Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB X : Mad Dogs

Tiga jam lebih setelah memasuki hutan buatan di perbatasan Batasku dan Batler. Tempat nama Takara tercatat sebagai kurir dan pengedar besar di wilayah tersebut. Luda mendobrak sebuah rumah kayu cukup kumuh di depan matanya. Di dalam, orang-orang seakan sudah tau kehadiran Luda, meraka sudah pasang badan.

“Benar kata Tuan Muda Agung, keluarga Barenbud memang punya penciuman yang hebat, Barenbud memang terlahir untuk jadi seekor anjing!” Mereka tertawa dengan nikmat. 

“Aku tidak datang untuk berperang, aku hanya datang untuk bertanya, di mana jasad Takara! Ia adalah salah satu tersangka pembunuhan di Distrik 4 beberapa waktu lalu!” todong Luda seraya menatap dengan tegas.

“Apa kau akan mengadili kami karena kami menyembunyikan jasadnya atau kami telah membunuhnya?” tanya seorang pria bertubuh tambun.

“Tidak. Aku hanya ingin kalian mengatakan padaku untuk siapa kalian bekerja dan untuk apa pembunuhan ini dilakukan? Nama Takara mungkin akan dibersihkan jika ia melakukannya demi dan atas perintah orang lain.” Luda masih menatap dengan tegas, walaupun suaranya benar-benar setenang air.

“Kami bekerja untuk uang, kau pikir kenapa kami menjual SD dengan harga selangit? Kami juga butuh uang untuk hidup, Takara pun!” Mereka berteriak sambil menodong sentaja pada Luda.

“Kalian hidup dijamin pemerintah, kalian mendapat gaji dari Battalion Windsteria. Padahal kalian tak pernah menguak kasus apa pun. Lantas kami masih miskin, Nathuya tidak adil untuk kami! Hanya Tuan Muda Agung yang mampu menjamin kehidupan kami!”

Luda masih cukup sabar. “Kami juga hidup menderita. Pekerjaan kami tidaklah mudah. Kau pikir apa yang terjadi pada kami setiap saat saudara-saudara kami mati bergelimpangan dalam keadaan mengerikan? Kami juga tersiksa!” paparnya.

“Persetan dengan kalian. Kalian hanya orang-orang lemah yang tidak bisa berbuat apa pun. Kalian bukan pahlawan!”

Luda memandang dengan iba. Jacsah, maaf jika kakakmu tak pernah kembali.

“Jika kau mengatakannya, aku berjanji akan melepaskan kalian dari kemiskinan, tetapi katakan padaku, siapa bandar SD terbesar saat ini, dari mana ia berasal, dan kenapa kalian bisa memproduksi SD lagi, dan kenapa setiap pembunuhan selalu berkaitan dengan SD dan—”

Belum selesai Luda bicara, sebuah serangan dari belakang nyaris membuatnya tertusuk. Asap biru tipis menguar dari celah-celah kayu membuat para penghuni rumah berteriak sambil menyerang Luda dari berbagi arah. Luda melompat ke sebuah pohon besar di halaman. Ia pun mengeluarkan beberapa kunai—senjata sejenis pisau kecil yang biasa digunakan para ninja—lalu melemparnya dan membuat beberapa orang terluka di bagian wajah dan lengan.

“Kukatakan, aku tidak datang untuk berperang atau melukai siapa pun, aku hanya ingin tau kenapa kalian membunuh orang-orang tak bersalah!” teriak Luda sambil melompat ke atas jip. “Aku tak akan melukai siapa pun!”

“Oi, Luda! Berhenti bekerja sendiri!” Suara itu membuat Luda terkejut bukan main. Namun, senyuman terbit setelahnya. Pria itu melompat ke bawah jip, menyambut kehadiran Noah bersama beberapa anggota Battalion Widsteria yang sudah bersenjata lengkap.

“Ystello memerintah kalian?” tanya Luda melirik singkat.

“Ia bilang akan mengurus markas dan kawasan Deeper Town. Ia percaya padamu!” kata Noah sambil merapatkan punggungnya ke punggung Luda. “Juzio juga masih menunggu Souran.”

“Ah, aku mengandalkan kalian!” seru Luda.

Aku berhutang satu malam untuk mimpi indahmu, Laanga. Luda tersenyum tipis sambil menangkis beragam serangan dengan ragam senjatanya.

***

Malam tanggal 4 Februwari lalu, setelah Souran beradu tegang dengan Kapten Noah. Pria itu kembali ke rumah dengan sepeda motor Ystello yang ia pakai tanpa izin. Souran melangkahkan kakinya ke sebuah minimarket lekas membeli sekaleng bir untuk menyegarkan mulut juga kepalanya yang suntuk.

Malam terlihat tidak terlalu bersahabat, langitnya temaram bahkan tak ada tanda-tanda kalau rembulan akan datang. Beberapa saat setelah menikmati minumannya ia pun bergegas. Pria itu sesekali mendesis kesal.

“Aku harus mengatakannya pada Luda. Ia harus mendengarnya lebih dulu, pendapat Ayah mungkin ada kaitannya dengan semua ini.” Mulut Souran komat-kamit.

Motornya memecah keheningan jalanan di Distrik 2. Pria itu lekas berlari ke garasi, ia ingat jika Luda di sana bahkan saat Jacsah pergi pun ia tak beranjak. Souran buru-buru, tetapi kakinya sontak terdiam tatkala pintu garasi terbuka dan memperlihatkan keadaan di dalamnya yang benar-benar seperti kapal pecah.

“Luda!” panggilnya melangkah perlahan. “Luda! Kau merusak tempat ini lagi, Luda jawab aku!” Souran masih berteriak. Sayangnya, tak ada hawa si empunya nama di sekelilingnya.

Souran mulai memunguti berbagai barang yang berserakan di lantai, termasuk setumpuk kertas yang sudah dipenuhi tinta dan mengering sempurna. Matanya gemetar beberapa jenak. Jakunnya pun turun dengan getir. Ia berlalu, lekas meletakkan kembali komputer dan papan ketik yang lumayan hancur ke tempatnya semula.

“Manusia sialan ini … suasana hatinya sungguh buruk. Mentang-mentang jenius dan bisa memperbaiki segalanya dengan tangan sendiri, selalu berbuat ketololan. Memang tololnya sudah mendarah daging!” gerutuk Souran sambil sesekali membuang napas kesal.

Souran bangkit, ia berjalan ke arah lemari kayu di sisi kanan garasi. Lemari tua yang tak pernah dibuka sejak tahun 2017, selepas ayah juga ibu meninggal dunia tepat di hari Jacsah lahir secara dipaksa. Souran menyandarkan kepalanya di sana sambil mengusap debu halus di permukaannya. Lemari berisi abu dari kedua orang tuanya itu terasa sangat menenangkan penciuman Souran.

“Ayah, semoga aku bisa mengatakannya pada Luda. Aku tau ia seperti Kakek, ia benar-benar keras kepala dan bebal, tapi aku juga tau kalau ia seperti dirimu. Sangat mirip. Kalian sungguh seperti pinang dibelah dua,” bisik Souran dengan raut sedih.

“Aku akan melakukan yang terbaik untuk Jac. Maafkan aku, Ayah, Ibu, aku akan me—”

“Wah, tempatnya benar-benar sudah rapi. Benar kata sejarah kalau darah Barenbud memang darah jongos. Jika tidak bisa menjadi anjing gembala, mereka hanya akan jadi alas kaki majikannya.”

Souran menolehkan kepalanya ke sumber suara. Seorang pria berpakaian serba hitam, dengan jubah rubin bertudung berdiri tegak menghadap ke arah Souran. Ia membusungkan dada, di tangannya terdapat dua pedang lurus agak melengkung di bagian ujung. Bilahnya berwarna putih gading dengan masing-masing pedang berukirkan naga emas dan kobra hitam.

Souran membelalak sambil merasakan jantungnya hampir meledak saking terkejutnya. Pria itu memegangi lehernya yang terasa amat berat. Sialan ini batinnya berteriak kaos.

“Lama tidak bertemu putra Horan Barenbud. Bagaimana kabarmu?” sapa pria itu sambil membuka tudung kepalanya. Kini Souran dapat melihatnya, wajah tenang dengan mata kiri pecak, di pipinya terdapat luka sayat cukup dalam, bagian mulutnya ditutupi buff¹ putih dengan lukisan bunga tulip.

“Kau …!” Souran berteriak berang. “Rupanya memang kau masih hidup!” Ia tak bisa berpikir jernih.

“Tuan Muda Agung belum mengizinkan aku mati, sebelum kau mati di tanganku sebagai bentuk negosiasi yang adil!” jawabnya sambil tertawa dengan renyah. Ia menurunkan penutup mulutnya.

“Tapi aku tak ingin membunuh siapa pun hari ini,” kata Souran dengan suara pelan.

“Hamal Jauza telah melemahkan rakyat Nathuya. Terasa sangat menjijikkan berada di depan wajahmu!” sindirnya. “Aku mual, kubunuh saja dirimu tanpa perlu buang waktu.”

“Bunuh saja, aku tidak keberatan.” Souran menatap dingin.

Pria itu melompat ke arah Souran lalu memeluknya dengan mesra. “Aku akan mengabulkannya di depan adik kecilmu, Jacjac Barenbud!” cicitnya membuat kedua iris pria itu membesar ketakutan.

“Jangan sentuh adikku!” teriak Souran merasa frustrasi.

Kabut tebal tiba-tiba membuat Souran kehilangan tumpuan di kakinya. Pria dengan jubah rubin bertudung itu komat-kamit merapalkan sesuatu. Souran mencoba membuat dirinya tetap sadar, tetapi kepalanya terasa begitu sakit ketika pria itu semakin mengeraskan suaranya.

“Persetan dengan para pemuja Jauza! Terkutuklah kau, terkutuklah kau! Matilah mati!” Ia menjerit di telinga Souran sambil mencekik leher pria itu sekuat tenaga.

Ayah aku tak pernah percaya jika Tuhan itu ada. Aku juga tidak terlalu yakin jika Jauza itu bisa kita andalkan. Hati kecilku lebih yakin jika Smis benar-benar bisa membuat manusia menderita. Kedua bola mata Souran memutih, kelopak matanya terpejam erat.

Catatan kaki :
1. Buff : kain/masker terusan yang biasa dipakai di leher sampai ke hidung.

Pic by Pinterest.

Halo, lama nggak jumpa. Maaf janji update jum'at tanggal 13 nggak ditepati karena ada halangan. Untuk tanggal 30 update 3 bab juga sepertinya nggak jadi, jadi aku putuskan tutup bulan September dengan update 1 bab aja. Di bab 10.

Terima kasih yang sudah menunggu, semoga kalian suka sama bab penutup di bulan ini. Sambil denger MLF lagi, ya. Versi yang mix, di sini vocal Taka kenceng banget sedap pokoknya.

Publikasi 27 September 2024
See you tanggal 5 Oktober 2024, ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro