BAB XI : Bleed
3 Februwari 2024.
Marrina Town, Linga, Nathuya barat.
Ladang anggur terbentang indah di depan sebuah kilang anggur di antara bukit-bukit rimbun juga rumah-rumah kayu yang asri. Di baliknya berdiri kokoh sebuah luxury penthouse.
“Kau mendengar kabar kalau Battalion Windsteria mulai bergerak memutari Nathuya?” kata seorang pria sekiranya tiga puluh tahunan yang duduk cekikikan di atas tumpukan daun kering.
“Iya, kabarnya mereka sudah punya DPO¹ untuk tiga kasus pembunuhan beberapa waktu lalu termasuk kasus bunuh diri,” jawab pria di sebelah. Pria berambut perak berkilau dengan mata kiri pecak juga codet di pipi kanan, dari wajahnya ia tampak lima atau enam tahun lebih tua.
“Kirim sayap-sayapku untuk memaksa mereka bergerak lebih jauh!” Pria itu tertawa renyah sambil memelototi pria berambut perak tersebut.
“Anda sungguh-sungguh menggilai Battalion Windsteria, Tuan?” tanya pria itu mengernyit.
“Aku hanya berpikir kalau mereka benar-benar nasionalis. Pahlawan katanya, patut disanjung dan layak dibanggakan! Ckk, sangat ngeri!” ocehnya.
“Aku senang kau mengoceh seperti ini,” ujar pria berambut perak itu lemah lembut sambil membungkuk sopan. Iris teduhnya menelisik senyuman pria di sebelahnya. “Anda terlihat amat bahagia.”
Pria itu tertawa ringkih sambil menghamburkan daun kering di bawah kakinya. Angin sepoi menyibak lembut potongan rambut wolf cut berwarna jingganya yang indah. Wajahnya berkulit kemerahan, dengan tanda lahir hijau kehitaman memenuhi wajah kanannya. Tubuhnya tinggi, tidak terlalu berisi, dada dan bahunya tak cukup bidang, nyaris tipis malah. Pria yang kini menatap langit itu tersenyum pada pria di sampingnya.
“Mereka hebat, mereka manusia pilihan Tuhan karena mereka berjalan untuk mencari keadilan. Bukan begitu?” seloroh pria itu sambil mengikat asal rambutnya yang nyaris acak-acakan sebab angin. “Tapi apakah Jauza benar-benar mendengarkan mereka? Keluarkan lebih banyak mayat untuk Windsteria.”
“Baik, Tuan Muda Agung.”
“Sebarkan lebih banyak rasa sakit, buat seluruh Nathuya bergejolak tanpa henti. Jika perlu, cekoki seluruh remaja untuk membuat para Windsteria lebih menderita!” Ia berteriak sembari tertawa nikmat.
“Laksanakan, Tuan Muda Agung!” jawabnya.
Ia menyeringai. “Mari berpesta untuk kehancuran Windsteria!” teriaknya lalu bersiul-siul kegirangan.
“Baik, Tuan!” Ia membungkuk rengkuh lalu pamit.
***
Satu bulan sebelumnya, tepat pada tanggal 3 Jenuwari 2024 Marrina Town, Linga, Nathuya barat.
“Sayap Mawar telah kembali. Kami berhasil memasuki dan bergerak di kawasan luar kekuasaan mutlak Battalion Windsteria!” seru seorang pria dengan buff berlukiskan bunga mawar.
“Keluarga Arthur, keluarga Margaret, dan lima remaja acak, bangkainya siap kami kirim ke Arcade Rooth juga sekitaran taman kota Windsteria!” Lainnya ikut berseru sambil menyodorkan sebuah kamera kecil.
“Sayap Lilac juga telah mengirim ratusan ribu botol singe ke perbatasan Ango dan Murth.”
Aroma keretek² memenuhi ruangan mewah dipenuhi beragam lukisan, rak senjata, rak buku sampai lampu-lampu gantung yang terang benderang. Pria bertubuh kurus tinggi dengan tanda lahir di wajah kanannya itu berdiri menghadap langit malam. Ia melirik, irisnya bergulir tajam ke sumber suara. “Hancurkan Distrik 2 dan 4! Aku juga ingin kalian mencari keluarga Cliff lalu habisi mereka!” titahnya tegas.
“Baik, Tuan!”
Sementara itu, sekelompok pria duduk menunduk sambil membaca setumpuk buku. Mata mereka tak berhenti memindai isinya, berpacu denting jarum jam yang terus berputar tanpa lelah.
“Bunuh mereka juga untukku!” Pria yang asyik dengan kereteknya itu memukul tepian jendela. Anak-anak rambutnya pun tersibak angin malam.
“Jangan kalian sisakan, tidak peduli mereka miskin atau kaya raya. Mereka tetap layak mati!” ujarnya lagi. Pria itu membuang ludahnya ke luar jendela sembari menerawang langit. “Windsteria tidak boleh bernapas dengan leluasa.”
“Baik, Tuan!” Mereka masih menjawab dengan kompak setelahnya bangkit sambil membawa buku masing-masing, lalu meninggalkan ruangan tersebut.
“Jangan tinggalkan jejak apa pun! Rapikan semuanya untukku!” Ia berteriak sambil tertawa lantang.
“Laksanakan!” sahut semua pria di dalam ruangan.
“Nah, bawakan aku arak, beri sedikit singe dan siapkan sashimi dari keluarga Moriuchi.” Pria itu tersenyum seraya menyugar rambut jingganya yang mulai tak rapi.
“Baik!” sahut pria dengan rambut perak yang sedari tadi duduk bersandar di dekat rak senjata api. Ia membungkuk hendak pamit.
“Oh iya, jangan lupa cari informasi lebih mengenai Jacsah Barenbud. Kudengar bocah itu bersekolah di Windsteria Elementary School. Temukan anak itu, bawa padaku tepat tanggal 5 Februwari nanti!” Pria itu menatap dengan tajam pada pria berambut perak.
“Siap!” jawabnya sigap.
Malam semakin suntuk, alunan piano dari ruang bawah membuat pria yang asyik menikmati kreteknya beranjak. Matanya memindai setiap sudut ruangan yang dipenuhi kamera pengintai, setiap dinding dihiasi lukisan bunga, hewan, juga beberapa interior serba cermin dan keramik.
“Reff, kau belum tidur?” Pria itu bersuara cukup keras, membuat suara piano seketika lenyap. “Hei, kau harus tidur!” Ia memekik sembari melangkahi pintu kaca otomatis.
“Kakak!” Seorang remaja laki-laki berusia sembilan belas tahun terjerembab jatuh dari bangku depan piano. Ia lekas bangkit sambil tersenyum getir. Wajahnya bulat dengan mata cokelat belo, rambutnya ikal tidak terlalu tebal, tubuhnya kurus mungil, dengan sedikit bekas luka sayat di lengan kiri.
“Kau belum tidur?” Pria itu bersuara cukup lantang. “Jangan bilang insomnia!”
“Kakak … aku ….” Remaja laki-laki itu cari-cari peralihan.
“Reffaelle!”
Suara tegas nan menggelegar membuat remaja laki-laki itu menggigil ketakutan. Matanya berkaca-kaca, dengan keringat dingin yang mulai timbul hiasi kening. “Maafkan aku, Kakak. Aku benar-benar tidak bisa tidur!” jawabnya gemetaran.
“Sudah aku katakan jangan biarkan dirimu tidur larut malam!” Ia berteriak kesal sambil menarik kerah baju Reffaelle, remaja laki-laki itu pun pasrah.
“Kakak sudah katakan jangan biarkan kepalamu terjaga!” Ia masih berteriak dengan kesal.
Embusan napas terdengar amat tipis penuh keputusasaan. Remaja laki-laki dengan nama Reffaelle itu menatap nanar. “Kakak, aku baru saja menyelesaikan tugas. Aku—tidak bisa!”
“Kenapa Tuhan harus menitipkan kau padaku! Kau benar-benar menjengkelkan!” Ia mendorong tubuh Reffaelle sampai terhempas ke lantai.
“Aku juga tidak minta jadi adiknya Kakak!” Remaja laki-laki itu turut berteriak. “Siapa jua yang mau jadi adiknya Kakak? Kakak bahkan tidak menyayangi aku!”
Remaja laki-laki itu menitikan air matanya. “Aku bahkan tidak pernah meminta dilahirkan sebagai bagian darimu!” Ia berteriak frustrasi.
“Aku benci Kakak!” Remaja laki-laki itu menarik sebuah lukisan ikan koi lalu dibantingnya ke arah cermin. “Seperti inilah perasaanku padamu! Hancur dan tak akan pernah bisa kuperbaik. Aku benci Kakak!”
Pria itu hanya bisa mengembuskan napasnya dengan ekspresi sebal. Ia melengos tatkala seorang pria dua puluh dua tahunan dengan rambut kuning cerah berbisik padanya.
“Tuan, jamuan malam sudah siap!” katanya.
Pria itu mengangguk sambil memijat keningnya. “Awasi Reffaelle, jika perlu kunci pintu kamarnya dari luar juga!” Ia memerintah dengan suara letih.
Meja makan sudah dipenuhi hidangan daging, makanan laut, sayuran, buah sampai makanan kering kalengan. Beragam jenis botol anggur dan arak juga memenuhi dinding yang mengelilingi meja makan.
Pria itu duduk dengan elegan, menyematkan serbet di kerah bajunya. “Daging bagian apa ini?” tanyanya seraya menyuapkan irisan daging.
“Daging pipi, Tuan!” jawab pria berambut perak, si bawahan yang selalu patuh dan sigap.
Ia menyesap aroma minyak zaitun dan manisnya daging yang memenuhi seluruh rongga mulutnya. Sensasi pedas dari lada hitam dan bubuk paprika pun menambah cita rasanya. “Pilihan yang selalu tepat, daging pipi memang begitu enak!” katanya.
“Esok, suruh keluarga Moriuchi memasak daging perut, jika bisa dimasak dengan lemaknya dan sajikan dengan salad lobak!” titah pria itu sebelum melahap habis hidangannya.
“Tuan Muda Agung!” Pria berambut perak menyodorkan gelas berisi minuman berwarna burgundi padanya.
“Perfecto! Kau selalu melakukannya dengan sempurna!”
“Terima kasih banyak, Tuan Muda Agung. Dengan senang hati melayanimu sampai mati!” ucap pria dengan rambut perak sambil membungkuk nyaris sujud.
“Itu baru sayapku, Sayap Tulip-ku yang berharga!” Pria itu menyeringai dengan congkak.
Catatan kaki :
1. DPO : daftar pencaharian orang. Orang-orang yang dicari pihak berwajib atas kecurigaan kasus tertentu.
2. Keretek : rokok yang tembakaunya dicampurkan dengan cacahan cengkeh atau serbuk cengkeh.
Mau ingetin lagi kalau buff itu masker terusan yang biasa dipakai di leher sampai ke hidung. Oke?
Publikasi 5 Oktober 2024
Kita sambil dengerin lagu Points of Authority dari LP
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro