Kecewa, dan Khawatir
Kaki Lio mengetuk di tempatnya. Masih tak habis pikir dia dengan yang baru saja terjadi padanya. Entah mimpi atau bukan, Lio tak mampu menentukannya sendiri. Napasnya bahkan masih berat, dirinya tak tenang dan benar-benar kelelahan. Dia pastinya tak mampu memaafkan dirinya sendiri saat meninggalkan sekolah begitu saja, berkendara dengan kecepatan sangat cepat, Lio tak mungkin lupa dengan beberapa orang di jalan memakinya. Lalu kesialannya tidak berhenti, kendaraannya kehabisan bahan bakar, hingga terpaksa dia harus mendorong motor besarnya itu hingga menemukan sebuah pom bensin.
Kini dia masih belum sampai di rumahnya, melainkan menepi sejenak untuk mengambil minuman, dan meminjam charger ponsel di warung dekat pom bensin tadi.
Lio akhirnya bisa menemukan dirinya sudah lewat sejam dari batas waktu seseorang seharusnya di sekolah. Kemudian segera beralih ke aplikasi kontak untuk menghubungi kakaknya.
"Kamu di mana?" ucapnya begitu panggilan sudah terhubung.
"Aku ngerjain tugas di luar. Kamu dari mana aja?! Daritadi aku hubungi kamu. Ayah ada di rumah."
"Ayah di rumah?! Kapan dia balik?!" Suara Lio seketika naik, sampai mengagetkan pengunjung lain di sana, tetapi Lio seakan tak peduli dengan perbuatannya.
"Tadi sore, mending kamu pulang sekarang."
Lio hanya terdiam setelahnya. Bahkan panggilannya ditutup tanpa ada salam. Dia akhirnya mengembalikan charger yang dipinjamnya dan beranjak pergi. Kali ini dia masih berkendara dalam kecepatan tinggi, dan seluruh fokusnya dari semua kejadian aneh yang dia dapatkan berubah ke ayahnya.
Ayahnya punya aturan, untuk tidak pulang melewati pukul enam dengan alasan apapun. Khusus untuk Lio, dia dilarang melukis. Keduanya sudah dia langgar.
Saat akhirnya Lio sampai di rumahnya, pintu depannya terbuka dengan lebar. Lio memarkir motornya tepat di samping mobil putih ayahnya. Begitu pahit salivanya dia coba telan, seluruh tubuhnya jadi bergetar. Pikirnya dia benar-benar akan dimarahi habis-habisan, tetapi Lio juga tahu dirinya tak punya pilihan selain masuk dan menghadapi ayahnya.
"Assalamualaikum," ucapnya pelan. Pintu depan yang langsung terhubung dengan sofa tempat ayahnya duduk mengistirahatkan diri, dan seketika suasana berubah menjadi tegang. Buku yang ada di tangan ayahnya dibanting di atas meja begitu saja, dan pria itu mendekati Lio dengan emosi membara.
"Kamu dari mana aja?! Nggak tau sekarang udah mau setengah delapan?!"
Belum bahkan sepatunya dia lepaskan, dan Lio hampir tak mampu bergerak di tempatnya, bahkan membuka mulut pun untuk menjawab begitu sulit rasanya.
"L--Lio ... dari sekolah."
"Lia juga dari sekolah! Tapi dia udah balik duluan. Kamu jangan bohong sama ayah!"
Lidah Lio kelu, dia tak bisa berkata bohong, tetapi juga tahu bagaimana efeknya jika dia jujur. Hatinya begitu dilema sekarang.
"Lio ... Lio cuman melukis," jawabnya kaku.
"Melukis? Kamu melukis lagi?! Sudah ayah bilang--"
"Iya! Lio tau ayah larang aku melukis, tapi aku nggak bisa berhenti!" Akhirnya Lio ikut menumpahkan emosinya, dia tahu dirinya semakin salah sekarang, tetapi hal itu berhasil membuat ayahnya terdiam sejenak.
"Aku ditunjuk buat ikut lomba wakilin sekolah. Kemarin aku mau ngomong ini ke ayah, tapi ayah malah kerja. Ini mimpi aku, yah! Aku nggak mau jadi orang-orang kantoran kayak ayah, yang sibuk tiap hari sampai jarang pulang."
"Apa yang kamu dapatin dari melukis itu?! Siapa yang beliin kamu motor? Beliin kamu gadget? Sekolahin kamu? Itu semua dari duit kerja keras ayah!"
Ayahnya melirik apa yang Lio bawa di tangan kanannya, langsung saja dia rebut. Tas hitam khusus tempat Lio menyimpan lukisan dan perlatannya.
"Ayah! Jangan ambil barang-barang Lio!"
"Kamu itu nggak pernah dengerin ayah kamu! Kamu udah berani membangkang sama ayah!"
Lio berusaha merebut tas yang mulai dikeluarkan isinya itu, seluruh kuas dan catnya yang tersimpan di dalam di buang asal ke lantai, dan lukisan Lio yang sudah dibuatnya susah payah hari ini di ambil ayahnya. Namun, Lio sama sekali tak mampu mengambilnya kembali.
"Ayah! Balikin lukisan Lio!"
"Minggir!" Lio langsung didorong mundur, sampai tersungkur di lantai. Belum sempat dia memulihkan diri, tepat di depan matanya lukisan itu dipatahkan menjadi dua seketika. Lalu dibuang begitu saja ke hadapan Lio.
Matanya terbelalak, berharap penglihatannya tak menipu saat itu, tetapi tangannya juga sudah mampu menjawab begitu dia mengambil lukisannya itu. Hancur terbelah.
"Nggak. Nggak!" Lio berusaha menyatukannya, berharap seperti anak kecil yang percaya keajaiban kalau benda itu bisa terhubung kembali. Lio tak mampu membendung tangisnya.
"Sekarang kamu naik ke kamarmu! Nggak ada makan malam buat kamu!"
Punggung Lio semakin bergetar, memeluk kedua lukisan itu di dadanya, tanpa peduli seragamnya mungkin saja akan kotor. Dia tak mampu menahan diri lagi. "Kenapa ayah ngelakuin ini?!"
"Pergi ke kamar kamu sekarang!" Tak menjawab, perlakuannya malah semakin kasar. Tangan Lio ditarik paksa, membuatnya berteriak kesakitan karena tepat di mana memarnya berada.
"Ack! Lepasin yah! Tangan Lio sakit!" Namun, ayahnya tak peduli. Lio terus ditarik naik ke atas kamarnya, dan begitu sampai dia kembali dijatuhkan. Pintu kemudian langsung dibanting, dan Lio ditinggalkan di sana.
Lio tak mampu melakukan apa-apa lagi, hanya melanjutkan tangisnya yang semakin kuat. rasa kecewa tumbuh dalam dirinya, dirinya benar-benar tak menyangka kalau ayahnya akan semarah ini.
Lio bersandar di dinding kamarnya, memeluk kedua kakinya dan menumpahkan semua perasaannya di sana. Laki-laki yang biasa itu tak mampu menerima semua yang terjadi padanya hanya dalam sehari. Pikirannya seperti ingin pecah, Lio tak bisa menahan semuanya.
~~~
Seragamnya sudah dia kenakan sebagian, meski belum selesai dengan riasan dan perlengkapan sekolahnya. Lia keluar dari kamar saat waktu sejam lagi pelajaran pertama. Sudah kebiasaannya, sebagai satu-satunya perempuan di rumah dia harus bertanggung jawab untuk menyiapkan sarapan ataupun makanan di rumah.
Saat pulang dari rumah temannya untuk mengerjakan tugas semalam, Lia langsung beristirahat di kamarnya. Di saat bersamaan ayahnya juga pergi lagi untuk melanjutkan tugas dinasnya.
Begitu sampai di dapur Lia menemukan ada yang salah. Adiknya juga adalah tipe orang yang selalu bangun pagi, terkadang lebih dulu masuk ke dapur dan membuat segelas minuman panas untuk menunggu sarapan Lia. Namun, panci masih tergantung dan cangkir tak ada yang digunakan.
Lia akhirnya memutuskan untuk naik kembali dan menemui adiknya, tetapi belum sampai di lantai dia menemukan hal lain. Sesuatu yang baru dia lihat sudah membuatnya mengerti dan juga khawatir akan yang terjadi pada Lio. Pada akhirnya Lia menambah kecepatan untuk segera sampai di depan kamar Lio.
"Lio! Bangun, udah pagi! Nanti kita telat ke sekolah!" Lia mencoba mengetuk, tetapi tak ada balasan apapun. Kemudian mencoba lebih kuat dan masih tak ada balasan apapun. Khawatir yang semakin terasa akhirnya membuat Lia terpaksa membuka pintu itu, dan sama sekali tidak dikunci, hal lain yang mengagetkannya.
"Lio? Kamu--" Ucapannya terhenti. Bukan karena Lio masih tidur, ataupun tak ada di sana. Dia sudah bangun, dan duduk di atas kasurnya membelakangi pintu masuk dengan hanya menggunakan kaos hitam polos.
"Lio? Kamu nggak papa?" lanjut Lia mendekatinya.
Lio masih tak bergerak di sana meski tahu kakaknya juga sudah mengambil duduk di sampingnya. Dia seperti menatap kosong ke arah lemari pakaian di hadapannya.
"Hei? Kamu nggak siap-siap? Nanti kita telat ke sekolah."
Lio masih terdiam saat itu, sebelum kemudian terdengar tarikan napas pendek darinya dan akhirnya menjawab.
"Aku udah izin ke sekolah."
"Izin? Aku tau kamu bohong Lio." Dia kembali terdiam, membuat Lia semakin kebingungan, meski sebenarnya mengerti dengan apa yang Lio telah alami saat ayahnya ada di rumah.
"Dengar, aku nggak tau pasti antara kamu sama ayah semalam, tapi aku lihat lukisan kamu di gudang dekat tangga. Tapi aku mau bantu kamu di sini, kamu--"
"Lia," panggil Lio, menghentikan bicara Lia. "Bisa kamu pergi? Aku mau sendiri sekarang."
"Kok kamu gitu? Aku kan bicara baik-baik."
Lio akhirnya menoleh, memasang wajahnya yang kesal, kemudian langsung berdiri. "Emangnya kamu mau bantu aku apa? Ngomong sama dia? Kamu dah lihat lukisan aku dipatahin gitu aja?! Kamu nggak tau artinya apa? Dia itu nggak pernah sayang sama aku! Ngomong apapun percuma!"
Lia ikut berdiri dan berhadapan dengannya. "Ayah itu sayang sama kamu! Sama kita!"
"Sayang? Ngomong aja kayak gitu ke lukisan aku! Aku capek-capek mikir berbulan-bulan cuman buat itu dan dia rusak dalam semalam. Itu yang kamu bilang sayang?!"
Napas Lio jadi tak beraturan karena suaranya yang hampir berteriak, memaksanya kembali untuk duduk di kasurnya. "Andai aja aku ikut sama ibu, pasti nggak bakalan kayak gini. Pasti ibu bakalan beliin aku kanvas tiap bulan, kasih ruangan buat melukis di rumah, terus biarin aku pajang karya-karyaku di dinding."
Lia hanya terdiam untuk itu. Bukan berarti dia membenci ibunya yang memilih untuk bercerai, tetapi dia ingat betul kalau wanita itu tak memaksakan dirinya untuk mendapatkan hak asuh, seolah membiarkan suaminya yang punya pekerjaan lebih baik untuk merawat anak-anak kembarnya.
Lio melanjutkan. "Kamu tau? Nino dibiarin pajang lukisannya di rumahnya. Tiap hari dibeliin kanvas kosong, bahkan disiapin kamar sendiri cuman buat melukis. Aku sejak dulu iri sama dia."
Pada akhirnya Lia benar-benar tak tahu harus mengatakan apa, dan memilih untuk membiarkan Lio sendirian seperti yang dia inginkan. "Nanti kamu turun buat makan," ucapnya sebelum kemudian menutup pintu kamar perlahan.
~~~
Lia sudah sampai di sekolah, kekhawatirannya pada Lio masih ada. Apakah dia sudah mengambil sarapan atau setidaknya keluar dari kamarnya. Bukan hanya itu, kejadian pagi ini membuatnya jadi membagi perhatiannya, kepada adik kembarnya, dan Nathan yang masih belum mampu merelakan kematian sahabatnya.
Lia tak mengerti bagaimana, tetapi murid baru bernama Nino itu akhirnya menghidari Nathan, dengan salah satunya adalah menolak untuk duduk lagi di sampingnya. Lalu sepanjang pelajaran dia hampir tak memperhatikan apapun, hingga kelas selesai dan Lia menemukannya di lantai dua sekolah.
Lia juga kembali teringat dengan Lio. Mereka berdua mungkin sangat merasa hancur sekarang. Nathan kehilangan sahabatnya, dan Lio dihancurkan mimpinya.
Sebenarnya dia sama sekali tak berniat mencari Nathan untuk menayakan apa yang sebenarnya terjadi antara dia dan Nino. Melainkan untuk meminta tolong agar Nathan mau berbicara ke Lio. Pikirnya dia bisa membantu dan membuat Lio lebih terbuka. Meski sebenarnya Lia juga tahu kalau waktunya tidak tepat, hanya saja dia juga sudah tidak punya pilihan lain.
"Hei ... Nathan," panggil Lia setelah seluruh kakinya sudah berada di lantai dua.
~~~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro