Dia Sendirian
Asap tebal menemani hiruk pikuk jalan raya yang sudah ramai di waktu pagi, beruntung bagi Nathan menggunakan masker untuk melindungi wajah dan paru-parunya. Tambahan helm bewarna hitam dan jaket senada dia kenakan sebagai pelapis tambahan.
Tangannya tidak buru-buru memutar gas sepeda motornya. Masih ada banyak waktu baginya sebelum bel jam pertama dibunyikan. Ini adalah hari kembali belajar setelah sekitar seminggu lamanya sekolah diliburkan untuk kasus pembunuhan yang menggemparkan semua orang. Seorang remaja bunuh diri di kamar mandi menggunakan gunting.
Nathan ada di sana saat dia ditemukan. Senin pagi sebelum upacara dimulai, Nathan yang selalu datang lebih dulu untuk persiapan tugasnya sebagai anggota paskibraka melihat ada banyak pria berseragam coklat mengerumuni ujung koridor.
Dia tidak mengerti apapun di langkah pertamanya mendekati mereka, tetapi ketakutannya terjawab saat melihat ada dua murid lain yang juga datang lebih cepat. Bersama satu guru, Nathan mendapatkan jawabannya. Sahabat baiknya, Nino ada di dalam sana.
Berseragam sekolah putih abu-abu, tetapi memiliki hampir seluruh noda merah menutupinya. Air dari bak yang terus tumpah membuat dia basah, seluruh kulitnya sudah hampir kehilangan warna. Hanya dingin yang terus menemaninya selama berjam-jam.
Nathan tak mengingat setelahnya, yang dia tahu setelah tubuh Nino dikeluarkan dari sana, pandangannya menjadi kabur dan berakhir menghitam. Hingga setelahnya Nathan menyadari dirinya terbaring di UKS.
"Hei?"
Nathan tersadar dari lamunannya, suara gadis memanggilnya sebelum bisa melangkah melewati pintu kelas.
"Hei, Lia." Gadis itu berdiri, seperti biasa selalu datang terlebih dahulu dari Nathan walaupun Lia tidak punya urusan selain menjadi siswi yang belajar di SMA Kartanegara.
"Gimana kabarmu?" lanjut Lia bertanya. Nathan langsung memalingkan wajahnya seketika, dan melanjutkan dengan helaan napas panjang. Sedetik berikutnya gadis itu sudah memahami.
Lia juga ada di sana, melihat bagaimana keadaan mencekam tersebut memperlihatkan sisi terdalam dari remaja tangguh yang tengah berdiri di hadapannya. Melihatnya menangis dalam teriakan yang akan menyayat setiap telinga yang mendengarkan. Namun, pikirnya seminggu berlalu masih belum cukup membuatnya tenang.
"Nathan?" ulangnya sekali lagi.
"A–Aku baik. Maksudnya ...." Sekali lagi Nathan menghela napas untuk menghentikan bicaranya. Dia tak melanjutkan dan memilih untuk mengambil tempat duduknya segera. Di bagian paling belakang, langsung menyandarkan kepalanya ke atas meja.
Tak ada yang bisa Nathan bohongi, satu minggu tidak cukup membuat memorinya melupakan kejadian itu. Dia bukan korbannya, tetapi dirinya merasakan rasa sakit itu. Mengiris bagian terlembut yang ada di dalam tubuhnya.
Untuk beberapa saat Nathan menolehkan kepalanya ke samping, tempat duduk yang sekarang dan selamanya akan kosong. Kemudian kembali mengembalikan posisinya, mengingat kembali saat-saat kebersamaan sahabatnya.
Semuanya masih tervisualkan dengan jelas. Dani Noputra, dengan entah mengapa panggilannya diambil dari suku kata ke dua dan ke tiga. Remaja itu memperkenalkan dirinya di hadapan seluruh kelas sebagai murid yang baik dan ramah. Bakat tersembunyinya muncul untuk minggu-minggu pertama pembelajaran, menjadi satu-satunya yang sangat hebat di pelajaran kimia meski memilih duduk di belakang bersama remaja yang malah membenci pelajaran tentang unsur-unsur alam tersebut.
Namun, sejak hari pertama Nathan bisa mengetahui Nino akan menjadi sahabat terbaiknya. Memilih untuk duduk bersama hingga lulus adalah satu momen berharga baginya. Dua orang yang akrab, dan semua di kelas itu bisa melihatnya.
Sayangnya, anak baik itu mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan. Orang-orang mulai mengejeknya karena bakat yang dia miliki, berpikir kalau Nino tak memberikan kesempatan ke orang lain untuk ikut unjuk gigi di hadapan guru-guru. Dia semakin dibenci saat lukisannya dipilih sebagai yang terbaik di antara seluruh tugas akhir pelajaran seni.
Begitu tahu Nino tidak selamanya hebat, hal tersebut tak mengurangi kelakuan buruk beberapa mereka. Karena ketidakmampuannya dalam olahraga hanya membuat dia jadi bulan-bulanan saat pelajaran tersebut di mulai. Hingga pada akhirnya, Nino hanya dikenal sebagai sasaran yang sangat halus dengan dalih kata bercanda. Kematiannya akan jadi penyadar, kalau itu semua sudah kelewatan.
Nathan meleburkan fokusnya saat suara bel masuk terdengar. Tidak sadar seluruh ruangan sudah penuh dengan teman-teman sekelasnya. Bersiap untuk pelajaran yang sejak tadi ada dalam bayangannya.
"Nathan." Suara sekali lagi memanggilnya, tetapi kali ini bukan Lia. Tepat di sebelahnya, di kursi kosong itu, diduduki oleh remaja yang memberikan sebuah senyuman. "Ini ulangan harian loh, dah belajar, kan?"
"Nino?" balasnya kaget tak percaya.
"Kalau misalnya kamu kesulitan, kamu bisa lihat punyaku, kok. Tapi cukup satu nomor aja, yah." Suaranya terdengar sangat jelas di telinga Nathan, bahkan wajah paling ramah yang pernah dia lihat tersebut benar-benar nyata. "Gimana, Nathan?"
"Nino?"
"Nathan?"
Dadanya bertedak cepat, dia tidak tahu apakah itu perasaan senang. Namun, ritme konstan itu berhasil ikut menaikkan raut wajahnya.
"Nathan?"
"Nino, kamu di sini."
"Paramanata Syaikh?!" Hingga Nino menghilang begitu saja. Sesaat setelah kedipannya, dia menoleh ke depan dan menemukan semua orang, termasuk guru yang sejak tadi memanggil namanya menatap dalam gelisah. "Nathan?"
"H–Hadir, Bu."
"Ada masalah, Nak? Kamu baik-baik aja?" lanjut guru itu.
"N–Nggak ada, Bu. Maaf saya melamun di kelas," jawab Nathan sebisanya. Satu-persatu murid kembali ke posisi awal dan guru itu melanjutkan presensinya.
Sisanya kembali melebur di kepala Nathan. Fokusnya lagi-lagi hanya ada di sampingnya. Menatap tempat duduk itu lekat-lekat. Berusaha untuk membuat kepalanya yakin kalau senyata apapun keberadaan yang dia rasakan, sahabatnya sudah tidak akan pernah kembali.
~~~
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Udah balik? Biasanya ada latihan paskib." Wanita yang adalah ibunya Nathan menyambut dia. Tak mengetahui kondisi anaknya sampai dia berbalik dan melihat keadaan yang lemas. Sejak awal suaranya memang terdengar lemah.
"Nggak, Ma. Nathan nggak ikut latihan." Tasnya dia lepaskan dari punggung, dan menyeretnya di lantai dengan pandangan menunduk. Ingin ibunya menyapa lagi, tetapi kebingungan dengan kata-kata yang harus dikeluarkan. Dia tahu bagaimana kondisi anaknya, kematian sahabatnya sangat mengambil banyak hal.
"Nathan langsung tidur, yah."
"Eh, nggak makan dulu? Mama bisa panasin sisa tadi siang—"
"Nggak papa, Ma. Nanti habis Maghrib baru Nathan makan."
Nathan melanjutkan langkahnya langsung menuju kamar. Namun, saat pintu sudah dibuka dia berhenti di sana. "Ma?"
"Ya, Nak?"
"Kenapa orang baik selalu mati duluan?"
Ibunya tersentak seketika mendengar hal itu, lidahnya sekali lagi kelu tak tahu harus mengatakan apa.
"Nino mati duluan, ayah juga mati duluan. Kenapa orang baik selalu mati duluan?" Mulai terdengar getaran di suara Nathan.
"M–Mama nggak tau, tapi—." Belum selesai bicara, Nathan membanting pintunya keras. Dia langsung menjatuhkan tubuhnya dan bersandar lemah di balik pintu. Menelengkupkan kepalanya di tengah pelukan dirinya sendiri. Seolah tak bisa lagi dia bendung rasa sakit dalam dirinya. Nathan tak menahan apapun untuk membuat air matanya jatuh.
"Kenapa dia harus mati?"
Suaranya yang hampir tak terdengar itu bersamaan dengan bahunya yang bergetar lemah. Seharian sekolah sama sekali tidak membantunya untuk membiarkan Nino pergi. Fokusnya selalu pecah setiap kali dia menoleh, dan tak ada satupun dari pelajaran hari ini yang bisa dia ingat.
"Hei, kenapa kamu nangis?" Lagi-lagi suara tak asing memanggilnya. Dia mengangkat kepala, tetapi tak melihat siapapun di hadapan atau sekitarnya. Namun, suara itu masih menggema di telinganya. "Laki-laki nggak boleh nangis."
Namun, di saat itu Nathan mengingat satu kejadian yang terjadi di sekolah. Saat jam istirahat sudah di mulai, pergi ke lantai dua dan menemukan Nino duduk termanggu di sebuah kursi tunggu sendirian.
"Hei, kenapa kamu nangis?" tanya langsung Nathan.
Sadar dia di datangi, Nino buru-buru menyeka pipinya. Meski begitu Nathan sudah terlanjur mengetahuinya, tetapi sebisa mungkin dia membuat suasana yang tak membuat Nino semakin berlarut.
"Laki-laki nggak boleh nangis," lanjutnya.
"Ya. Emang, kecuali kalau kamu laki-laki yang lemah kayak aku, itu diijinkan," balas Nino cepat, masih terdengar sesenggukan mengantarai beberapa katanya.
Nathan menghela napas, menatap ke bawah dan melihat satu kaki Nino yang melepaskan sepatunya mengalami pendarahan di bagian ibu jari. "Kamu diganggu lagi?"
Nino memilih tak menjawab. Dia hanya masih berusaha untuk menghentikan tangisannya dan menyembunyikan wajahnya dari Nathan.
"Hei, kita laporin ke guru, sekarang."
"Nggak akan digubris. Malah bakalan dikira aku jatuh sendiri pas jam olahraga tadi," balasnya lagi dengan nada cukup kesal itu. Nathan hanya menggaruk tengkuknya, kebingungan dengan apa yang harus dilakukan sekarang. Meski sulit diterima, ucapan Nino adalah realita yang terjadi jika memang mereka melaporkan hal tersebut.
Nathan akhirnya memilih untuk mengambil tempat di samping Nino, dan menaruh tangannya di pundak sahabatnya itu. "Kamu nggak lemah, kamu kuat, Nino."
Nathan menghentikan lamunannya, dia menaikkan kembali ke dunia yang sebenarnya, tempat di mana Nino sudah tidak ada. Dia menyeka sisa dari air matanya yang masih menetes, dan mencoba menetralkan napasnya.
"Ya. Kamu nggak lemah, Nino. Mereka yang lemah. Mengira kalau dengan menyakiti seseorang berarti kekuatan sudah mereka miliki. Merekalah yang harusnya disalahkan, mereka alasan kamu mati. Kamu nggak bunuh diri, kamu dibunuh, Nino."
~~~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro