Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Hanya Mengenang

Helaan napas lega dikeluarkan Nathan pelan-pelan. Selama 80 menit berjalan dia harus berkutat dengan ulangan harian dari pelajaran yang sejak awal sangat sulit dipahami olehnya. Tidak mengharapkan sedikitpun akan mendapatkan hasil yang maksimal, tetapi apapun angka yang ditulis oleh guru di lembar jawaban itu nanti, Nathan akan menerimanya dengan puas.

"Kamu kayak mau mati aja." Berbeda dengannya, Nino terlihat lebih tenang dengan wajah senang pertanda hasilnya akan sangat memuaskan. Tidak meragukan bagi Nathan, teman sebangkunya itu adalah anak yang sangat pintar, terlebih di pelajaran ini.

"Kamu tau, nggak? Aku yakin jawabanku yang benar itu cuman satu nomor. Itu contekan yang kamu kasih ke aku," balas Nathan menyandarkan kepalanya ke meja.

"Itu bukan jawaban, itu rumus untuk soal nomor lima. Sudah kubilang kamu kerjain sisanya."

"Oh yah? Kalau begitu aku dapat nilai karena bisa tulis setengah jawaban."

Nino menggelengkan kepalanya pelan, kelakukan sahabatnya itu selalu bisa membuatnya tertawa pelan. Tak lama setelah menyimpan semua barang-barang di atas mejanya, dia lanjut mengeluarkan satu buku dengan sampul kulit bewarna hitam dari dalam tasnya, dan menuliskan sesuatu di sana tanpa bisa dilihat Nathan.

Penasaran, dia mencoba merebut buku itu, tetapi Nino lebih cepat dan bahkan seperti sudah menulis. Bukunya sudah kembali tersimpan.

"Itu buku apa?"

"Catatan rahasia. Kayak buku harian, gitu," jawab Nino langsung.

"Buku harian? Hari gini masih bikin buku harian?" ejek sedikit Nathan, dan masih berusaha mengambil buku itu meski sudah ada di dalam tas Nino.

"Cuman catatan rahasia, hanya isinya hampir mirip kayak buku harian," lanjut Nino, ikut berusaha menjauhkan tasnya dari tangan cepat sahabatnya.

"Ayolah, aku mau baca? Tadi kamu tulis soal aku, kan?"

"Nggak, dan nggak boleh. Namanya juga rahasia."

Nathan berhenti sejenak. "Bahkan untuk sahabat terbaik kamu di sini?"

"Bahkan untuk sahabat terbaikku yang ada di sini," tukas Nino menahan senyumannya. Nathan mengangkat tangan tanda menyerah, dan kembali menyandarkan kepalanya di atas meja. "Tapi, kamu bisa baca. Cuman bukan sekarang."

"Oh yah, kapan?"

Nino lebih menaikkan senyumannya. "Suatu hari. Nanti kamu tau sendiri kapan saatnya." Kemudian menoleh, menatap wajah Nathan yang sudah setengah tertutup oleh kedua tangannya yang terlipat.

"Nathan?!"

"Ya?!" Nathan bangkit dengan kaget. Dia mengangkat kepalanya, dan menemukan Lia di sampingnya berdiri dengan wajah sedikit panik. Begitu dia menoleh kembali, tempat duduk milik Nino sudah kosong. Membuatnya sekali lagi tersadar dengan khayalan yang masih terus terjadi padanya.

"Kamu nggak dengar aku?" ulang kembali Lia, dengan suara marah yang bercampur sedikit khawatir akibat sikap Nathan yang dia lihat akhir-akhir ini.

"Sorry, nggak dengar. Kamu ngomong apa tadi?"

Lia melemaskan tangannya, dan mencoba memahami kondisi Nathan, sekaligus menenangkannya. "Kamu melamun lagi, kan?"

Nathan memalingkan kembali wajahnya seolah berusaha menyembunyikan ekspresinya dari gadis tersebut.

"Aku tau kamu yang paling dekat sama dia, tapi ... kamu harus ... kamu tau, kan?"

"Ya, ya," balas Nathan sebisanya, kenyataanya dia mencoba untuk tidak mendengarkan Lia. Memilih bangkit dari tempatnya untuk segera pulang ke rumah.

"Tadi aku tanya, kamu mau ikut kami, nggak? Kita mau makan di luar," tanya kembali Lia, meski Nathan sudah setengah jalan ke luar kelas.

"Kita? Siapa maksudnya?" Begitu dia baru sampai di depan pintu, Nathan berhenti, sekaligus menjawab pertanyaannya. Seorang murid berdiri dengan senyum sedikit dibuat canggung.

"Hei."

"Oh, Lio," balas Nathan, dengan suara seperti itu ikut membuat remaja yang dipanggil Lio itu mengerti keadaannya.

"Jadi ... aku ada tugas, banyak. Terus aku mau ke warung kopi, tapi Lia mau ngajak kamu karena sejak kemarin kamu cuman melamun di kelas," lanjut Lio ikut mengkhawatirkan kondisinya. "Kamu serius sampai sekarang liatin kursi punya Nino? Kamu—"

"Kurisnya cuman kosong, Lio. Nggak berhantu!"

"Kamu sadar nggak sih dengan yang kamu lakuin?" resah Lio mengambil napas pendek.

Memilih diam, Nathan beranjak pergi dari sana. Tanda penolakan dan juga tak ingin berbicara lebih banyak. Namun, belum cukup jauh Lio berteriak. "Nathan!"

Hanya saja, Nathan sama sekali tidak menggubrisnya.

"Nino udah mati!" Hingga kalimat itu berhasil menyentakkannya. Meski akhirnya Lio menyesal mengatakan hal tersebut. Namun, rasanya dia tidak punya pilihan lain. "Aku—aku sama Lia juga tau kalian itu sahabat, tapi kamu harus bisa relain dia."

Wajah Nathan mengerut seketika, napasnya mengepul di tempat setelah beberapa saat. Tubuhnya meluap-luap, dan langsung berbalik dengan cepat, memberikan tatapan nyalang. Dia seketika meraih keras Lio dengan kepalan kedua tangannya yang sudah mengeras. Namun, Lio tidak memilih untuk melawan balik, dia yakin Nathan tak akan memukulnya.

"Menurutmu kenapa Nino mati? Kenapa dia udah nggak duduk di sampingku lagi? Kenapa dia pergi dan nggak akan balik lagi? Karena dia di-bully satu sekolah. Terus baru seminggu dia mati dan kamu dah nyuruh aku lupain dia?!"

"Terus gimana? Kamu harus sadar, Nathan. Orang mati nggak bisa hidup lagi!"

Untuk sekali lagi, kalimat Lio cukup utuk menyentakkan Nathan. Tangannya melemah hingga cukup membuat Lio untuk melepaskan dirinya. Hanya bisa dia lihat lelaki itu termenung dengan wajah yang sulit diartikan.

"Lio! Kamu udah kelewatan!" Sejak tadi memperhatikan pertengkaran yang terjadi, Lia andil cepat memisahkan mereka lebih jauh. Namun, belum dekat jaraknya, Nathan kembali pergi dari sana.

Kali ini, baik Lio ataupun Lia memilih untuk tak berbicara lagi. Mereka hanya melihat punggung Nathan perlahan semakin mengecil dan menghilang di parkiran sekolah.

~~~

Nathan memarkirkan sepeda motornya bersama dengan kendaraan sejenis dengan rapi. Melepaskan helmnya dan membiarkannya di ujung spion. Tidak lama Nino mendekatinya setelah ikut melakukan hal yang sama.

"Ini tempatnya?" tanya remaja itu.

"Ya. Dulu sebelum SMA ayah sering bawa aku ke sini. Makanannya enak-enak," jawab Nathan. Lanjut dia mengajak temannya itu masuk ke dalam. Sebuah warung makan sederhana yang menyajikan makanan-makanan yang sering di temukan di pinggir jalan.

Nino menyerahkan pesanannya ke Nathan, sehingga makanan yang akan keluar sama. Dua piring nasi goreng yang memiliki kata 'spesial' di bagian belakangnya.

"Tempatnya ramai," ucap Nino setelah melihat-lihat sekitar. Seperti katanya, ada banyak meja berbahan kayu yang diisi penuh orang-orang. Dari pakainnya, beberapa dari mereka adalah pekerja kantoran yang singgah untuk makan, sisanya adalah anak sekolah seperti Nino dan Nathan.

"Iya, makanan di sini enak. Pertama kemari pas aku baru masuk SMP, dibawa sama ayah dan dipesenin nasi goreng spesial. Sejak hari itu, aku selalu pesan nasi goreng, nggak pernah nyoba yang lain."

"Sekarang ayahmu di mana?" Lanjutan pertanyaan Nino membuat Nathan tertegun sejenak. Namun, dia tetap menjawab dengan suara yang tenang.

"Dia sudah meninggal. Pas aku kelas delapan."

Nino tersentak, sampai membuatnya batal untuk mengambil air minum di dekatnya. "Uh ... Nathan. Sorry, aku nggak tau."

"Nggak papa, kok," balasnya, meski senyuman yang dia berikan tak cukup membuat rasa bersalah Nino hilang begitu saja. "Dia ..., kecelakaan. Kata polisi, ban mobilnya tiba-tiba pecah. Malam itu juga lagi habis hujan, jadi jalanan licin," Nathan melanjutkan.

Nino menundukkan wajahnya, ingin rasanya dia mengembalikan waktu dan membatalkan pertanyaannya itu.

"Pas ayah meninggal aku nggak pernah kemari. Karena aku nggak bisa pakai motor, tapi sejak bulan lalu aku sama ibu udah mulai sering lagi kesini."

Nino meraih pundak sahabatnya itu, masih berusaha meminta maaf dan membuatnya tidak ingin menceritakan lebih kejadian itu. Tidak lama berselang pesanannya datang dengan cepat. Nino mengambil suapan pertamanya dengan meniup pelna bulir-bulir nasi itu, dan mengangguk pelan beberapa kali begitu bisa merasakannya.

"Mmmmm, enak. Enak banget," pujinya, lalu lanjut mengambil sendok berikutnya dengan lebih lahap.

"Sudah kubilang."

"Ini jadi favoritku sekarang. Thanks, Nathan."

~~~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro