Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB I : Breaking News

Tetesan darah menggenang, aroma dracgone memenuhi seisi ruangan remang-remang cahaya rembulan. Lehernya tergantung, dengan sekujur tubuh penuh luka sayat. Sebuah pesan tertulis di dinding. Kalimatnya begitu sarkastis.

Aku akan bertemu dan bertamu ke rumah Tuhan, aku akan mengatakan kalau aku menderita karena para penguasa selalu memperbuncit perut sendiri.

Lintas berita, 13 Jenuwari 2024.

••●••

Distrik 2, Windsteria, ibu kota Nathuya. Pukul enam sore. Jam dinding terus berdetak, bersahutan suara serangga musim panas. Di depan sebuah televisi seorang pria duduk termangu. Embusan napas terdengar begitu letih, wajahnya tampak kurang tidur terlihat dari kantong matanya yang hitam, bak arang. Ia mematikan televisi yang mulai menyiarkan berita yang sama.

Dracgone, kuharap barang haram ini dimusnahkan saja.” Ia menghela napas.

“Aku ingin libur bertugas hari ini, aku ingin tidur,” gumamnya. Namun, tangannya justru bergerilya di dalam sebuah laci. Ia memasuki ruangan yang terletak di bawah tangga. Ruangan yang dipenuhi komputer, dan ragam senjata api, senjata tajam, juga sederet rak dengan ratusan buku.

Ia mengikat rambutnya yang cukup jabrik. Helaian rambutnya yang marun menjuntai menghalangi mata ketika ia duduk serius di depan komputer, tak lupa kacamata super tebal memperjelas kantong matanya yang hitam. Ia kembali membuang napas.

Langkah kaki kecil mengekor diam-diam. Tubuh mungilnya mengendap-endap. Bibir merah cerinya melengkung begitu ceria. Ada satu kegiatan yang Jacsah suka dari si sulung Luda. Pria berusia tiga puluh tahun itu selalu belajar dengan serius. Ia senantiasa sibuk di laboratorium sederhana ciptaannya sendiri, ruangan dari bekas garasi dan kini jadi tempat uji coba banyak hal yang menarik.

“Apa yang Kakak buat?” Bocah laki-laki berusia tujuh tahun itu menatap dengan saksama. Irisnya berwarna rubin seiras warna rambutnya, memancarkan rasa penasaran yang menyala-nyala. Wajahnya bulat dengan pipi bakpau kemerahan juga hidung mungil. “Robot? Obat? Peluru?” ocehnya.

“Penguntit!” Luda, ia tertawa. Pantulan iris marun senada warna rambutnya itu berbinar, bergulir di balik lensa kacamata. “Kakak tidak buat apa-apa,” jawabnya.

“Apa aku boleh menyentuhnya?” tanya bocah itu dengan semangat. Luda menggelengkan kepalanya.

“Tidak, semua ini benda berbahaya,” ucap Luda sambil membelai wajah Jacsah. Kakak beradik dengan marga Barenbud itu saling menatap. “Kakak takut Jac terluka.”

“Kalau begitu, bisakah aku melihat Kakak mencoba salah satunya?” Bocah laki-laki itu memelas.

“Baiklah, kalau begitu sedikit menjauh dari sini, kau mungkin akan terkena anginnya,” ucap Luda. Ia bangkit dari tempat duduknya. Kemudian meraih cambuk kulit yang terpajang di dinding. Lalu, menariknya dan mengentakkan cambuk itu ke lantai, seketika lantainya terasa bergetar.

“Wah, keren!” seru Jacsah sambil berjingkrak.

“Untuk yang selebihnya, Kakak tidak bisa beri tau Jac,” kata Luda.

Jacsah mengerutkan dahinya. “Kenapa?”

“Emm, tidak untuk saat ini!” jawabnya santai.

“Aku ingin melihatnya!” kekeuh Jacsah sembari manyun kecewa.

“Kau harus berdiri lebih jauh,” ucap Luda yang kini bersandar di dinding.

Jacsah seketika berlari ke sebelah rolling door. “Segini? Apakah cukup?” pekiknya. Luda mengangguk.

“Kakak tidak ingin melukai Jac, jadi tetap di sana dan jangan banyak bergerak, oke?” Luda menatap dengan saksama. Suaranya terdengar tegas, lembut, dan sedikit meyakinkan.

“Siap, Kapten!” pekik Jacsah dengan semangat.

Luda menarik sebuah pedang lengkung berwarna hitam pekat dengan ukiran api berwarna jingga. Pria itu mulai mempertontonkan kebolehannya, membuat mulut kecil Jacsah terbuka lebar. Menganga ia dengan iris berbinar-binar, sesekali menarik liurnya yang nyaris tumpah.

Sementara, Jacsah masih terkagum-kagum. Luda menggerakkan tangannya lebih liar dan lihai. Ia menebas angin sambil berputar hingga tak sengaja menebas rak buku dan menghancurkan hampir setengah isinya ketika ia maju dua langkah ke kanan.

Jacsah semakin terkagum-agum, ia sampai lupa jika ia tidak boleh beranjak, sebab berbahaya. Kakinya malah berlari mendekat. Bocah itu terkejut sambil memekik ketika ujung pedang nyaris mengenai wajah, tatkala Luda mundur.

“Auh—keren! Marvelous!” teriaknya begitu kegirangan. Jacsah tak berhenti terkagum-kagum. “Aku ingin menyentuhnya!”

Luda mengembuskan napas. “Bocah nakal, bagaimana jika … wajahmu bisa terluka?” tegurnya. Jacsah hanya nyengir.

Luda menyimpan kembali pedangnya. “Kemarilah, Kakak punya sesuatu!” pinta pria itu dengan suara lembut. Ia duduk di kursi depan komputer.

“Apa, apa?!” Jacsah melompat-lompat girang.

Luda mengusap wajah Jacsah, kemudian mengecup kening bocah itu dengan lembut membuat pipinya kemerahan. “Emm, suatu hari nanti Jacsah pasti lebih keren!” puji pria itu.

Tangan Luda memenangi tangan Jacsah, menggerakkannya meninju udara. Sesekali, ia juga menuntun Jacsah untuk menyikut udara. Di balik tubuhnya, tangan Luda memenangi pinggang bocah itu dan membuatnya melompat lalu menendang udara dengan posisi sedikit menyerong.

“Kau harus melakukannya dengan sepenuh hati. Musuhmu akan tertawa jika kau lemah,“ bisik Luda membuat Jacsah tertawa.

“Apa aku akan melawannya dengan tangan kosong?” Ia menjulurkan lehernya ke belakang, menatap Luda dengan saksama. Pria itu pun membalik tubuh Jacsah.

“Emm.” Luda memegangi pipi Jacsah. “Akan Kakak pikirkan.”

Rolling door tergulung ke atas, tampak dua pria dengan rambut dan warna iris serupa Luda berjalan memasuki garasi. Souran, pria dua puluh lima tahun, wajahnya percampuran Jacsah dan Luda. Ia khas dengan berewok tipis dan rambut ikal. Sedang satunya, Juzio, dua puluh tahun, berwajah percampuran Souran dan Luda, pipinya berhiaskan freckles, berambut wolfcut.

“Kakak … berhenti bersemedi di tempat ini!” Juzio protes sambil memandang sebal. “Dan jangan membuat kerusakan lagi. Ystello bisa marah!” omelnya.

“Jangan buat kami mencarimu! Bersiaplah, Distrik 4 memanggil, mereka menemukan bangkai baru, korbannya tiga pemuda, dan dua gadis.”

“Baiklah.” Luda membuka kacamatanya. “Jac, kau pergilah tidur. Esok, Kakak akan memberimu hadiah tambahan.”

“Oke!” seru Jacsah sambil berlari menuju rumah yang letaknya di atas garasi. Bocah laki-laki itu melambaikan tangannya.

“Kau melatihnya?” todong Souran sambil bersidekap, kedua iris marunnya menatap ketus.

“Tidak.” Luda hendak berkemas. Sayang, tangan Souran mendarat di kerah baju pria itu.

“Jacsah masih berusia tujuh tahun. Jadi, jangan libatkan bocah ingusan itu!” bentak Souran. “Aku tidak ingin sesuatu terjadi padanya.”

“Suatu saat kita juga akan mewariskan tugas ini padanya. Sudah berpuluh tahun berlalu, dan pembantaian juga pembunuhan tanpa jejak ini terus berlangsung. Jacsah perlu bekal untuk itu!” ungkap Luda dengan suara pelan.

“Aku akan menjaganya.”

“Ingat umur kita dan pekerjaan kita, Souran! Aku tidak main-main, karena aku sungguh-sungguh mencintai Jacsah sebagai yang paling muda di antara Barenbud lainnya. Aku akan terus—”

Souran menampar Luda, sedang Juzio sibuk memeriksa cambuk di dinding dengan wajah tak peduli pada apa yang didengar dari kedua kakaknya tersebut.

“Aku tak akan mati sebelum kehidupan kembali membaik. Jacsah juga adikku!” Souran masih membentak.

Alarm dari readdyc—ponsel berwujud jam tangan—milik Souran dan Juzio berdering, panggilan darurat tertulis di sana.

“Ganti bajumu, dan jangan pernah meninggalkan readdyc milikmu!” sindir pria itu sambil melangkah ke arah lemari di sudut ruang. Souran mengambil beberapa barang untuk mengisi ransel. Tak lupa memakai pelindung tangan juga kaki berbahan baja, juga rompi anti peluru. Pria itu pun membawa tombak yang ia simpan punggungnya.

Juzio menepuk-nepuk pundak Luda. “Semangatlah!” katanya. Pria itu lekas mendekati Souran dan memakai pelindung serupa. “Jangan pasang wajah kusutmu, di depan Ystello, Kak!” Bibirnya bergumam, ia berjalan sambil memboyong empat pistol yang disimpan di kedua sisi ikat pinggangnya.

Luda memijat kepalanya, ia memasang kembali kacamata, membingkai irisnya yang tampak lelah. Ia lekas memakai pelindung serupa juga memasang readdyc di tangannya yang gemetar.

“Ah, Souran benar, tapi aku juga tak salah.” Luda memukul keningnya. Ia mengaitkan tas kecil berisi pisau lipat dan senjata kecil lainnya ke pinggang. “Kuharap dunia segara membaik.”

Publikasi 02 September 2024
Untuk tiga hari ke depan, mungkin aku akan memperbaharui bab secara berkala. Karena ada kuota sambil nulis dadakan biasa ehehe.

Salam kenal dari keluarga Barenbud. Kakak Luda, Kakak Souran, Kakak Juzio, dan si bontot Jacjac;)

Terima kasih telah mengunjungi Nathuya.
Hari ini mari sambil mendengarkan Renegades dari One Ok Rock.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro