Sebuah Kebetulan
Hari kegiatan ekstrakulikuler kembali dimulai, saat di mana murid-murid akan menikmati lebih sekolahnya daripada di waktu lain. Nino kala itu buru-buru menuju ruang seni untuk persiapan melukisnya. Membawa kanvas yang sedikit lagi selesai dengan kedua tangannya. Dengan wajah merekah dia merasa bangga akan lukisan itu, ingin segera menunjukkannya lagi kepada pamannya begitu sudah siap.
Dari jauh dia tidak menemukan ada aktivitas di sekitar ruang seni. Pikirnya karena guru seni memang sedang dalam urusan lain, tetapi ekstrakulikuler dibiarkan berjalan. Nino tidak mempermasalahkan jika memang hanya dia sendiri saja yang mengisi absen minggu ini.
Sampai tiba dia di sana, Nino seketika membeku di tempatnya. Dia tersentak hebat setelah air yang telah dicampur dengan cat lukis yang dingin dan lengket tetiba saja tersiram ke seluruh tubuhnya. Mengotori seluruh kanvas, pakaian, bahkan rambutnya hingga berubah warna.
Sebelum Nino bahkan bisa melihat siapa pelakunya, berbagai macam gelak tawa masuk ke telinganya. Sebisa mungkin dia membersihkan cairan yang menutupi wajahnya, dan akhirnya bisa menemukan sekitar lima orang di hadapannya. Menunjuk, menertawakan, mengambil gambar, dan menertawakannya lagi.
"Hahaha! Rasain lu! Emang enak!"
"Makanya, jangan sok jagoan di sini!"
Nino masih terpaku di sana, dia sama sekali tak mampu menggerakkan kakinya meski telah dipermalukan seperti itu. Rasanya tak ada tenaga yang mampu membuatnya bergerak meski hanya untuk ke kamar mandi yang ada di dekat sana dan membersihkan tubuhnya, atau mungkin membalas perbuatan mereka dengan langsung ke ruang guru dan melaporkan kejadian yang baru saja terjadi.
Bahkan tangannya sangat lemas saat lukisan miliknya yang sudah rusak itu direbut paksa salah satu dari mereka, membantingnya ke lantai lalu menginjaknya berkali-kali hingga benar-benar hancur dan hanya menyisakan rangkanya saja.
"Kenapa?" batinnya bertanya, entah untuk siapa. Nino kebingungan, selama ini dirinya sangat yakin tak pernah berbuat salah pada salah satu dari mereka. Namun, juga sangat tak memahami, mengapa dia tak mampu melawan.
Hingga akhirnya Nino hanya terpaku di sana, menatap dalam kekosongan akan yang baru saja terjadi padanya. Membiarkan cata tersebut mengering ke seluruh tubuhnya.
~~~
Di saat yang lain terlihat aktif dengan saling berbicara, ataupun membaca buku pelajaran yang akan menjadi materi pembelajaran hari ini. Nathan kembali ke sifat di minggu-minggu pertamanya. Dia duduk terdiam di tempatnya, tatapan yang kosong, tetapi pikiran yang penuh.
Meski sebenarnya dia memegang sebuah buku novel, kenyataan kalau dia tidak membaca isinya dan seolah hanya menggunakan itu sebagai pengalihan akan dirinya yang sedang menghayal.
Kelas berangsur-angsur mulai terisi, tetapi Nathan baru menutup bukunya begitu satu orang yang sejak tadi menjadi beban kepalanya muncul.
"Nino ...."
Begitupun dia, menghentikan langkahnya saat menemukan Nathan melihatnya dalam wajah yang sulit diartikan. Keduanya teringat kembali akan kejadian kemarin, berakhir tak menyenangkan dalam defenisi mereka masing-masing.
Nino menggaruk tengkuknya, kemudian langkah yang seharusnya maju berpindah tiba-tiba. Dia pergi ke sisi lain dari tempat duduknya, menghampiri murid yang sudah duduk di sana sedari tadi.
"Hei ...," panggilnya. Beberapa orang ikut berbalik melihat Nino. "Aku ... boleh duduk di sini?"
Awalnya murid itu tampak kebingungan, matanya bolak-balik ke arah Nathan dan Nino, dengan pertanyaan yang perlahan-lahan muncul di kepalanya. "Pindah? Kenapa memang di tempatmu?"
"Nggak ada apa-apa. Aku cuman ... nggak mau duduk di sana ...."
Nathan yang ikut menyaksikan itu tak mampu berkata apa-apa. Sepanjang malam setelah pembicaraannya dengan Nino jadi penuh dengan rasa penyesalan. Dia sudah membuat seorang murid baru kini dalam kondisi yang tidak nyaman. Hingga hari ini, dia masih memikirkanya dan sudah ingin meminta maaf. Namun, melihat keadaannya sendiri malah membuat dia semakin tak mendapatkan kesempatan.
"Boleh?" ulang kembali Nino. Murid itu nampak bingung, pikirnya dia bisa menerima tawaran itu, tetapi juga tak mengetahui pasti apa alasannya, dan pada akhirnya membuat dia harus memutuskan dengan baik.
"Kamu duduk di sini aja." Sampai satu murid lain ikut berbicara, seorang gadis yang ikut mengagetkan Nathan di tempatnya.
"Beneran? Kamu mau duduk di belakang?" tanya balik Nino, melihat siswi itu duduk di tengah-tengah kelas.
"Ya. Kamu di sini aja, aku yang duduk di belakang." Dia langsung mengambil tas yang sebelumnya sudah tergantung di kursinya, dan duduk ke samping Nathan. Tak ingin membuang waktu lama, Nino juga ikut bergerak, mengambil tempat duduk siswi itu.
Begitu keadaan sudah kembali, gadis tadi menarik perhatian Nathan. Menyentuh sedikit pundaknya, tetapi belum bahkan sempat berbicara, Nathan sudah membalas.
"Jangan sekarang, Lia."
"Tapi janji kamu bakalan mau cerita nanti?"
"Nggak." Jawaban itu sudah cukup membuat Lia tak ingin melanjutkan. Membiarkan Nathan kembali dengan pemikirannya sendiri, dan menunggu pelajaran pertamanya di mulai.
~~~
Tidak seperti murid lainnya yang langsung ke kantin sekolah untuk segera makan, Lia memilih untuk naik ke lantai dua sekolah begitu jam istirahat di mulai. Mencoba menemui Nathan yang memang sesuai dugaannya ada di sana.
Lia tidak tahu alasan pastinya, hanya berpikir dia selalu naik ke lantai dua sekolah yang sebenarnya hanya berisi ruang guru dan pegawai karena koridor tersebut tempat sahabatnya dulu selalu menyendiri. Kini pilu rasanya melihat Nathan yang melakukannya sekarang.
"Hei ... Nathan."
Tanpa perlu berbalik, Nathan sudah tahu itu Lia. Posisinya masih sama dengan tatapan yang seolah-olah kosong ke arah lapangan yang lalu lalang murid-murid sekolah.
"Aku masih nggak mau cerita," ketus Nathan langsung.
"Nggak perlu cerita pun aku sudah tau. Kamu akhirnya sadar kalau itu bukan dia."
Nathan menghela pendek napasnya, terasa kaku lehernya hanya untuk menatap Lia dan memperlihatkan wajahnya yang membenarkan ucapan gadis itu.
"Memang sulit, tapi ada hal di dunia ini yang terjadi dengan kebetulan."
Lia semakin mendekat, berusaha melihat lebih bagaimana keadaan remaja itu, segenap usahanya untuk merelakan kematian sahabatnya yang seharusnya tidak pernah terjadi.
"Hari itu aku udah siap, terus Nino yang baru itu datang. Apa itu yang namanya munafik?" desau Nathan, lalu mengambil duduknya, masih dalam pikirannya yang sulit dia keluarkan dengan baik.
"Jadi kamu ke sini buat bicara ke aku, atau mau ke ambil absen dan kebetulan ketemu sama aku?" sambung Nathan, kini dia bisa mengangkat kepalanya dan menatap Lia lebih baik.
"Aku tau momennya emang nggak pas, tapi aku mau minta tolong sama kamu."
"Soal apa?"
"Lio. Kamu ingat, kan, beberapa hari yang lalu dia ngajakin aku buat ngerjain tugasnya. Ternyata itu nggak cuman tugas sekolah, ada yang lain."
"Maksudnya?"
"Lio ternyata wakilin sekolah buat lomba melukis akhir bulan nanti. Sekarang dia stres. Aku nggak tau kenapa padahal awalnya dia semangat banget, tapi sekarang ngomong ke aku aja nggak mau. Mungkin kalau sama kamu dia bakalan bicara."
Dengan cepat Nathan berdiri, tanda penolakannya. "Kalau sama kakak kembarnya aja nggak mau, apalagi aku."
"Aku nggak seharusnya bilang gini, tapi kalau kamu mau bantu, ini bisa ngalihin kamu sama Nino." Di ujung tangga Nathan terdiam sejenak. Pikirannya memang dia ingin membantu, tetapi seperti kata Lia, sekarang bukanlah saatnya. Dirinya sendiri dalam keadaan yang kurang bagus. "Cuman kamu, Nathan. Aku nggak tau mau minta tolong ke siapa lagi."
Nathan kembali mendesau, dengan perasaan malas dia memutar tubuhnya. "Okey ... nanti habis pulang sekolah aku ke rumahmu."
~~~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro