Tidak Sama
Kelas selesai sedikit cepat bagi Nathan, meski lagi-lagi fokusnya selalu ke segala arah, atau mungkin karena dia harus berurusan dengan wali kelasnya karena membolos di hari sebelumnya.
Ketika semua orang sudah siap untuk pulang, sekali lagi dia menahan dirinya sejenak untuk tinggal sedikit lebih lama. Juga kembali mengajak satu orang lainnya untuk ikut bersama, tetapi kali ini dia menahan Nino. Tepat di depan pintu, remaja itu dibuat tersentak dengan Nathan yang tiba-tiba saja memegang tangannya.
"Eh, Nathan? Ada perlu apa?"
"Bisa ikut aku sebentar?" tukas Nathan langsung. Namun, bahkan belum sempat Nino menjawab dia langsung ditarik begitu saja untuk naik ke lantai dua sekolah.
"Ei, tunggu, bisa pelan-pelan aja, nggak?"
Jauh di belakang mereka, Lia melihat. Sampai keduanya menghilang di belokan tangga, dia mendesau. Pikirnya dia tak bisa lagi menghentikan Nathan meski yang dilakukannya sudah berlebihan. Namun, jika hal itu dapat membantunya, maka Lia cukup diam saja.
Akhirnya dia memilih untuk pulang ke rumahnya saja. Sementara kedua remaja tadi sudah sampai di atas, duduk di bangku panjang. Nino masih merasa canggung dan sesuatu yang tidak beres. Sejak kedatangannya sebagai murid baru dia mendapati sikap Nathan yang tidak wajar.
"Jadi kamu mau ... apa?" tanya lagi Nino masih berusaha memperbaiki olah nafasnya.
Nathan pun sama, jarak yang pendek ternyata mampu membuatnya kelelahan. Sehingga ada beberapa detik lamanya sebelum dia bisa bicara. "Kamu ... kenapa kamu pindah sekolah?"
Nino terkejut mendengarnya, sedikit perasaan lucu dia dapatkan. "Kamu cuman mau tau itu? Kamu bawa aku ke sini cuman buat tau kenapa aku pindah?"
Nathan mengangkat kedua bahu sebagai respon, membuat Nino rasanya ingin menyudutkan kepalanya ke sebuah tembok sekarang. Dia benar-benar tak menyangkanya, tetapi juga masih ingin menjawab.
"Ada masalah. Aku ada masalah sama murid-murid lain di sana, dan--"
"Masalah apa? Kamu berkelahi?" potong Nathan. "Atau kamu di-bully?"
"Masalah ...." Lidah Nino seketika kelu, dan refleks langsung menghindari kontak wajah dengan lawan bicaranya. Namun, Nathan tak melihat itu karena menundukkan kepalanya, hanya menunggu Nino melanjutkan. "Aku nggak bisa cerita ... itu terlalu privasi. Lagian kita baru kenal."
Nino kembali menoleh, dan terlihat Nathan masih merundukan pandangannya. Ingin dia mengambil giliran untuk bertanya balik sekarang, tetapi urung mendapati remaja Nathan masih melanjutkan.
"Kamu pintar ... di pelajaran kimia tadi kamu aktif."
"Eh? Hahaha, nggak, kok. Kamu tau kan, kata orang manusia itu hebat dalam satu hal, tapi nggak di semua hal. Kalau kimia karena memang aku suka pelajarannya, tapi kalau pelajaran lain kayak olahraga, aku paling bawah, kayaknya ...."
"Jadi kamu juga nggak suka pelajaran olahraga ...." Suara Nathan kini jadi lebih pelan hingga sulit di dengar.
"Apa?"
"Hobi kamu apa?" tanyanya kembali langsung. Nino sudah semakin merasa aneh dengan semua pertanyaan yang sama sekali tak memiliki korelasi satu sama lain itu.
"Hobi? Um ... melukis. Ah! Untung kamu tanya, di sekolah ini ada ekskul melukis, kan? Kamu tau nggak, pembinanya siapa?"
Wajah Nino turun begitu dia mengangkat kepala, menemukan Nathan menatapnya datar dengan nafas naik turun yang bisa didengarnya dengan jelas. "Nathan? Kamu baik-baik aja?"
"Nggak suka olahraga, hobi melukis, bahkan buku harian sampul hitam yang sama."
"Apa?"
"Itu kamu, kan? Kamu ngaku aja!"
Nino tersentak dengan suara yang tiba-tiba naik itu. Dia semakin kebingungan, dan kini juga menjadi takut, hingga membuatnya perlahan-lahan mundur untuk menambah jarak. Namun, Nathan malah makin mendekat.
"Aku nggak ngerti kamu ngomong apa, okey! Bisa kamu--"
"Kamu Nino, kan?!"
"Ha? Ya aku memang Nino, kan aku udah--"
"Nggak! Maksud aku bukan Prasetyo Nino, tapi Dani Noputra! Itu kamu, kan, Nino?!"
Nino benar-benar merasa ingin pergi dari sana sekarang, kebingungan akan apa yang harus dikhawatirkannya, dirinya atau sikap aneh dari remaja di hadapannya. "Kamu yakin kamu oke? Dengar, aku nggak tau kamu ada masalah apa, tapi kamu udah bikin aku takut. Dari hari pertama kita ketemu, kamu kayak parno liat aku, terus sekarang kamu ngucapin hal aneh-aneh dan ... aku nggak ngerti. Sebenarnya ada apa?"
Nafas Nathan masih naik turun dengan kasar, berbagai emosi yang terususun di kepalanya membuat dia hampir lepas kendali. Tangannya mengepal berharap dia bisa teredam, atau mungkin menahan kesedihannya yang kembali lagi.
"Nggak lama ini, ada murid yang bunuh diri di kamar mandi sekolah." Sekali lagi Nino tersentak mendengarnya. Namun, memilih untuk tetap diam membiarkan Nathan melanjutkan. "Dia sahabat aku, dan dia mati karena nusukin gunting ke badannya. Tiga hari yang lalu aku udah bisa relain dia, tapi tiba-tiba ada murid baru yang datang dan--"
"Tunggu, tunggu!" Nino seketika menahannya, pertanyaan akan mengapa perilaku aneh Nathan kepadanya selama ini akhirnya terjawab. "Jadi kamu kira aku sahabat kamu itu? Hei! Aku baru pindah ke sini nggak sampai sebulan. Bunuh diri? Kamu udah gila yah?!"
"Aku belum selesai!" sentak Nathan kembali marah. "Aku nggak kira kalau itu kamu, aku tau kalau itu kamu! Kamu punya buku harian hitam itu, kamu hobi melukis, terus muka, suara, bahkan nama kamu sama kayak dia!"
"Ha?! Muka sama nama ... liatin ke aku fotonya!"
Nathan sigap mengambil ponselnya, tetapi begitu ingin menyalakannya, dia sadar dayanya sudah habis. "Ugh! Udahlah! Kamu nggak usah ngelak lagi, ini kamu, kan, Nino? Kamu tau nggak sih kalau--"
"Okey, itu cukup!" Nino sigap langsung memegang erat kedua pundak Nathan, memaksanya untuk berhenti berbicara. "Aku nggak tau apa-apa soal bunuh diri ini pas aku pindah, dan aku nggak tau rasanya ditinggalin sama sahabat. Tapi sebaiknya kamu berhenti, bukan cuman karena kamu yang nggak bisa relain dia. Pribadi aku juga keganggu."
Kalimat panjang itu benar-benar mampu membuat Nathan terdiam, dan Nino juga dapat melemaskan kedua tangannya untuk tidak lagi menahan dia. "Awalnya aku kira kamu ada masalah, dan aku cuman ingin jadi murid baru yang baik-baik di sini. Jadi sebaiknya kamu nggak usah mikir lagi kalau Nino temanmu yang udah bunuh diri itu adalah Nino yang ada di depanmu sekarang. Kami bukan orang yang sama, oke?"
Satu tangan Nino kembali bergerak ke pundak Nathan, menepuknya beberapa kali sebelum akhirnya pergi dari sana.
Kini Nathan sendirian, seakan terpaku di tempatnya dengan sesuatu yang lagi-lagi memberatkan otaknya. "Jadi itu memang bukan kamu ...."
Tanpa sadar air matanya jatuh tepat di salahsatu tangannya yang kembali mengepal kain celananya. Dia tak menahan diridengan bahunya yang mulai bergetar, karena mengetahui hanya ada dirinya disana. Nathan hanya sendirian.
~~~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro