Aku menatap lelaki yang menangis sendu.

Sendu karena telah kehilangan seseorang.

Seseorang yang pernah hadir dalam bahagiaku.

Bahagia yang pernah terlukis indah di hidupku.

Hidupku dahulu penuh canda dan tawa.

Tawa yang menghilang, seiring detak detik yang tak mampu berkutik.

Berkutik untuk melawan sang waktu.

Waktu yang seakan berhenti, layaknya jam pasir yang telah habis kuota.

Kuota, bukan kata tanpa makna, melainkan penyambung komunikasi kita.

Kita, iya kita, aku dan kamu yang kini terpisah jarak.

Jarak , seberapa jarak lagi kita harus berpisah.

Berpisah karena keadaan yang tidak mendukung .

Mendukung keputusan yang tak pernah aku pikirkan sekali pun.