Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Rumusan Masalah - 1

Gerisik dedaunan yang saling beradu tertiup angin membelai-belai indera pendengaran Hari. Matanya menjelajah jalanan yang asri. Pepohonan rimbun, tanah yang gembur serta sawah dan kebun yang mengisi lahan-lahan di pinggir jalan menyuguhkan angin segar yang dicari pria yang kini menekuni tabletnya. Sengaja ia menurunkan kecepatan mobilnya, berkendara di tepi. Tak lupa dimatikannya AC mobilnya kemudian membuka kaca di sampingnya. Refleks Hari menarik napasnya dalam-dalam kemudian mengembuskannya pelan.

Tetap menerima tawaran mengajar di kampus yang jauh dari tempatnya biasa mengajar di tengah-tengah kesibukan akan disertasinya tidaklah buruk. Hari butuh suasana baru untuk mengenyahkan kejenuhannya. Terlebih, informasi yang diberikan soal kampus yang ditujunya ini tidak seperti kampus yang sudah Hari cecapi selama menjadi dosen. Bukan Hari namanya kalau tidak tertantang.

Pemandangan yang terpampang di mukanya memberikan hawa lain. Pikirannya tenang, semangatnya pun bangkit. Hari kembali membaca tugas yang menjadi tanggung jawabnya di tempat yang sama sekali belum pernah dipijakinya itu. Hari mengangguk-anggukkan kepala seakan-akan tulisan pada tabletnya berbicara. Sesekali pria itu menggulir layarnya, lalu kembali fokus ke jalan.

Menghentikan mobilnya, Hari melihat plang besar di depan gedung kampus yang didominasi warna biru dan putih. Universitas Mandala Jaya. Lagi, ia melihat tulisan pada tabletnya untuk memastikan. Benar. Itu kampus yang dimaksud Prof. Dani, Ketua Rektor Universitas Buana Jaya yang mengutusnya untuk mengajar di sana.

Memastikan kalau mobilnya terparkir dengan baik, Hari turun membawa serta ranselnya. Tak lupa dikenakannya lagi sepatu yang dilepasnya selama mengemudi tadi.

"Kang Hari, ya?" Seorang pria paruh baya menyapanya di sela-sela kegiatan Hari berkaca pada mobilnya.

"Betul, Pak." Hari mengulurkan tangannya, menjabat tangan keriput pria yang sedikit menunduk padanya, membuatnya ikut menunduk.

"Saya Somad, yang kemarin Prof. Dani hubungi." Logat Sunda-nya cukup kental meski bahasa Indonesia-nya lancar.

Hari mengingat-ingat, kemudian mengangguk. "Ah iya, Pak Somad," ucapnya dengan senyum ramah. "Saya belum telat, kan, Pak?" tanyanya seraya melihat jam tangannya.

"Belum, Kang. Prof. Yayat-nya juga sedang ada rapat. Tapi Beliau sudah titipkan sama saya."

Hari mengikuti langkah Pak Somad memasuki lobi. Seorang pria yang duduk di balik meja customer service melihatnya, tersenyum meski tengah melayani mahasiswa. Melirik ke arah sofa yang membelakangi kaca, wajah-wajah anak muda didapatinya. Beberapa mahasiswa duduk berkelompok, ada juga yang terpisah sendiri memainkan gawai. Ada yang mengobrol seru, mengerjakan tugas, hingga yang duduk di lantai dengan laptop di pangkuannya. Sedikitnya pemandangan yang dilihatnya di waktu pertama kalinya menginjakkan kaki di Universitas Mandala Jaya membuat Hari yakin kalau kampus tersebut bukan masalah besar untuknya.

Suara langkah tergesa membuatnya menoleh ke belakang. Matanya menangkap seorang perempuan yang melewatinya. Langkahnya terburu-buru menaiki tangga demi tangga yang bentuknya berbelok. Sebagian wajahnya ditutupi masker. Sweter biru dongker kebesaran yang dipakainya menjadikan badannya tenggelam.

"Terima kasih sudah datang, Kang. Ya ... kampusnya mungkin tidak sebagus kampus tempat Kang Hari biasa mengajar. Tapi besar harapan kami untuk bisa mengembangkan kampus ini seperti Universitas Buana Jaya lewat penelitian yang diwajibkan bagi para dosennya."

Masih dengan pandangannya yang menyapu sekitar, menangkap tiap sudut kampus, Hari tetap mendengarkan Pak Somad yang kemudian mengajaknya menaiki tangga. Beberapa hal yang tampak cukup menegaskan bahwa benar Universitas Mandala Jaya satu yayasan dengan Buana Jaya.

"Sebenarnya Prof. Yayat sudah mengajukan hal ini juga pada Rektor, mengadopsi sistem yang sudah aktif dijalankan Buana. Tapi Ketua Rektor yang menjabat waktu itu belum mengizinkannya karena fokusnya pada akreditasi yang terus ditingkatkan. Periode ini Prof. Lingga yang menduduki jabatan Ketua Rektor di sini. Beliau aktif menerbitkan Jurnal Nasional sampai Internasional. Jadi Prof. Yayat kembali mengajukan sistem tersebut walau sementara ini dimulai dari FEB[1] dulu. Mudah-mudahan terlaksana dengan baik, penelitian ini nantinya akan diberlakukan untuk semua fakultas."

Hari sudah mendengar hal tersebut dari Prof. Dani dan Prof. Yayat. Sebelum menerima tawaran ini, ia dibuat heran dengan kenyataan bahwa dosen di Universitas Mandala tidak aktif melakukan penelitian. Baginya, sudah seharusnya dosen di kampus-kampus aktif melakukan penelitian guna berkembangnya ilmu dan pengetahuan yang bisa disampaikan kepada khalayak khususnya Mahasiswa. Setidaknya untuk kebutuhan internal kampus.

Tiba di lantai tiga, Pak Somad menuntun Hari ke ruangan yang tidak jauh dari tangga, mengajaknya masuk ke dalam ruangan besar berisi beberapa meja yang tak semuanya ditempati.

"Ini ruangan khusus dosen FEB, Kang. Itu Bu Senja. Orang Jakarta juga, sama dengan Kang Hari. Ini semester kedua Bu Senja jadi Kaprodi[2] Manajemen Bisnis," tutur Pak Somad menunjuk perempuan yang menunduk di meja yang membelakangi jendela, letaknya tampak berbeda dari meja-meja lain yang posisinya vertikal. "Ini masuk tahun keempat Bu Senja mengajar di sini. Minggu lalu baru saja sidang untuk disertasinya. Bu Senja itu dulunya dibawa Prof. Lingga, anak didik Beliau waktu mengajar di Jakarta."

Hari terangguk-angguk mendengar penjelasan lebih lengkap dari apa yang sebelumnya diberitahukan Prof. Yayat dan Prof. Dani. Bahwa Ketua Program Studi Manajemen di sana perempuan, seusia Hari, sedang menempuh S3 dan orang dari ibu kota—detail yang akhirnya membuat Hari tertantang sekaligus tertarik akan tawaran dari mentornya itu. Seperti kata pepatah; sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Selain untuk memenuhi hasratnya akan tantangan, saat itu Hari pikir kalau tak ada salahnya punya teman yang sama-sama mengerjakan disertasi, terlebih seumuran. Akan jadi seperti teman sekelas yang mengerjakan tugas bersama-sama. Fakta bahwa perempuan bernama Senja itu sudah selesai sidang disertasi kian memacu semangat Hari. Juga, ia semakin penasaran akan sosok perempuan itu.

"Punten[3], Bu. Saya dapat titipan pesan dari Prof. Yayat untuk mengantarkan Kang Hari bertemu Bu Senja dulu," ucap Pak Somad. Perempuan yang menunduk itu langsung menegakkan badannya, kemudian mengangguk, bergantian melihat Pak Somad kemudian Hari yang menyipitkan matanya. Masker yang sedang dilepaskan perempuan itu semakin meyakinkan Hari kalau itu sosok yang mendahului langkahnya tadi.

"Pak Bukhari Abdisadjana, dari Universitas Buana Jaya." Senja melihat portofolio rekan kerja barunya.

"Gue kira tadi Mahasiswi," ucap Hari pelan namun berhasil membuat Pak Somad terkekeh karenanya. Senja yang tengah meraih tumpukan kertas di sudut mejanya pun menukikkan alisnya.

"Maaf saya tinggal. Saya harus ke Rektorat," ucap Pak Somad. "Nuhun[4], Bu," ucapnya, kemudian melihat Hari yang mempersilakannya untuk pergi.

Sepeninggal Pak Somad, tak ada yang Hari lakukan selama duduk di hadapan Senja. Dilihatnya perempuan yang tidak terusik dengan keberadaannya. Tak ada perkenalan diri dari perempuan berkerudung biru dongker tersebut. Meski Prof. Dani, Prof. Yayat dan Pak Somad sudah menyebutkannya, tetap saja mengenalkan diri secara langsung adalah hal berbeda.

Mencoba mengerti, Hari membuka-buka tabletnya, mengecek pekerjaannya lagi. Menit demi menit dilaluinya, Senja masih tetap pada posisinya. Merasa tak nyaman didiamkan begitu, Hari berdeham, berharap perempuan sibuk itu sadar akan keberadaannya. Tapi nihil. Senja masih fokus dengan pekerjaannya. Meski Senja atasannya, tidak sadar akan keberadaan orang sekitar adalah hal paling tidak sopan bagi Hari. Apa memang seharusnya ia pergi langsung menemui Prof. Yayat? Atau berjalan-jalan keliling kampus?

Hari mendengus, mengenyahkan pikirannya. Sungguh, perempuan di hadapannya membuatnya luar biasa heran. Entah mungkin karena ini di luar perkiraannya. Dilihatnya Senja yang dengan santainya membaca draf proposal skripsi sementara Hari diangguri.

"Saya tidak dapat himbauan apa-apa dari Prof. Yayat. Jadi saya belum bisa mengatakan apa-apa juga. Tapi saya harap Pak Hari bisa membantu perkembangan kampus ini khususnya Program Studi Manajemen. Boleh saya tahu kapan Pak Hari bisa mengajar di sini? Sementara ini ada enam kelas yang perlu Pak Hari isi untuk mata kuliah Kewirausahaan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Empat kelas reguler dan dua kelas karyawan. Untuk mata kuliah Seminar, Pak Hari akan mengisi masing-masing dua kelas karyawan dan reguler."

"Konsentrasi Manajemen Operasi dan Pemasaran," kata Hari yang langsung diangguki Senja. "Apa di sini antar Dosen harus berbicara formal?" tanya Hari mengalihkan fokusnya pada hal lain. "Maksud saya, menyebut rekan kerja seperti layaknya mahasiswa yang memanggil dosennya," lanjutnya, sedikit menyindir.

Senja menaikkan sebelah alisnya. "Bukannya itu biasa?"

Hari merasa bodoh sekaligus konyol dengan protesnya. Ya, memang memanggil rekan kerja dengan sebutan 'Pak' atau 'Bu' itu hal biasa. Hanya saja, Senja sebaya dengannya. Menjadi layaknya teman tidaklah buruk. Tidak aneh juga.

"Prof. Yayat bilang kalau Bu Senja seumuran saya. Menurut saya, untuk bisa beradaptasi dengan mudah, tidak ada salahnya berbicara layaknya teman sebaya. Ya ... bukan apa-apa, sih. Biar nggak canggung, biar lebih luwes juga. Berhubung gue bakalan terus berhadapan sama lo juga."

Senja mengatupkan mulutnya, terangguk. "Ya, silakan," kata Senja, kembali membaca proposal skripsi yang belum diselesaikannya.

Sebenarnya Hari tak pernah menjelaskan apa pun alasan di balik hal yang dilakukannya. Tapi Senja yang kurang meresponsnya membuatnya mau tak mau membicarakan alasan tak perlu itu.

Hari mencoba rileks, memastikan kehendaknya tak akan membuat orang lain keberatan. Ia jelas tahu bagaimana cara menempatkan diri. Tapi Hari terbiasa berbicara seperti itu dengan rekan kerja yang se-generasi dengannya.

Melihat Senja yang hanya menatapnya, Hari kembali berkata, "Ah! Gue ngomong kayak tadi sounds better, kan?" Lagi-lagi Senja tak meresponsnya. Kaku sekali, pikir Hari.

Mencoba tak memusingkan itu, Hari kembali melihat Senja. Sejak awal mendengar sosoknya, Hari penasaran bagaimana bisa perempuan itu berada di posisi seperti sekarang? Apa yang sudah dilaluinya? Kenapa bisa ia sampai berada di sini alih-alih Jakarta tempat asalnya? Rekam jejaknya yang sedikit Prof. Yayat infokan pun tidak asal kalau alasannya tidak ada kampus di Jakarta yang menerimanya sebagai dosen. Juga, disertasinya yang sudah selesai bahkan sebelum Hari mengokohkan pendiriannya soal objek yang akan ditelitinya. Hari sudah merasakannya sendiri kalau itu tidak mudah, tapi Senja sudah melewatinya.

"Nanti gue kirim surel jadwal gue di Buana. Gue udah meluangkan dua hari buat di Mandala. Kamis dan Jumat. Tapi silakan kalau mau disesuaikan lagi. Biar gue atur lagi jadwalnya," jelas Hari yang hanya dapat respons berupa anggukan, hal yang berulang-ulang didapatinya selama hampir sejam ke belakang dari orang yang sama.

Mencoba maklum, Hari tak lagi memikirkan kenapa perempuan di hadapannya sangat tidak ramah. Tapi, apa dengan bersikap seperti itu yang membuatnya meraih semua ini? Hari menggeleng. Pikirannya mulai tidak jelas.

Mengalihkan pikirannya, Hari melihat draf yang Senja tekuni. Refleks ia menyunggingkan senyumnya. "Pengaruh customer relationship terhadap loyalitas pelanggan pada Bank Central." Hari membaca judul proposal yang tertangkap matanya. "Program Studi ini butuh banyak inovasi."

Senja menegakkan kepalanya mendengar celoteh yang seperti bisikan untuknya, atau justru ledekan. Perempuan itu berdecak, tersenyum miring. Helaan napasnya bisa Hari dengar, juga tatapan remehnya. Apa hal semacam ini yang akan membuat perempuan itu meresponsnya? Konyol sekali!

"Seven Deadly Sins[5]." Senja ikut berbisik, melanjutkan pekerjaannya lagi.

"Kesombongan, ketamakan, iri hati, kemarahan, hawa nafsu, kerakusan, kemalasan?" ucap Hari masih dengan seringainya. "Ah, maksudnya gue salah satunya?" tanya Hari yang hanya dijawab dengan suara lembar demi lembar kertas yang dibuka Senja. "Menurut gue semua orang emang melakukan itu. Setidaknya salah satunya. Cuma nggak sadar aja."

Senja mengangguk, sekilas melirik Hari. "Terima kasih sudah mengingatkan."

"Ya, sama-sama," kata Hari tersenyum bangga. Ia sudah merasakan hawa-hawa menyenangkannya menjadi rekan kerja perempuan itu.

Kedatangan Prof. Yayat dengan langkah tergopoh-gopoh membuat Senja langsung berdiri sampai Hari ikut menoleh ke arah pandangnya. Hari mempersilakan Senja lebih dulu masuk ke ruangan yang tak jauh dari mejanya, sementara Hari mengikutinya di belakang.

"Bagaimana, Sen? Sudah berkenalan?" tanya Prof. Yayat pada Senja sambil melihat Hari yang memasuki ruangannya. "Hari ini Mahasiswa bimbingan saya dulu waktu di Depok. Rekam jejaknya menurut saya cocok dengan kebutuhan Kampus, dengan cara kerjamu juga. Entah jodoh atau apa, saya baru tahu dia menjadi Dosen di Buana Jaya. Langsung saja saya tarik dia untuk penelitian dan mengajar di sini."

Hari tersenyum mendengarnya. Prof. Yayat—dosen pembimbingnya dulu—masih sama. Menyenangkan dan penuh semangat.

"Bidangnya Manajemen Operasi dan Pemasaran, untuk Kewirausahaan, Hari kompeten menanganinya. Hari ambil Bisnis dan Manajemen juga di S3-nya sekarang, bukan begitu?" Prof. Yayat melirik Hari, memintanya untuk duduk. "Sudah dapat jadwal mengajar di sini?"

"Tadi sudah kami bicarakan, Prof. Saya akan kirimkan jadwal saya di Buana dulu untuk menyesuaikannya."

"Baik. Ada waktu satu bulan sebelum semester genap dimulai. Selamat datang di kampus ini. Meski satu yayasan, sistem kami belum sebaik di sana. Fasilitasnya pun masih belum begitu mencukupi. Mungkin akan ada beberapa hal yang membuat kamu sedikit kerepotan. Kamu bisa minta tolong Pak Somad atau Senja," jelas Prof. Yayat. "Untuk waktu penelitian dan segala detailnya, saya sudah berbicara dengan Prof. Dani, dengan Prof. Lingga juga. Nanti saya kabari jika sudah pasti."

Senja mengangguk bersamaan dengan Hari, tampak seperti anak ayam yang mendengar celoteh induknya yang memberi mereka makan.

"Beresin Disertasi-nya dulu, ya, Ri!" Prof. Yayat menepuk pundak Hari. Pria paruh baya itu tertawa, diikuti Hari yang juga tertular tawanya. Matanya melirik Senja sekilas yang juga melihatnya. Hari memejamkan matanya. Tak ada yang berubah juga dari menyebalkannya Prof. Yayat. "Kalau kamu punya ide untuk perkembangan kampus ini, sampaikan saja. Bisa pada saya atau membicarakannya dulu dengan Senja. Sama-sama anak muda saya rasa akan lebih nyambung."

Hari dan Senja terangguk mendengarnya. Dengan Hari yang mencoba untuk tetap rileks walau kata 'disertasi' mengubah suasana hatinya, pun Senja yang duduknya sudah tidak nyaman mendengar cerita panjang Prof. Yayat.

"Saya tidak asal-asalan memberi kamu pekerjaan. Senja sudah beberapa kali ikut serta dalam penelitian saya dan Prof. Lingga," lanjut Prof. Yayat, masih belum selesai. "Senja sudah menerbitkan beberapa jurnal. Disertasinya pun sudah selesai. Ide-idenya untuk kampus ini segar, selalu kami pertimbangkan."

Senja terbatuk mendengarnya. Hari menoleh pada perempuan di sampingnya itu. Kecanggungan yang menghiasi wajah Senja tak lepas dari tangkapan Hari. Juga kebisuannya, tanda ketidaknyamanannya akan obrolan yang mengisi perkenalan mereka. Seharusnya Hari yang seperti itu. Semakin sering mendengar omongan orang tentang Senja, semakin saja Hari ingin buru-buru menyelesaikan disertasinya.

Sampai pada akhirnya, Senja undur diri saat ada seorang mahasiswi yang mencarinya untuk bimbingan. Sedikitnya Hari sudah tahu bagaimana sosok calon rekan kerjanya itu.

Selesai dengan obrolannya, Hari kembali ke meja Senja untuk menanyakan alamat surat elektronik dan kontak yang bisa dihubungi. Tapi belum sempat Hari buka suara, Senja langsung memberikannya secarik kertas. Informasi kontak Senja tertera di sana. Persis yang Hari butuhkan.

"Thanks," ucap Hari seraya mengantonginya di saku bajunya.

Dilihatnya Senja yang membaca portofolionya dengan kening berkerut, seperti tidak mengerti akan sesuatu. Hari sampai menunggu kalau Senja akan bertanya padanya. Tapi sampai Senja menyimpan kembali lembaran portofolio tersebut, perempuan itu tak kunjung bicara.

"Lo nggak akan nanya kenapa gue mau kerja di sini? Atau apa gitu, yang berkaitan sama kerjaan gue nanti?" tanya Hari membuat kedua alis Senja bertaut.

Senja memaksakan senyumnya. "Saya bukan HRD," jawabnya singkat, padat dan jelas.

Hari mengangguk-angguk. Wajahnya yang murung, heran, bingung dan kesal yangbercampur, berganti dengan senyuman. Ini akan jadi semakin menarik! Lebih dariperkiraannya, perjalanannya di kampus itu akan sangat menyenangkan.[]

*****

[1] Fakultas Ekonomi dan Bisnis
[2] Ketua Program Studi
[3] Maaf, permisi
[4] Terima kasih
[5] Tujuh dosa yang mematikan/membinasakan
Konsep ini muncul pertama kali di abad keempat oleh Evagrius of Pontus dan kemudian John of Cassius. Konsep ini kerap muncul menjadi dasar pembahasan/konflik pada sebuah cerita salah satunya dalam film SE7EN

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro