Jangan Bersembunyi Lagi
Lia terbangun dengan perasaan yang campur aduk. Matahari bahkan belum terlalu terang saat itu, tetapi dirinya sama sekali tak bisa mendapatkan tidur yang nyenyak. Semua kejadian tak biasa yang dialami Lia kemarin benar-benar membuatnya jatuh. Masih dalam alasan yang sama sekali tak bisa dia mengerti, adik kembarnya tiba-tiba saja mencekik, memukul, dan berlaku kasar seolah-olah Lia adalah orang asing yang telah mengacau.
Lia masuk ke kamar mandi, memeriksa rasa sakit yang masih terasa di lehernya. Namun, begitu lampu dia nyalakan, tak ada memar apapun di lehernya. Bahkan secara ajaib rasa sakitnya juga menghilang begitu saja. Beberapa kali tangan Lia mengusapnya untuk memeriksa lagi, tetapi memang tak ada apapun lagi di sana.
Hal tersebut makin membuatnya aneh, sampai membatu sebentar di hadapan cermin hanya untuk memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Tak ada satupun penjelasan atau jawaban apapun yang bisa Lia dapatkan.
Dia akhirnya buru-buru membersihkan tubuhnya dan berpikir untuk segera meninggalkan rumah. Saat keluar kamar, dia masih terpaku sejenak, melihat ke arah pintu kamar adiknya yang tertutup. Kali ini sudah tak ada niatnya untuk memeriksa keadaan Lio, ataupun sekedar mengetuk pintu itu.
Secepatnya dia pergi ke sekolah, tak lagi membuat sarapan ataupun membersihkan sedikit bagian rumahnya. Memilih untuk mencari tahu bagaimana keadaan Lio terakhir kali saat dia berbicara pada Nathan kemarin.
~~~
Nathan berjalan santai di koridor sekolah. Sekali lagi latihannya dibatalkan karena hujan tiba-tiba saja mengguyur kota. Pasrah akan keadaan itu dia memilih untuk berkeliling melihat-lihat bagaimana kegiatan ekskul lainnya di sekolah. Seakan sudah terbiasa atau memang hanya kebetulan, Nathan lagi-lagi melangkahkan kakinya ke ruang seni.
Di sana hanya ada sedikit orang, tetapi di salah satu kursi kosong yang melingkar satu sama lain itu masih tervisualkan baginya sosok Nino, tengah menggerakkan tangannya di atas kanvas, membuat lukisan-lukisan yang indah dipandang. Bahkan dirinya sendiri sadar kalau itu hanya halusinasinya semata.
Segera dia berbalik, dan tepat saat itu dia menemukan seseorang yang baru saja ingin masuk ke ruang seni, lengkap membawa kanvas, palet, dan perlengkapannya yang lain. Mereka berdua sempat terpaku di tempat masing-masing, tetapi yang paling terkejut adalah Nathan sendiri.
"H--Hei," ucap murid itu sedikit canggung.
"Hei ...." Nathan pun sama kakunya. Mengingat kembali kejadian beberapa hari lalu antara mereka membuat hubungan keduanya menjadi sangat-sangat buruk.
Namun, bukan hal itu yang mengagetkan Nathan di awal, melainkan mengetahui siapa dia yang akan segera memulai harinya di ruang seni. Nino, murid baru di kelasnya.
Hanya melambaikan tangannya setelah itu, Nino bergegas masuk ke ruang seni, meninggalkan Nathan lagi-lagi dalam helaan napas yang begitu berat.
"Siapa yang aku bodohi, aku di sini berharap banget itu kamu," gumamnya menutup mata. Nathan akhirnya lanjut meninggalkan tempat itu, menuju kamar mandi untuk kembali mengganti pakaiannya, dan tersisa menunggu hujan reda untuk pulang ke rumahnya.
Di salah satu tandas, Nathan dengan cepat berusaha mengganti pakaian olahraganya kembali ke seragam sekolah. Di saat yang bersamaan, dua orang terdengar masuk ke kamar mandi, tetapi hanya sampai di westafel untuk mencuci tangan.
Nathan ikut keluar dan melakukan hal yang sama, di saat itu kedua orang di sampingnya mulai berbicara. Awalnya Nathan sama sekali tidak peduli ataupun tertarik mendengarkan, tetapi ketika keran airnya mulai dia tutup, kalimat selanjutnya membuat dia benar-benar tersentak.
"Hahaha ... karma mungkin. Dia sok-sok pahlawan ke Nino, tapi ujung-ujungnya dia emang cuman mau gantiin posisinya."
"Eh ternyata dia mundur dari lomba, malu-maluin banget."
Nathan masih belum mengerti dengan yang dia dengar, jadilah dia berpura-pura untuk mengelap tangannya yang basah dalam waktu yang lama.
"Kasihan Nino, punya teman kayak Lio yang parasit itu. Padahal dia sendiri ada di ruang seni pas Nino di siram, tapi dia nggak dikeluarin sekolah."
Kalimat terakhir itu semakin membuat Nathan tersentak. Seluruh tubuhnya seketika teralirkan emosi yang begitu memacu. Napasnya jadi begitu memburu dengan tangan di lap kering menggantung tersebut jadi mengepal begitu kuat.
Saat dua orang itu pergi, Nathan buru-buru menyalip keluar. Benar-benar tak mampu dia sangka atau bahkan percaya kalau Lio adalah salah satu pelaku dari kejadian yang sudah lama itu. Segera saja dia mencari keberadaannya, mulai dari kelas C yang menjadi kelas Lio, tetapi tak menemukannya di sana.
Dia meneruskan untuk mencari, sampai seketika seseorang menahannya untuk melangkah.
"Nathan, kita harus bicara!" tukasnya langsung. Nathan sama sekali tidak menolak, malah merasa beruntung karena bisa langsung menemukan satu orang yang tahu pasti keberadaan Lio.
"Lia, kebetulan, kamu tau di mana Lio?" tanya balik Nathan dengan suara yang memburu.
"Lio ... di rumah. Itu nggak penting sekarang, kemarin kamu ngomong apa sama dia?"
"Kemarin? Aku sama dia ngomong--" Nathan berhenti seketika. Mengingat kembali pembicaraannya dengan Lio akhirnya membuat dia semakin sadar, dan juga semakin marah lagi kecewa. Selama ini Lio tidak tertekan seperti yang Lia ceritakan, entah karena ayahnya atau karena waktu pendaftaran lomba yang tidak lama lagi ditutup. Melainkan karena rasa bersalahnya karena harus menggantikan Nino sebagai perwakilan sekolah.
"Jadi karena itu ... benar-benar busuk," desisnya, tak mampu didengar jelas oleh Lia.
"Ha? Kamu ngomongin apa sama dia?"
"Jadi Lio ada di rumahmu sekarang?"
Belum terjawab pertanyaan Lia, Nathan langsung pergi ke arah tempat parkir. Tanpa peduli dengan Lia yang masih membutuhkan jawaban dengan terus memanggil remaja itu. "Nathan! Nathan!"
Gerimis masih turun, tetapi Nathan tidak peduli. Kemarahan dan kekecewaannya begitu membuat dia sangat meluap, dan memilih untuk langsung menemui Lio di rumahnya, dan segera melakukan apa yang seharusnya dia lakukan sejak lama.
~~~
Suara stapler begitu kuat mengisi kamar, terdengar beberapa kali hingga menggema terus menerus. Sebelum akhirnya remaja laki-laki itu berhenti, diikuti dirinya mundur perlahan-lahan untuk melihat apa yang telah dia satukan dengan benda itu.
Lukisan yang sebelumnya telah dipatahkan oleh ayahnya menjadi dua, kini bisa kembali menyatu meski tak sebaik saat terakhir kali dia selesai membuatnya. Perasaanya begitu campur aduk saat melihat benda itu mulai tersusun kembali, dan segera dia mengambil palet, cat, dan kuasnya untuk memperbaiki dan menyelesaikan lukisannya.
Bentuk yang telah hilang dia buat lagi, warna yang telah pudar dia tutup kembali, setiap bagian dia coba kembalikan sebagaimana saat di awal dia membuatnya. Dia tidak melakukannya bukan karena memenuhi tanggung jawabnya untuk mewakili sekolah. Lio sendiri juga telah mundur dari lomba ini dengan segala rasa malu yang dia miliki. Lukisan tersebut dia selesaikan juga bukan untuk dirinya, melainkan karena sesuatu yang lain.
Adrenalin dalam tubuhnya memacu dia, gerakannya cepat, tetapi lukisan yang dibuatnya tetap bagus. Sebisa mungkin makna yang sejak awal dia berusaha sampaikan tergambar dengan jelas di lukisannya.
Hingga akhirnya kuas dilepaskan. Sekali lagi Nino mundur untuk melihat hasilnya, dan napas yang menunjukan kelegaannya keluar.
Sampai suara di lantai bawah memecahkan fokusnya. Pintu rumahnya diketuk untuk beberapa kali dengan ketukan yang cukup kuat, hingga terpaksa dia turun untuk melihat siapa tamunya.
Saat pintunya baru saja dibuka, Lio langsung mendapatkan hantaman yang sangat keras di pipinya. Dia sama sekali belum melihat jelas siapa orang itu, dan malah berpikir kalau itu ayahnya lagi, tetapi ternyata dia salah.
Masih tersungkur di lantai, Lio ditarik paksa kerah bajunya, hingga akhirnya dia bisa melihat jelas siapa orang itu.
"N--Nathan?"
Tanpa membalas, laki-laki yang ternyata Nathan itu kembali memukul Lio di pipi yang satunya. Kemudian lagi, dan lagi, hingga darah mulai mengalir dari mulut dan hidung Lio. Saat Nathan berhenti, dia hanya membuang Lio kembali ke atas lantai dengan kasar.
Napas Lio jadi tercekat akibat udara yang begitu tipis, beberapa kali dia sampai batuk dengan darah keluar dari sana.
"Kenapa kamu lakuin itu ke Nino?!" raung Nathan langsung, kemarahan dalam dirinya benar-benar membuat Lio jadi bergeming.
"Apa maksud kamu?! Kenapa kamu mukulin aku?!" Keadaan Lio begitu buruk, ingin sebenarnya dia membalas pukulan Nathan itu, tetapi dirinya benar-benar dikalahkan tanpa ada perlawanan.
"Kamu nggak usah pura-pura lagi. Kamu yang siram Nino pake cat lukis! Kamu sengaja lakuin itu biar dia berhenti dan sekolah bisa nunjuk kamu buat ikut lomba, kan?! Selama ini kamu cemburu sama dia! Kamu cuman nggak mau dikalahin sama Nino."
Lio benar-benar membeku, tatapannya membelalak saat mendengarkan Nathan mengucapkan itu semua. Kini dia sama sekali tak mampu membalas apapun yang remaja di hadapannya itu lakukan.
"Darimana ...? Darimana kamu tau soal itu ...?"
Kesal, Nathan kembali menarik kerah Lio tanpa peduli akan keadaannya sekarang. "Nggak usah ngalihin lagi. Selama ini kamu itu ternyata bangsat yah. Aku beneran nggak percaya, kamu sampai setega itu sama Nino. Kamu nggak lihat apa yang udah kamu lakuin?! Kamu matiin mimpi dia, dan Nino bunuh diri. Kamu udah bunuh Nino!"
"Iya! Gua yang lakuin itu semua!" Lio akhirnya membalas dengan teriakan yang sama kuatnya. Tenaga Nathan seakan melemah, dan akhirnya kembali melepaskan Lio ke lantai.
Lio mencoba untuk menaikkan sedikit tubuhnya, mencoba untuk duduk sembari mengusap wajahnya yang berdarah. "Aku sengaja lakuin itu. Aku cemburu sama Lio. Dia selalu jadi yang terbaik, lukisannya selalu bagus, dan Pak Nurdin cuman puji dia. Kami semua nggak suka sama dia."
Suara Lio perlahan berubah, terdengar isakan yang pelan. "Jadi ada yang siasatin buat iseng ke Nino. Aku ikutan, cuman biar lukisannya rusak. Tapi aku nggak pernah mau dia sampai berhenti melukis! Aku nggak pernah mau dia sampai bunuh diri! Aku nggak pernah mau Nino mati!"
Lio jadi sepenuhnya menangis. Rasa bersalah benar-benar memenuhi dirinya, dia tak lagi merasa ingin membalas Nathan lagi, menurutnya dia memang pantas mendapatkan itu semua setelah sekian lama.
"Aku emang salah. Aku udah bunuh Nino karena cuman karena iri sama dia. Aku emang bangsat, Nathan. Aku nggak pantas gantiin dia, aku malah nggak pantas lagi buat hidup sekarang."
Tangan Nathan masih mengepal di tempatnya, dirinya sama sekali tak bisa teredam, tetapi juga merasa kalau Lio telah mengatakan semuanya. Dia memang tidak puas, tetapi juga sadar kalau dia tidak bisa terus-terusan memukul Lio.
Akhirnya, tanpa mengatakan apapun Nathan meninggalkan rumah Lio. Membanting pintu rumah itu hingga menutup sangat rapat, dan meninggalkan remaja itu sendirian.
Lio masih di sana, tangisannya jadi semakin kuat, sakit tak lagi hanya di wajahnya, melainkan ke dalam hatinya. Lio merasa begitu jatuh ke dalam lubang yang sangat dalam. Mengingat kembali akan teman lamanya yang telah dia khianati sendiri, membayangkan bagaimana rasa sakit yang selama ini Nino rasakan akibat ulahnya.
~~~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro