Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB II : Cult 1925

Arcade Rooth—stasiun kereta gantung terbesar di Distrik 4. Pukul 20:55 waktu setempat. Beberapa anggota Battalion Windsteria mual-mual, mereka tak kuasa menahan asam lambungnya yang bergejolak. Bagaimana tidak, keadaan para korban benar-benar mengerikan.

Semuanya tewas mengenaskan dan mengalami kulit melepuh karena indikasi Singe & Doom, jenis obat terlarang paling bahaya di Nathuya dan tidak dijual belikan secara bebas. Satu di antara mereka mengalami isi perut terburai, dua lainnya kehilangan bokong, telinga, dan pipi hancur, sisanya kehilangan kemaluan bahkan nyaris termutilasi.

Dari luka yang timbul, menurut Mazuke Joe, kapten regu 7 Battalion Windsteria, korban kali ini dihabisi menggunakan Cult 1925, pedang panjang bergaya eropa yang diproduksi dan dijual bebas di Nathuya sekitar tahun 30'an. Menurutnya, pembunuhan kali ini juga dilakukan oleh kelompok profesional, seperti biasa.

Aroma busuk menyengat menembus masker gas yang dikenakan Ystello, kapten regu 1 sekaligus ketum lapangan Battalion Windsteria. Ystello mendengkus kesal. Pria dengan rambut dan kulit seputih salju itu mendesis. Irisnya yang biru indah membesar emosi.

“Luda, tempat ini mengerikan dan kau baik-baik saja?” protes Ystello dengan kesal. “Sampai kapan pembunuhan seperti ini akan terus terjadi?”

“Simpan rasa kesalmu, kita tidak datang untuk mengeluh!” jawab Luda melirik tajam.

Luda berjongkok untuk merapalkan doa di depan jasad para korban. Kapten regu 11 itu mengembuskan napas. “Turunkan lutut kalian!” titahnya, ia merapatkan kedua tangan di depan wajah. “Wahai Hamal Jauza, Sang Maha Kasih, terimalah kematian mereka, berilah mereka kebahagiaan setelah mereka melalui akhir hayat yang penuh derita.”

“Terpujilah Jauza!” sahut para anggota Battalion Windsteria yang bersimpuh di balik punggung Luda.

Para korban pun dievakuasi, sementara itu beberapa anggota dari regu 1, 7, dan 11 berpencar di sekitaran tempat kejadian. Luda, Ystello, Mazuke, juga sisa anggota lainnya berdiri membentuk lingkaran di balik mobil jip tempat persenjataan.

“Periksa semua CCTV di kawasan ini, pastikan para warga tidak keluar dari kediaman mereka untuk beberapa waktu!” ucap Luda dengan tegas. Mereka dengan sigap berpencar.

“Hei, akulah pemimpinnya!” protes Ystello ketika semua orang menuruti perkataan Luda. “Hei!” Nyaris tak ada yang peduli padanya.

“Kabari pihak keluarga korban, katakan dan mintalah izin agar korban dimakamkan oleh Battalion Windsteria,” kata Luda tegas. “Jika mereka meminta untuk melihat keadaan para korban, sebaiknya tidak kalian izinkan apa pun alasannya.” Luda kembali mengawasi tempat kejadian.

“Oi, anjing sialan!” panggil Ystello sambil mendekati. “Kenapa Jauza menghukum Nathuya di masa lalu?” Ia mencoba mendorong dada Luda.

“Karena layak.”

“Harusnya Ia menghukummu juga. Sialan!” Pria itu mengusap rambut putihnya kesal. Sedang Luda hanya tersenyum.

“Dulu dukun dari Mashuu, di lembah Growun tepatnya perbatasan Batler dan Salted Dome di wilayah timur laut Nathuya mengatakan, kalau tsunami datang karena Hamal Jauza murka atas berbagai kejahatan yang dilakukan manusia. Saat itu, Nathuya masih dipegang keluarga Springer. Mereka korupsi, nepotisme, dan membuat rakyat menderita. Banyak perbudakan antara pejabat dan rakyat jelata. Prostitusi juga, dijadikan lalap dan ladang mengais rezeki. Mereka lupa beribadah.”

“Leluhurku juga bilang, Nathuya saat itu seperti akhir zaman. Pada tahun 1900'an, pasca tsunami membumiratakan Nathuya, kejahatan karena kurangnya pasokan makanan, dan kemiskinan membuat orang berlomba-lomba menjarah. Mereka juga memburu hewan-hewan suci penjaga hutan serta gunung. Jauza sangat murka, manusia bergelimpangan karena alam yang mati. Saat itu benar-benar seperti neraka berjalan.”

“Takhayul.”

“Entahlah. Itu hanya cerita leluhur Barenbud.” Luda memandang langit. “Bahkan katanya Nathuya jadi lautan mayat, termasuk para penjahat negara.”

Ystello menatap lekat. “Lalu, apa Jauza akan murka lagi karena kita belum bisa menyelesaikan kekacauan ini, Luda?” tanya Ystello dengan suara parau.

“Entahlah. Mungkin iya.”

“Luda, apakah Nathuya akan kembali baik-baik saja?” Suaranya gemetar. Ia mendongak ke arah langit sambil sesekali menarik napasnya dalam-dalam. “Aku merasa gagal memimpin kalian, untung aku punya dirimu.”

“Kau tidak sendiri, Yst. Kau tak akan gagal sendirian. Ingat, para pembunuh akan membusungkan dada sekalipun dunia melihanya kejam. Mereka menganggapnya sebuah kesenangan,” ketus Luda.

“Orang-orang di balik semua ini tertawa karena kita tak bisa berbuat apa-apa selama berpuluh tahun terakhir tapi jangan pasang wajah begitu, meraka hanya akan semakin membusungkan dada, menertawakan ketidakbecusan kita, dan mengolok-olok ketidakberdayaan kita. Jangan pernah tunjukkan wajah itu lagi.” Luda menarik Ystello ke dalam pelukannya.

“Demi adikmu, orang tuaku, juga saudara kita yang menjadi korban pembunuhan keji ini dan demi adikku yang saat ini mungkin dalam bahaya. Kita tetap harus berjalan walau merangkak di atas darah saudara-saudari kita, Yst.”

Ystello menangis sekerasnya, sambil memukuli tubuh Luda yang sedikit lebih tinggi dan besar darinya. Luda menepuk-nepuk kepala Ystello. “Hamal Jauza pasti akan tersenyum satu hari nanti. Aku percaya,” bisik pria itu.

***


Luda membasahi kepala, pria itu menatap wajahnya di cermin. Kantong matanya begitu kentara, dan kulit wajah pun tampak sangat kusam. Pria itu meninggalkan kamar mandi.

Ia berdiri di depan mural simbol Battalion Windsteria. Dua buah pedang lengkung berwarna hitam dengan ukiran api jingga kemerahan bertuliskan Battalion dan Rebellion berbaring menyilang di atas pedang lurus berwarna putih dengan ukiran gelombang air kebiruan bertuliskan Windsteria yang dikelilingi guguran bunga lilac.

Battalion Windsteria, sebuah organisasi yang dibentuk pemerintah pada tahun 1900'an pasca tsunami membuat Nathuya dilanda beragam kejahatan dan kerusakan moral. Battalion Windsteria diciptakan demi membawa masa depan yang baik untuk Nathuya. Pada awalnya dibentuk hanya untuk menangkap para pencuri dan perusak alam, pemburu liar, ataupun pembunuh kelas teri. Namun, sejak kasus pembunuhan tanpa jejak marak terjadi. Battalion Windsteria diberi tanggung jawab penuh oleh para petinggi negara untuk menyelesaikan hukuman bagi para pelaku dengan cara dan eksekusinya sendiri.

Sayangnya, selama tiga puluh tahun terakhir, Battalion Windsteria seakan kehilangan pamornya. Ratusan kematian atas pembunuhan brutal dan pembantaian keji belum dapat diselesaikan, kendati sebaliknya, kematian kian hari kian bertambah banyak, peredaran obat-obatan haram pun semakin merajalela dan menguasai seluruh sendi kehidupan Nathuya khususnya di kalangan remaja dan itu membuat Nathuya terus bergejolak.

Luda beranjak dari depan dinding. Ia hendak memasuki ruangan diskusi regu 11, dari balik punggungnya berjalan Juzio.

“Kakak, aku minta data korban pembunuhan Distrik 3 minggu lalu!” katanya dari balik punggung Luda.

“Aku baru meminta Souran membawakannya untukmu!” jawab Luda lesu.

Selagi ketiga kakaknya bekerja, Jacsah sudah tertidur pulas. Suara mobil jip seakan melaju semakin dekat dan berhenti sejenak. Jacsah menggeliat, liurnya membasahi bantal. Langkah kaki mengendap-endap memasuki kamar Jacsah. Ada senyuman kecil yang membuat pipinya kemerahan.

“Kau membiarkan perut kecilmu dicumbu angin,” bisik Souran sembari menutup tubuh Jacsah dengan selimut.

Pipinya dikecup dengan lembut, kelopak mata Jacsah perlahan-lahan terangkat. Ia tertawa kecil ketika Souran menatapnya lalu mengecup pipinya lagi.

“Tidurlah, masih jauh ke pagi.”

“Kakak, sudah pulang?” Ia masih setengah tidur.

“Kami tidak akan pulang untuk seminggu. Maaf, ya,” bisiknya.

“Eh, lagi?” pekik Jacsah menyeruput liurnya sambil melotot.

“Kakak akan membawakan Jac hadiah. Bulan depan kita rayakan Valentine bersama sambil memohon kebahagiaan pada Jauza,” bisik Souran. “Tunggu kami pulang, ya?”

Jacsah hanya mengangguk, lalu memejamkam matanya lagi dan kembali mengeluarkan suara dengkur nan renyah. Selang beberapa menit, Jacsah mengerang. Kedua iris rubinnya terbuka lebar. Ia menatap pada jam dinding. Masih jam dua malam.

“Mungkin aku bermimpi, soalnya Bricks dan Bones juga tidak bangun,” cicitnya. “Aku sungguhan mendengar suara Kak Souran yang serak basah. Bahkan aku merasakan bibir seksinya yang bau bakau, brewoknya juga menggelikan.” Jacsah cekikikan sambil menjulurkan tubuhnya ke bawah ranjang, mengusap-usap bulu dua anjing peliharaannya yang terlelap.

Di balik dinding kamar adiknya, Souran berdiri sambil memegangi sebuah buku catatan setebal batu bata. Souran bergumam, “Kami akan segera kembali, Jac!”

Ia menyempatkan memeriksa CCTV dan memastikan keadaan rumah aman sebelum kembali ke markas. “Bersabarlah!”


Publikasi 04 September 2024
Hari ini up dua bab, aku akan istirahat sampai hari minggu. Karena kondisi kurang memungkinkan untuk menulis dadakan.
Tremkaseh;)

Salam dari tiga kakak Barenbud dan si bontot Jacjac huhuuu. Enggak deng bercanda ≧﹏

Hari ini sambil dengar lagu ONION! dari One Ok Rock. Versi live di acara West Rock lebih enak karena digabung sama Ending Story??

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro