Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Mungkin Dia Belum Mati

"Nathan, menurutmu setelah mati manusia ke mana?"

Remaja yang masih berusaha menelan mie panjangnya itu tertahan seketika, mendengar pertanyaan dari Nino yang terdengar aneh untuk dikeluarkan saat sedang makan di kantin sekolah.

Nathan menatap ke atas, menekuk-nekuk dagunya dengan telunjuk "Surga ... atau neraka. Hanya itu," jawabnya sedikit terbata. Dia kembali melanjutkan santapnya, tetapi Nino juga masih melanjutkan.

"Kamu tau, beberapa orang di dunia ada yang percaya sama reinkarnasi." Nino menaruh ponselnya ke atas meja, memperlihatkan pada Nathan sebuah artikel, alasan yang membuatnya bertanya sejak awal. "Contohnya orang India. Percaya setelah mati mereka akan jadi sapi."

Sedikit tersedak mendengarnya, ingin Nathan bahkan terbahak setelah mengetahui hal tersebut. Namun, dia memilih untuk menahan sisanya setelah meminum air, dan ikut membaca tulisan-tulisan berikutnya.

"Di Korea Selatan lebih seram, banyak remaja yang bunuh diri karena mereka percaya sama reinkarnasi."

"Okey. Aku nggak mau jadi yang paling benar di sini, tapi reinkarnasi ... hidup kembali dalam tubuh yang berbeda. Itu nggak mungkin terjadi."

Nino mengangkat bahu, menunjukkan keraguannya. Kembali Nathan berusaha menahan tawa dengan memukul pelan keningnya beberapa kali. "Nino, kalau memang reinkarnasi itu ada, berarti ayahku masih hidup, entah di mana. Sayangnya, nggak. Dia udah tenang."

Ekspresi Nino berubah sejenak, merasa dirinya salah bicara, dan akhirnya memilih untuk menarik ponselnya. Namun, Nathan bisa melihat hal tersebut, dan mencoba membuatnya tidak merasa bersalah. "Hei ... aku nggak marah, cuman itu pendapat aku."

"Hahaha ... iya." Nino menyerah, dan lanjut menghabiskan minuman yang dia pesan. Tidak memilih untuk makan.

Nathan kembali tertahan untuk beberapa saat, melihat temannya kini menjadi terdiam dan tenang membuatnya mengangkat satu alis. "Jadi kamu percaya sama reikarnasi?"

Perlahan-lahan Nino menaikkan matanya, menatap balik sahabatnya dalam wajah yang sulit diartikan. Begitu selesai dengan minumannya, dia tersenyum.

~~~

Napas panjang dikeluarkan Nathan. Sesak sedikit mengisi paru-parunya, dan segera dia mencoba untuk membasahi wajahnya berkali-lagi, untuk sekali lagi.

Baru saja dia mantapkan hatinya untuk melupakan sahabatnya yang sudah meninggal, kejadian yang tak akan pernah disangka siapapun terjadi hari ini. Murid baru masuk ke kelasnya, tetapi dengan wajah, penampilan, dan bahkan nama yang sama seperti Nino.

"Nathan?!" Dia tersentak saat mendengar namanya dipanggil, dan keadaannya masih tidak membaik bahkan setelah Nathan mengetahui siapa yang memanggilnya.

"Eh ... Lio. Kenapa?"

"Kamu kayak habis liat setan. Kamu nggak papa?"

"Ya ... aku oke. Aman, sehat, dan bahagia." Bagaimanapun, Nathan tak mampu menutupi perasaannya sekarang. Dia tak tahu harus berekspresi seperti apa sekarang. Bahkan suaranya dan kata yang dia pilih hanya semakin membuat Lio yakin remaja di hadapannya sekarang sedang dalam keadaan yang tidak bagus.

Tak ingin berurusan dengan orang-orang sekarang, Nathan keluar dari sana. Namun, baru saja melewati pintu Lio memanggilnya lagi.

"Aku udah dengar dari Lia, kelasmu ada murid baru." Nathan menghentikan langkahnya, tetapi tak berbalik untuk menatap Lio saat dia masih melanjutkan. "Itu bukan Nino, cuman mirip. Dia nggak mungkin hidup lagi."

"Emang aku bilang itu Nino?"

"Nggak, tapi sikap kamu yang nunjukkin itu. Lia bilang kamu langsung lari pas habis kelas, kamu panik dan bikin dia takut."

"Ya terus kenapa?! Aku baru aja ngucapin selamat tinggal ke sahabat aku, terus ada orang lain yang kebetulan banget mirip banget sama dia. Siapa yang nggak panik?" tukasnya. Perlahan tangannya mengerat perlahan-lahan tanda berusaha ingin meredam emosinya yang sudah bercampur aduk.

Rasanya dia sangat takut, tetapi juga senang. Hanya saja kebingungan bagaimana untuk mengeluarkannya, sehingga jadinya hanya tersimpan di dalam dan saling beradu. Nathan sama sekali tak mengharapkan kemunculan murid baru itu, tetapi perlahan merasa ini dapat menutupi lukanya.

Nathan akhirnya benar-benar pergi, dan Lio tak menghentikannya. Membiarkan remaja itu kembali ke kelasnya. Saat Nathan sudah ada di depan kelasnya, dia menemukan murid baru itu, hanya duduk di tempatnya, tempat Nino dulu duduk. Kenyataannya dia juga bernama Nino.

Nathan mengambil duduk di sampingnya. Tanpa ada suara selama beberapa detik lamanya, sampai sebelum dia menoleh, dan begitupun Nino. Keduanya saling menatap, dan saat itu juga Nathan tersentak dan hampir membuatnya jatuh.

"K–Kenapa?"

"Nggak! Nggak ada apa-apa!" jawab Nathan langsung. Beruntung hanya ada mereka berdua saja di kelas sekarang, sebagian lainnya mungkin sedang makan di kantin sekolah.

"Okey ...." Nino kembali ke urusannya, membaca sebuah buku dari pelajaran yang sudah dibawakan hari ini. Namun, saat matanya masih bergerak untuk setiap kata dia mulai merasa terganggu. Mendengarkan remaja di sampingnya bernapas megap-megap. "Kamu beneran baik-baik aja?"

"Ya, Nino!" Nathan menjawab setengah berteriak. Nino lantas tertawa hambar dan akhirnya memutuskan untuk mengabaikan cowok itu.

Sementara Nathan sangat gemas ingin memukul dahinya. Apa-apaan sikap itu tadi? Nathan tidak ingin membuat masalah. Nino di sampingnya adalah orang baru yang kebetulan saja seperti dengan teman lamanya. Setelah berdehem sejenak, Nathan berbicara dengan suara pelan. "Omong-omong, kita belum kenalan."

Nino mengangkat alisnya, tetapi memilih untuk menutup bukunya dan masuk ke percakapan itu. "Bukannya kamu udah tau namaku?"

"Tapi kamu nggak tau namaku, kan?" Nino mendesau, lalu menutup bukunya. Menyimpulkan kalau sikap aneh yang sejak tadi dia lakukan ternyata hanya ingin berkenalan. Dia bahkan sempat terkekeh sebelum lanjut bicara. "Nathan, kan?"

"Paramanata Syaikh. Iya. Namaku Nathan."

"Paramanata ... jadi Nathan-nya dari mana?"

"Uh ... dulu pas masih kecil aku dipanggil Nata. Cuman sekarang udah jadi Nathan. Anggap aja biar lebih keren," jelas Nathan mengenang sedikit.

"Oke. Salam kenal, Nathan." Nino melenggang kepalanya sebentar, dan kembali ke urusan pribadinya lagi, meski Nathan masih mau berbicara. Pada akhirnya remaja itu juga urung dan berpikir untuk memulai saja dengan perlahan dan tenang. Dengan kuat dia menanamkan dalam dirinya, di sampingnya sekarang bukanlah Nino yang dulu Nathan kenal, kali ini adalah yang baru dan berbeda.

Nathan berpikir untuk mengajaknya makan siang, atau mungkin makan sore saat sudah pulang sekolah. "Nino, kamu mau ke--"

Belum bahkan Nathan menyelesaikan bicaranya, dia berhenti dengan sentakan hebat untuk sekali lagi. Menemukan Nino menulis sesuatu di atas sebuah buku, tetapi buku yang sama sekali tak asing baginya. Sampul yang terbuat dari kulit dengan warna hitam mengkilat itu tak akan pernah Nathan lupakan.

"Itu buku apa?!" tanya langsung Nathan, suaranya yang sedikit kuat dan cepat cukup untuk mengagetkan lawan bicaranya. Membuat Nino juga buru-buru menyembunyikan isi buku itu menghadap ke dadanya.

"Buku ... uh ... catatan rahasia. Ini catatan rahasiaku," jawabnya, lagi-lagi dengan suara canggung. "Uh ... rahasia artinya nggak boleh dibaca siapapun. Jadi ... hehe, bisa mundur sedikit?"

Mendengar itu sama sekali tak membuat Nathan kembali normal. Malahan dia sekali lagi melakukan hal yang sama, berdiri begitu saja dari duduknya, dan berlari keluar seperti orang ketakutan. Nino yang melihatnya sama sekali tak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, atau mengerti akan yang terjadi pada Nathan. Hanya mengetahui ada masalah yang terjadi padanya.

~~~

Bel tanda pulang sekolah sudah dibunyikan, tetapi masih ada banyak murid yang memilih untuk tinggal sejenak. Beberapa dari mereka memilih untuk mengerjakan tugas yang baru saja diberikan karena berpikir jika sudah pulang ke rumah malah akan jadi malas menyelesaikannya. Sebagian lainnya hanya tinggal untuk alasan berbeda.

Salah satunya adalah Lia. Membaca pesan yang masuk ke ponselnya, dia naik ke lantai dua gedung sekolah, mencari seseorang dengan wajah yang khawatir. Tidak butuh waktu lama sebenarnya, begitu sampai di ujung dia sudah menemukannya, duduk di sebuah kursi dengan kepala mengarah ke bawah.

"Nathan?"

Dia mengangkat kepala begitu dipanggil. Memang seperti dugaan Lia, Nathan kembali dalam suasana yang memberatkan dirinya. Lia tak mengambil duduk, melainkan langsung bertanya saat sudah ada di dekatnya.

"Kenapa kamu nggak masuk kelas terakhir? Ini nggak kayak kamu, Nathan."

"Aku panggil kamu kemari bukan buat bahas soal itu," singkapnya membalas.

"Ya, kita akan bahas itu. Kamu nggak masuk kelas karena Nino, kan?"

Nathan terdiam, untuk beberapa saat mereka hanya saling menatap. Berbeda dengan Lia, Nathan tak memasang wajah datar yang tak bisa dijelaskan,. "Jadi kenapa tanya kalau kamu dah tau jawabannya?"

"Karena kamu bikin dia takut! Dia pikir kamu ada masalah, dan--"

"Karena dia memang bikin aku takut!" teriak langsung Nathan. Untuk pertama kalinya membentak gadis itu selama mereka saling mengenal. Jika Lio ada di sana mungkin mereka akan berkelahi. "Aku takut, Lia. Sahabatku baru aja bunuh diri. Terus tiba-tiba dia muncul lagi di hadapanku kayak nggak terjadi apa-apa."

"Dia bukan Nino! Maksud aku--dia emang Nino, tapi dia bukan yang kamu maksud. Nino udah mati. Kamu harus terima itu, Nathan."

"Terus kamu mau bilang kalau ini cuman kebetulan? Dia punya muka, suara, bahkan namanya sama. Dia juga ada buku harian yang sampulnya sama persis."

"Ya! Itu cuman kebetulan. Orang-orang bilang kita punya tujuh kembaran di seluruh dunia. Buku kayak gitu juga banyak dijual di percetakan." Lia mulai menjelaskan dengan asal, tetapi jawabannya tetaplah kuat. Sekali lagi mampu membuat Nathan terdiam dengan argumennya.

Lia juga mulai ikut kebingungan, rasa khawatinya membuat dia kehabisan kata-kata yang harusnya cukup untuk membuat remaja di hadapannya kini bisa mengerti. "Nathan. Pagi ini aku lihat kamu sadar. Kamu udah coba ikhlasin dia, relain kematiannya. Memang Nino datang ke sekolah pasti bikin kita semua kaget, tapi kamu nggak seharusnya bersikap kayak gitu. Aku tau kamu sahabat terbaiknya, tapi itu bukan dia."

Tangan Lia mencoba untuk menyentuh Nathan, sebagai pelengkap dari perasaan empati yang juga dia rasakan. Namun, yang Nathan lakukan lagi-lagi menolak semua itu. Dia langsung menepisnya dan menunjukkan ketidaksetujuannya.

"Nggak! Aku nggak mau dengar apa-apa lagi! Aku bakalan buktiin kalau itu dia, dan kamu bakalan liat sendiri kalau dia memang Nino!" Nathan berlari, pergi meninggalkan Lia begitu saja.

Lia mendesau, pada akhirnya dia yang mengambil tempat duduk Nathan. Menyandarkan tubuhnya di pembatas, dan menatap ke langit-langit dengan acak. "Maafin dia Nino, tapi semoga aja kamu ngerti sama keadaannya."

~~~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro