Fate of Moon
~~~
Aku hanya sebuah ketidaksengajaan.
Jadi, jika mengubah sesuatu hanya karena ego yang kumiliki, masih pantaskah diriku untuk menjejak di tanah mimpi?
~~~
Reach The Real You
by laila_qordovha
Semilir angin menerbangkan surai seorang pemuda yang sedang melesat cepat dengan kuda putih yang ditungganginya. Melintasi tepi pantai berpasir putih, kudanya berderap seiring butiran pasir yang berhamburan ke udara.
Visual kastil yang terletak sedikit menjorok ke laut telah tertangkap netranya. Senyum simpul terukir di wajah Shyne, Pangeran Kedua Kerajaan Timur.
Setelah 2 minggu yang lalu memulai ekspedisi, ia kembali pulang ke rumah, kerajaan tercintanya. Dimana kakaknya Clausse sedang menunggunya, dan tunangannya, Visser, tengah menanti kepulangannya.
Melihat bola matahari hampir tenggelam disisi barat, Shyne mempercepat laju kudanya.
"Pangeran"
Suara terdengar, membuat Shyne reflek menolehkan kepalanya ke sekitar, mencari sumber suara sembari melambatkan gerakan kudanya.
"Pangeran"
Terdengar lagi.
Shyne mengarahkan pandangan kearah laut. Netranya terpaku melihat makhluk tak biasa, yang sedang menatap sambil melambaikan tangan kearahnya. Shyne mendekat dengan kudanya. Ia turun dari pelana tanpa melepaskan pandangan, takut jika itu hanya ilusi belaka. Setiap langkah membawanya lebih dekat.
Bahkan percikan ombak sudah membuat sepatunya basah. Tak mempedulikan itu, sekarang kaki Shyne telah terendam selutut, sampai akhirnya makhluk itu- Putri Duyung, mendekatinya.
"Kau yang memanggilku?" Tanya Shyne.
Lawan bicara Shyne mengangguk membenarkan. "Iya, ada hal yang harus kusampaikan padamu."
Putri Duyung itu menyentakkan tubuhnya untuk keluar dari air, hendak duduk di atas batu karang yang mencuat di dekat Shyne.
'Splash'
Sialnya, sentakan ekornya menimbulkan cipratan air yang mengenai wajah Shyne. "Ugh!" Shyne yang terkejut segera mengusap wajahnya yang basah. Lantas menatap tajam Putri duyung yang sekarang menutup mulutnya, terkikik. " Hihihi~ maafkan ya, aku tak sengaja."
Shyne menyentak tangannya yang basah, mengembalikan buliran air itu ke laut. " Tak apa. Apa yang ingin kau katakan?"
Putri Duyung itu terdiam. Deburan ombak yang mengenai ujung ekornya ia acuhkan. "Sebelum itu, ku harap Pangeran tak menginterupsi apapun sebelum aku selesai bicara. Bisakah?" Shyne mengangguk cepat. "Baiklah. Bicaralah, Xixi."
Putri Duyung itu mengangkat sebelah alisnya. "Xixi?"
"Dari nada tawamu. Itu nama panggilanmu dariku"
Shyne tersenyum. Xixi- sebut saja begitu, memerah malu mendengarnya. "Nah, mulailah bicara Xixi" Ucap Shyne tak sabaran.
Menghela nafas sebentar, raut Xixi berubah dengan cepat. "Tahukah Pangeran, bahwa tunangan Anda telah berselingkuh dengan Kakak Anda sendiri? Bahkan sekarang tengah mengandung anak dari Pangeran pertama?" Xixi menjeda penjelasannya untuk melihat bagaimana respon Shyne.
Sang Pangeran terkejut. Tapi ia tetap diam sesuai janjinya.
"Mereka berdua merencanakan pembunuhan Anda. Istana sudah tidak aman, Anda harus selalu waspada setiap saat. Ku harap Anda mengerti." Mengakhiri penjelasannya, Xixi terdiam.
"Apa aku boleh bicara sekarang?" Tanya Shyne.
Xixi mengangguk pelan. "Tentu, silahkan. Semua yang ingin ku katakan sudah terlontar."
"Baiklah. Bagaimana kau bisa tahu semua ini? Dan berikan aku alasan kenapa aku harus percaya padamu."
Shyne menatap Xixi tajam. Tentu ia tak bisa percaya begitu saja. Karena ia tak tahu, apakah Xixi adalah seorang Putri Duyung murni atau Siren yang sering menjerumuskan manusia.
Mendengar ucapan Shyne, Xixi menghela nafas. Telapak tangan saling bertumpuk diatas pangkuan ekornya. "Aku bisa meramal masa depan. Dan untukmu, itulah masa depan yang ku lihat." Xixi menatap tepat di netra Sang Pangeran saat mengatakannya, mencoba mengambil kepercayaan Pangeran kedua itu.
Mereka saling berpandangan selama beberapa saat. Tanpa sadar bahwa matahari semakin condong ke arah barat, malam sudah dekat.
Adalah Shyne, orang pertama yang memutus kontak mata diantara mereka. Wajahnya ia palingkan agar tak melihat visual Xixi.
"Hihihi~ tidak perlu tegang begitu Pangeran. Aku bukan hendak menghipnotismu kok~" Xixi terkekeh melihat Shyne yang salah tingkah. Tawanya membuat Shyne menoleh. Terdengar begitu merdu ditelinga Shyne.
Entah, mungkin Shyne mulai terpesona? Semburat merah yang muncul di pipinya seakan menunjukkan perasaan Sang Pangeran. Tapi saat tawa itu berhenti dengan netra yang menatap tajam, Shyne menahan nafas seiring hilangnya rona merah di pipinya.
"Tapi, jangan anggap remeh perkataanku tadi. Ini benar-benar serius, kau paham?" Xixi berkata dengan nada dingin, Shyne reflek mengangguk mengerti.
Setelah itu, raut wajah Xixi tiba-tiba berubah lagi. "Uhm! Baguslah."
Shyne melihat senyum Xixi merekah. Pantulan cahaya senja mengenai ekor peraknya yang berkilau. Berlatar matahari yang bersiap tenggelam di sisi barat, gulungan lembut ombak ke tepian melengkapi pemandangan menakjubkan yang tertangkap mata Shyne. Pangeran itu berharap dapat membekukan waktu agar hal ini dapat ia lihat selamanya.
Byur
Pesona itu menghilang saat Xixi menjatuhkan diri ke laut dan berenang cepat menjauhi Shyne.
"T-tunggu!" Teriak Shyne yang berusaha mengejar Xixi meski tahu itu tak mungkin. Untungnya, Xixi mendengar teriakan Shyne, menghentikan gerakannya dan muncul ke permukaan. "Apa, kita akan bertemu lagi?"
Mata perak Xixi menangkap binar penuh harap di dalam safir itu, ia tersenyum. "Aku membiarkan takdir menuntunku kemanapun alirannya pergi, bahkan jika itu membawaku kembali kepadamu." Ucap Xixi lantas kembali berenang menjauh. Meninggalkan Shyne yang meski telah mendengar perkataan Xixi masih tak rela dengan perginya Putri Duyung itu.
Tepat saat bola kekuningan hilang di ujung lautan, Xixi lenyap dari pandangan Shyne. Dengan langkah berat ia kembali ke tepian. Netra birunya melirik kuda putih yang sempat terabaikan. Shyne melepas tali yang mengikat kuda itu, lantas naik ke atas punggungnya. Pangeran itu memacu kudanya dengan wajah gelisah dan hati dipenuhi banyak pertanyaan yang berebut untuk ditemukan jawabannya.
Derap kudanya melambat saat mendekati Istana, Gerbang nya terbuka lebar didepan sana. Shyne baru saja hendak turun dari pelana-
Set! -saat anak panah melesat sebelum Shyne berhasil menjejakkan kakinya ke tanah. Shyne reflek menjatuhkan diri dari kudanya, yang membuat ia selamat dari serangan itu.
Melihat Pangerannya terjatuh, para prajurit praktis mengelilingi Shyne. Ia berhasil bangkit dibantu dengan prajurit yang menyangga di kanan dan kirinya. Tiba-tiba pintu kastil terbuka, seseorang keluar dari sana, berjalan tergopoh-gopoh. Gaun sutranya yang berwarna putih meliuk seiring gerak tubuhnya. Prajurit yang lain segera memberi akses kepada orang itu untuk mendekat ke arah Pangeran Shyne.
"Pangeran!" Pangggil orang itu saat sampai di depan Shyne.
"Visser?" Ucap Shyne terkejut.
Ternyata dia adalah Putri Visser, tunangan dari Pangeran Kedua Kerajaan ini. Membuat seluruh prajurit di tempat itu menunduk hormat, tak berani melihat secara langsung wajah calon menantu Kerajaan.
"Apa yang terjadi padamu?!" Kekhawatiran ketara di wajah cantik Visser. Kedua tangannya menangkup pipi Sang Pangeran Kedua.
Bibir Shyne hendak mengulum senyum teduh menenangkan, namun tak jadi saat ia teringat perkataan Xixi tentang pengkhianatan Visser. Karena itu, Shyne menggerakkan kedua tangannya, beranjak dari bahu prajurit yang menopangnya. Tangan itu melepas tangan Visser yang menangkup pipinya. Pelan, namun membuat Visser tertegun. "Aku baik-baik saja. Tak sengaja terjatuh dari kuda. Hanya terkejut, tanpa luka."
Tanpa melihat ke arah Visser, Shyne melanjutkan. "Jika kau tak keberatan, tolong jangan mengangguku dulu. Tubuhku butuh istirahat." Setelah mengatakan itu Shyne melenggang menjauh dari prajurit yang kembali ke pos penjaga.
Pun menjauh dari Visser, meninggalkan perempuan itu dengan mata yang mengerjap tak percaya.
***
Keesokan harinya, Shyne terbangun dangan raut cukup normal. Setelah ia mengacuhkan tunangannya kemarin, Shyne berencana meminta maaf saat sarapan nanti. Shyne menatap langit-langit kamarnya, bertanya-tanya dengan sikapnya kemarin. Dengan ini, apakah Shyne mulai percaya dengan peringatan Xixi? Lantas, bagaimana jika apa yang Xixi ucapkan itu hanya tipuan agar pernikahannya batal?
Shyne bangkit dari ranjang, kakinya melangkah ke arah jendela kamarnya yang menghadap ke laut. Pantulan keperakan dari air laut yang tertimpa cahaya matahari mengingatkannya akan Xixi.
Apa Shyne ingin bertemu dengannya? Mungkin tidak. Karena ia harus berada di Istana karena sibuk menyiapkan pernikahannya dengan Visser minggu depan.
Atau jangan-jangan, ia merindukan Xixi? Bisa jadi. Dadanya bergemuruh membayangkan visual Putri duyung yang mata peraknya seperti berhasil membuat Shyne bertekuk lutut. Ekor peraknya yang berkilau layaknya berhias permata, seakan segala keindahan itu ingin Shyne miliki untuk dirinya sendiri.
Kriet~
Suara pintu yang berhasil memecah lamunannya. Reflek, Shyne mengarahkan pandangan ke arah sumber suara. Terlihat sosok perempuan dengan gaunnya yang mencapai lantai, dan nampan di tangannya.
"Visser? Ada apa?" Entah sengaja atau tidak, suara Shyne terdengar dingin saat bicara pada Visser. Tunangannya itu mendekat sambil membawa nampan berisi makanan.
"Aku pikir, Pangeran masih lelah setelah perjalanan kemarin. Jadi aku berencana membawakan sarapan ke kamar saja. Apa...apa aku mengganggu?" Ucap Visser dengan wajah merona.
Shyne terkejut , mengusap tengkuk tak gatal, merasa bersalah telah bersikap dingin pada tunangannya.
"Tidak apa-apa. Letakkan saja nampannya disana," Shyne menunjuk meja kecil di sudut kamar, menyuruh Visser meletakkan nampan diatasnya.
"Aku akan mandi dulu sebentar."
Shyne kembali menghadap lautan lewat jendelanya, tanpa tahu kalau Visser mendekat ke arahnya. "Tapi, aku ingin menyuapimu. Sekarang."
Shyne terkejut saat Visser menyandarkan kepalanya di bahu, membuat tubuhnya tersentak pelan. Matanya melirik Visser. Tak lama kemudian tangan Visser menggenggam tangan Shyne.
"Ayo makan."
Dengan senyum merekah, Visser menuntun Shyne ke arah meja dimana ia meletakkan nampan tadi. Tangan Visser memegang bahu Shyne, mendudukkannya di kursi, lantas meraih sesendok nasi.
"Aaa~" Visser memainkan nada suaranya seakan Shyne anak kecil yang susah makan. Sebenarnya Shyne enggan, namun karena sendok itu telah berada di depan wajahnya, Shyne membuka mulutnya. Maka satu suapan Visser berhasil masuk ke mulutnya.
Selanjutnya bukan hanya satu , tapi banyak suapan lain hingga sarapan Shyne tandas. Visser tersenyum puas.
Shyne sendiri mengulum senyum teduh, mengingat ia dan Visser terikat karena perjodohan yang sampai saat ini masih berusaha diterima oleh Sang Pangeran. Tetapi kiranya, ia memang sedang merindukan waktu bersama tunangannya. Yang membuatnya berpikir, mungkin kata-kata Xixi hanya bualan semata.
***
Sementara itu, Xixi sedang duduk di depan seorang Penyihir laut. "Apa kau yakin ingin menjadi manusia?" Tanya Penyihir itu.
Xixi mengangguk mantap. "Sangat yakin."
Penyihir itu dapat melihat sorot mata Xixi yang tajam, penuh keyakinan. "Baiklah."
Xixi tersenyum saat mendengar persetujuan Sang Penyihir. Namun senyum itu sirna saat penyihir itu bicara lagi. "Lantas, apa yang mendasari keinginanmu untuk menjadi manusia? Kurang puas kah? Atau...ada suatu hal yang kau sembunyikan?"
Tubuh Xixi membatu. "A-apa saja yang kau ketahui?" Ucapnya tergagap.
"Aku tahu semuanya." Ucap Penyihir itu. Xixi menunduk dalam, tangannya saling meremas. "Aku ingin menyelamatkan seseorang. Apa itu salah?" Suara Xixi terdengar serak. Bahunya ditepuk pelan.
" Tidak sama sekali. Tapi, apa yang bisa kau tukar dengan eksistensimu sebagai manusia?"
"Apapun." Xixi menjawab tanpa ragu.
"Termasuk hidupmu?"
"Ya"
Penyihir tak punya alasan untuk menolak permintaan Xixi, ia mulai mengucap mantra. "Kuharap kau siap dengan apapun yang terjadi."
"Aku tak akan menyesali ini." Xixi tersenyum lembut. Dan saat cahaya melapisi seluruh tubuhnya, pandangannya menjadi gelap, suara samar berbisik terdengar mengalun di telinganya.
'jangan terluka, atau kau akan mati saat itu juga'
***
Malam hari sebelum upacara pernikahan.
Di salah satu jendela kastil yang menghadap ke laut, Shyne sedang mengagumi keindahan malam untuk kesekian kalinya. Angin nakal berhembus menerbangkan surai hitamnya. Kedua lengannya bertumpu pada kerangka jendela.
Setelah berpikir beberapa hari terakhir, agaknya Shyne memang merindukan Xixi. Ia ingin bertemu dengan pemilik netra perak itu selagi bisa, pun karena tadi salah satu mata-matanya mengonfirmasi dugaannya tentang Clausse dan Visser.
Shyne kecewa, tapi ia hanya diam untuk sekarang. Sang Pangeran kedua itu berencana membicarakan tentang ini pada Visser setelah ia menemui Xixi.
Merasa tak ada agenda untuk malam ini sekaligus ingin menenangkan hati, Shyne bergegas mengambil kudanya.
Saat di depan gerbang kastil, ia berpapasan dengan kakaknya. "Shyne? Hendak kemana kau malam-malam begini?" Shyne menghentikan laju kudanya. "Hanya ingin berkuda sebentar, Kak. Aku akan segera kembali." Shyne membungkuk sedikit, berpamitan pada Clausse. Setelah itu ia memacu kudanya meninggalkan Istana.
Clausse memandang Shyne berlalu hingga visualnya menghilang. Saat seseorang berjubah hitam menghampirinya.
"Yang Mulia."
Clausse menoleh ke arah orang itu, senyum tipis terulas di bibirnya. "Kau tahu harus apa. Berikan kabar baik padaku besok pagi."
Sosok itu mengangguk sekilas, lantas segera pergi secepat angin, hendak melaksanakan perintah Tuannya. Sedangkan Clausse? Bersedekap dengan netra yang menghadap langit malam.
"Tidur yang nyenyak, Adikku."
Ia melenggang ke arah pintu masuk Istana, dimana Visser sedang menanti dengan senyum manis di wajahnya.
***
Malam itu bulan sedang purnama. Shyne melangkah meniti bibir pantai tanpa alas kaki. Ia melipat celananya selutut agar tak basah oleh air laut yang sedang pasang. Kuda putihnya telah ia ikat di suatu tempat yang aman.
Netra safir itu memandang lautan yang luas. Yang nampak gelap, namun berkilat kilat terkena cahaya bulan. Ia sedang menunggu, sekiranya kapan Xixi muncul ke permukaan, menyapanya dengan senyum yang ia rindukan. Saat itu, Shyne tidak sengaja mengarahkan pandangan ke arah batu karang yang pernah menjadi tempat Xixi duduk.
Deg
Shyne tertegun. Penglihatannya menangkap visual seorang gadis dengan ramput perak sepunggung sedang duduk membelakanginya. Angin malam berhembus memainkan helaian silver yang terlihat lembut. Shyne yang merasa familiar, berjalan mendekati sosok itu.
Suara kecipak air terdengar dari kaki Shyne yang melawan ombak, membuat gadis itu menoleh kearahnya. Dengan wajah berhias pipi yang merona, mata perak yang berkilau, rambut yang bergoyang pelan, yang mampu membuat Shyne terpaku karenanya.
Mereka berdua terdiam, menyelami keindahan netra yang sama-sama melebar.
"Xixi?" Ucap Shyne tak percaya, debur ombak sekilas menyentuh kaki sang gadis.
"Kau, Xixi?"
Shyne mendekatinya, sembari berharap bahwa ini bukan sekedar ilusi laut atau halusinasi yang muncul karena rasa rindu, karena lagi-lagi senyum itu terukir seiring anggukan yang terlihat.
Senyum yang sama yang tak bisa hilang dari benak Shyne .
"Aku tak tahu sihir apa yang kau berikan padaku, "
Shyne menautkan jemarinya dengan milik Xixi. "Tapi yang ku tahu, aku merindukanmu." Shyne memandang lembut, lantas tersadar akan sesuatu melihat penampilan Xixi yang berbeda.
"Bagaimana bisa-" Kalimat Shyne terpotong dengan kecupan lama dipipinya.
Wajah Shyne merona menerima perlakuan seperti itu, tanpa tahu bahwa Xixi sedang memindahkan racun dari tubuh Shyne ke tubuhnya sendiri.
Darimana Xixi tahu?
Karena ia sebenarnya adalah seorang pembaca yang sudah menamatkan novel ini, dan ia ingat benar apa yang akan dilakukan Visser untuk membunuh Pangeran Kedua.
Ya, ini bukanlah dunia Xixi yang sebenarnya. Ia pun tak menyangka akan masuk kedalam novel yang telah ia baca. Membuatnya tahu, alur yang akan menimpa Shyne jika Xixi tak merubahnya. Membuatnya berkorban apapun demi menyelamatkan Pangeran Kedua.
Xixi memang tak peduli dengan tubuh fiksi nya di dunia ini. Namun cintanya pada Shyne itu nyata, sehingga ia berusaha mengubah alur cerita yang sebenarnya dimana Shyne mati karena racun.
Shyne tak bertanya lebih jauh lagi. Dengan bibir Xixi masih di pipinya, tangannya melepas tautan, beralih menyisir rambut Xixi dengan jarinya. "Kau benar. Visser mengkhianatiku. Mata-mata ku yg memastikan itu." Nada pilu terdengar saat Shyne mengatakannya. Xixi berangsur melepaskan diri.
Meski Xixi tak mengeluarkan sepatah katapun, ia meraih pipi Shyne, mengusapnya pelan. Tangan Shyne memegang tangan Xixi yang ada dipipinya. Melepasnya perlahan, lantas mengecupnya lembut. Hati Xixi menghangat seiring rona merah yang menjalar dipipinya.
"Aku mencintaimu."
Netra safir itu menatap Xixi lembut, penuh ketulusan. Gadis bersurai perak itu tak tahan untuk tak tersenyum.
"Me too, my Prince." Ucap Xixi dengan mata berkaca-kaca. Merasakan kehangatan yang menjalar dari tangannya yang masih digenggam Sang Pangeran.
Xixi rasanya ingin waktu berhenti, agar ia dapat menatap safir indah milik Shyne selamanya.
Namun keinginan itu seketika pupus, saat ia melihat seorang berjubah hitam akan menyerang Shyne dengan panahnya.
"Awas!"
Xixi melompat ke arah Shyne, mendorongnya untuk menghindar.
Byur!
Suara berdebam terdengar saat keduanya jatuh ke laut. Shyne yang terkejut segera naik ke permukaan air. Saat ia melihat tepi pantai terlihat sosok hitam itu sedang berlari, hendak kabur.
Menyadari itu, Shyne segera keluar dari air untuk menyusul sosok itu. Mereka berkejaran di tepi pantai yang berpasir, namun Shyne dengan cepat menyusul.
Saat dalam jangkauannya, Shyne tanpa ragu menebas kaki orang itu dengan pedangnya. Membuatnya tersungkur, tak bisa lari lagi. Shyne yang terengah-engah mengarahkan ujung pedang pada sosok itu.
"Siapa yang memerintahkan mu?!" Netra safir Shyne berkilat marah. Orang itu terdiam, meneguk ludah kasar.
Ia telah tertangkap.
Tak kunjung mendapat jawaban, Shyne mendekat, tanpa aba-aba melepas maskernya dengan paksa. Orang itu membuang muka, membuat Shyne semakin naik pitam.
"Jika kau tak kunjung menjawab,"
dengan gerakan cepat, Shyne sudah dibelakang orang itu dengan mata pedang yang menempel di lehernya.
Shyne menekan pedangnya sedikit hingga terlihat cairan berwarna merah mengalir dari sana. Membuat sosok itu meringis.
"-maka pedangku yang akan bicara."
Ucapan Shyne agaknya membuatnya gemetar, hingga saat ia bicara terdapat ketakutan didalam nada suaranya.
"T-tuan Clausse yang-"
"Jangan berdusta! Berani sekali kau menyebar fitnah keji seperti itu!" Shyne tanpa sadar semakin menempelkan pedangnya pada leher sosok itu yang gemetaran.
"Ampun Pangeran! Hamba bersumpah ini benar. Saya dikirim Yang Mulia untuk membunuh Anda."
Mendengar itu netra Shyne agak meredup, karena merasakan kejujuran dari kalimatnya. Bilah pedangnya terturun pelahan, membuat sosok itu dapat bernafas lega. Sang Pangeran Kedua tak dapat berkata kata saat pedang terlepas dari genggamannya.
"Pergilah!. Jangan tunjukkan wajahmu lagi di negeri ini." Ucap Shyne datar dengan rahang mengeras.
Sosok itu segera menyeret tubuhnya terseok mendekati kudanya lantas pergi kearah berlawanan dari Kerajaan. Netra Sang Pangeran menatap kosong sosok itu hingga ditelan kegelapan malam yang masih merajai langit.
Sampai ia teringat tentang Xixi yang seketika membuat Shyne berlari kembali ke dalam lautan. "Xixi!!" Shyne berteriak memanggil nama Sang Putri Duyung.
Tangannya kalap membelah air sehingga terdengar kecipak yang keras. Meski gerakannya terhalang dengan air laut yang hampir mencapai dada, tapi Shyne tak sekalipun berhenti mencari keberadaan Xixi. Tak peduli jika pakaiannya telah basah seluruhnya, tak peduli jika nafasnya tersenggal.
"Xi-!"
Hingga teriakannya terhenti saat melihat tubuh yang mengambang dengan anak panah yang menembus dada.
"Xixi!!"
Shyne berlari ke arah tubuh itu.
Saat sampai, dari dekat semakin jelas terlihat darah yang menguar membuat air di sekitar tubuh Xixi berwarna merah. Shyne memeluk tubuh itu dengan hati terkoyak. Tatapan matanya memancarkan luka yang sangat dalam.
"Kenapa...? Padahal kukira...kita-"
Tangis Shyne pecah saat itu juga. Teriakannya teredam angin laut yang saat itu berhembus kencang.
Bahkan gerimis pun mulai turun, seakan langit pun turut merasakan kesedihannya. Sambil memeluk tubuh tanpa jiwa, Shyne menangis tersedu.
Bahkan Sang Pangeran tak lagi peduli jika pakaian kebesarannya telah basah dan terkena noda darah. Ia mengeluarkan emosinya dengan air mata, yang lantas menjadikan isakan keluar dari bibirnya.
Shyne menangisi cintanya yang terlanjur bersemi. Yang sekarang tenggelam dalam lautan kesedihan hingga seakan membutakan jiwanya yang mulai membeku.
Seiring lelehan air mata yang tak terhitung telah tertumpah kembali ke lautan darah, netra Shyne memandang bulan purnama yang sebagian tertutup kumpulan awan hitam. Bulir hujan yang semakin menderas membuat udara dingin makin menyeruak di tengah laut.
Shyne menunduk menatap wajah pucat didekapannya, menyingkirkan helai rambut yang menutup wajah ayu Sang gadis. lantas mencium kening Xixi yang mulai membiru.
'Selamat jalan cintaku. Aku berharap kepada bulan agar menjaga jiwamu. Dan jika takdir memang masih milik kita, aku harap cinta kita abadi. Sehingga aku dapat menjaga dan mencintaimu lagi.' -Shyne, Second Prince of East Kingdom.
'Aku rela menukar apapun demi kau tetap hidup. Jika memang takdir menginginkan kita bersatu kembali, kuharap rasa cinta ini masih bersemayam saat aku kembali bertemu dengan dirimu, orang yang aku cintai.'- Xixi, Reader -Silver Mermaid.
end?
a/n
hulaww...laila balik ga up anak2 malah bikin project baru //slap
ini story udh setahun lebih berdebu hiks..untung aja bisa selesai :>
arigato buat kak @kazeka_achan in ig, yang udah ngijinin aku buat adaptasi fanartnya jadi tulisan.
I'm feel so grateful to it ><
(karena bbrp hal, aku blom bisa drop fanartnya disini. nanti aku kasih link di komen^^)
ada yang mau versi idolish7? kalo ada banyak nanti ku up sekalian deh.
makacih buat yang udh nunggu dari jaman kapan itu.
maafin laila ya...kritik dan saran dipersilahkan asal sopan ^^
arigato gozaimasu~
-laila
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro