benar terik, membuat aroma dracgone menguap sempurna. Pria dengan cerutu di ujung bibirnya tertawa gila sambil sesekali mengotori wajah dengan ragam cat minyak.
“Aku sibuk, Mi tesoro¹.” Ibbhe, pria itu menyeringai padanya.
“Aku tau Luda selalu menemui dirimu, sampai kapan akan menjadi telinga ganda untuk Nathuya?”
Ibbhe melempar cerutu di bibirnya ke gelas air tempat mencuci kuas. Ia mendekatkan diri pada pria di hadapannya tersebut. “Tinggalkan kami!” perintahnya.
“Baik, Tuan Ibbhe.”
“Oi! Jangan dengarkan ia, tuanmu adalah aku. Hei, tuanmu adalah aku!” Pria itu memekik marah. “Bagimana jika ia membunuhku!” Ia menjerit kesal.
“Aku tidak sejahat itu, Mi tesoro!” Ibbhe mencengkeram pipi pria itu dengan kuat. “Aku tidak suka pertumpahan darah.”
Pria itu tersentak tatkala Ibbhe duduk di pahanya sambil memegangi tengkuknya dengan erat. Mata merah berair Ibbhe membuatnya meneguk ludah. Bahkan napasnya terasa amat panas.
“Tapi kau membunuh kedua kakakmu!” pekiknya.
“Dengar aku, Tuan Yang Agung, Tuan Muda yang terhormat, Mi tesoro-ku yang manis, jika kau berada di kediamanku, akulah tuannya!” cetus Ibbhe dengan tatapan berang. “Dan ingat kembali, aku membunuh mereka saat sedang tidak sadarkan diri. Jadi, itu tidak bisa dibilang suatu pembunuhan.”
Pria dengan rambut jingga itu mengerutkan wajahnya. “Kau benar-benar mengerikan! Apa Luda sungguh mempercayaimu?”
“Kau tak punya hak mengurusi hubunganku dan Luda, urusanmu dan diriku hanyalah … SD.”
Pria itu melepaskan jemari Ibbhe dari pipinya. Ia mengatur napas yang berhamburan karena sesak. “Aku tidak butuh uangmu!” teriaknya sembari menarik kerah baju Ibbhe.
“Aku suka dracgone karena rasanya lebih berat dari ganja. Aku juga menikmati singe karena rasanya yang hangat dan membantuku menemukan banyak ilham. Kau pikir kenapa aku membelinya? Untuk membuat dirimu semakin kaya?” todong Ibbhe menjamah wajahnya. “Karena aku suka SD. Tidak lebih.”
Ibbhe menyiram sekujur tubuh pria itu dengan cat minyak warna hijau, ia pun menggeram. “Pulanglah. Aku yakin Luda akan menemuiku esok, bawahanmu bilang kalian akan mengirim mayat baru ke Arcade Rooth dan membunuh keluarga Cliff,” ungkap Ibbhe menatap jeli.
“Aku takkan bilang pada Luda kalau kau datang. Bukankah kau sedang mempersiapkan pesta besar untuk Windsteria?” tukas Ibbhe sambil melengos dari ruangan tersebut. “Kau mungkin akan mengundangku juga!”
“Ibbhe ….” Pria itu memegangi kaki Ibbhe sambil menatap nanar. “Aku tak akan mengundangmu!”
“Terserah.” Ibbhe menarik dirinya. “Berpesta denganmu ataupun Luda, aku tidak peduli.”
***
6 Jenuwari 2024
Lima remaja diculik dari sebuah motel di kawasan hiburan Windsteria Wood, Distrik 5. Mereka diangkut dan dikirim ke wilayah Distrik 3 juga 4. Tubuh mereka diikat dengan tambang besar, mulut dilakban dengan mata ditutup kain. Setiap lima belas menit sekali tubuh mereka disuntik cairan putih kental dan membuat mereka menggeliang, mulut pun berteriak di balik lakban, sembari terus bercucuran air mata kesakitan.
“Sullivian dan Solomon, cucu Aeri Arthur, Menteri Keuangan Nathuya tahun 2005. Verallia Margaret, cucu tunggal Van Margaret, Menteri Pertahanan Nathuya tahun 2000.” Seorang pria dengan rambut merah jambu yang diikat dengan pita putih berdiri menghadap tiga remaja yang menggeliang tanpa henti. “Kalian turut menanggung dosa leluhur kalian atas kematian keluarga Tuan Yang Agung.”
“Mata dibalas mata, nyawa dibalas nyawa!” Pria itu berteriak dengan suara lantang di balik buff putih berlukiskan bunga tulip. “Mendekatkan diri pada kejahatan adalah dosa besar.”
“Masaomi Suzan, Chae Millner, semoga Tuhan mengampuni kejahatan kalian karena berteman dengan para penjahat!” gumam pria itu dengan suara sedikit lebih lembut sambil merapatkan kedua tangan di depan dada.
“Cincang dan eksekusi mati mereka. Ambil jantungnya!” perintah pria itu seketika membuat sekelompok pria sebayanya bergerak.
“Siap!” seru mereka kompak.
*****
13 Jenuwari 2024
Sebuah rusun kumuh di pesisian kota tampak tak berpenghuni. Semua jendela pada bangunannya terlihat gulita, belum lagi dindingnya sudah penuh lumut yang menghitam sempurna. Takara, nama itu menghiasi pergelangan tangannya. Ia seorang pengedar juga kurir Sayap Tulip, kaki tangan Tuan Muda Yang Agung, murid kebanggaan Master. Berjalan ia menuju rusun tersebut, kakinya menapaki anak tangga bau pesing dan kotor.
Sebuah pintu kayu hitam nomor 12A posisi tiga ke kanan ia sambangi. Pria itu mulai mengetuk pintu tersebut beberapa saat hingga seorang remaja laki-laki dengan mata sayu kemerahan dan berair keluar.
“Siapa?” tanyanya.
Takara lekas mendekatinya, menarik pinggang remaja laki-laki itu sekuat tenaga sebelum menyuntikkan cairan putih kental ke lehernya. “Darah Clifften layak mati,” bisik Takara.
Remaja laki-laki itu terkulai lemas lalu jatuh tersungkur. Takara hanya bisa tersenyum kecil sambil meludahinya. “Kau tau, Bung, melihat kelakuanmu di kampus membuatku mual, sudah miskin berani berbuat onar, kau pikir hebat bisa melakukan hal itu dengan dalih tak sadar diri karena dracgone?! Selamat menjemput nerakamu!” Takara menyeringai.
Ia memboyongnya ke dalam rumah yang benar-benar berantakan dan sengak dracgone. Sekitar dua jam berkutat dengan tubuh remaja laki-laki itu dan menggantungnya, Takara duduk bersila di lantai.
“Selamat jalan orang-orang jahat. Semoga Tuhan mengampuni masa lalu kalian. Nyawa dibayar nyawa,” kata Takara sambil sedikit meledek. Ia mengamati hasil karyanya—tubuh kaku tergantung, lengan penuh luka sayat yang bahkan masih mengucurkan darah, tak lupa efek cairan singe yang membuat tubuh bagian atas melepuh.
“Kerja bagus, Taka.” Ia membusungkan dada sambil menutup pintu rumah remaja laki-laki tersebut.
Di jam yang sama pembunuhan lima remaja oleh Sayap Lilac pun tengah berlangsung di sebuah gudang sorgum Distrik 4 yang terbakar tahun 2010 silam tatkala Nathuya mengalami inflasi besar-besaran. Dikepalai Zabianca juga Sakura dari Sayap Mawar.
Misi selesai, hidup Tuan Muda Yang Agung.
Catatan kaki:
1. Mi tesoro : harta karunku dalam bahasa Spanyol. Dari dua kata Mi dan Tesoro yang bisa diartikan My treasure.
Publikasi 6 Oktober 2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro