Bantu Dia
Nathan mampir sebentar di warung makan favoritnya, masih memesan makanan yang sama untuk dia bawa pulang. Ibunya mengabari kalau dia lagi-lagi akan lembur, memang sudah biasa terjadi, dan Nathan tak pernah mempermasalahkan.
Setelah jadi Nathan membayar, dan bergegas pergi. Namun, baru saja akan mengenakan helm-nya, dia melihat seseorang yang tidak jauh tengah duduk santai sembari menikmati minuman dingin sendirian. Tanpa pikir panjang Nathan mendekat, dan langsung menyapanya.
"Hei ..., baru aja aku mau ke rumahmu."
Dia berbalik, wajahnya begitu datar, seperti tanda kelelahan. Tak ada balasan, tetapi Nathan tetap ikut duduk di hadapannya dan ikut memesan satu minuman dingin. "Gimana kabar kamu?"
"Kamu sendiri?" tanya balik dia langsung.
"Baik," balas Nathan. "Tadi Lia bicara sama aku di sekolah, dia bilang kamu ada masalah soal lomba melukis dan semacamnya. Ehhmmm, katanya kamu tertekan?"
Laki-laki yang sebenarnya Lio itu tertawa singkat, kemudian mengambil sedikit minumannya sebelum kemudian melanjutkan. "Yah ... aku cuman capek."
Minuman Nathan tak lama datang, langsung saja dia ambil setengah karena pikirnya dia tak akan berlama-lama. Tujuannya tadi hanya ingin mampir dulu menemui Lio sesuai permintaan Lia, dan secara kebetulan menemukan Lio di sini. Menurutnya sendiri Lio memang dalam keadaan yang tidak bagus sekarang, wajahnya begitu murung tak seperti biasanya. Penjelasan Lia mungkin hanya sebatas adiknya sedang tak bersemangat sampai-sampai tak mengisi presensinya.
"Gimana kabar kamu sama murid baru itu?" tanya kembali Lio. Nathan hampir saja tersedak minumannya sendiri karena itu. Kembali dia harus teringat dengan Nino yang baru, bagaimana akhir dari percakapan mereka hingga membuatnya sampai menjaga jarak karena sikap yang dirasa aneh. Nathan sendiri akhirnya sadar dengan kelakuannya, tetapi lagi-lagi masih sulit menerima kenyataan.
"Mungkin kita berdua punya masalah masing-masing yang berat." Keduanya sama-sama mencoba tersenyum.
"Ngomong-ngomong soal Nino, kamu ingat soal kejadian di ruang seni?" Kembali Lio melanjutkan. Nathan terdiam untuk beberasa saat. Mengingat kembali kejadian itu, meski tak ada di sana, melainkan hanya mendengar cerita dari teman-temannya.
"Ya ..., pas kita masih kelas satu," jawab Nathan dengan suara lemah. "Mereka semua udah dihukum, dikeluarin dari sekolah."
"Menurutmu itu cukup nggak? Itu cukup buat mereka semua?"
Nathan kembali diam, memang hal tersebut tidaklah pernah cukup untuk mereka. Pikirnya mereka juga harus diperlakukan sama, dan barulah dikeluarkan dari sekolah. Namun, jawaban Nathan selanjutnya sama sekali tak sesuai di pikirannya.
"Nggak tau. Menurut kamu?"
"Nggak cukup. Lio sampai berhenti melukis karena itu," lanjut Lio. Dia kembali mengambil minumannya, dan kali ini dia habiskan. "Dan karena itu juga Pak Nurdin akhirnya tunjuk aku buat wakilin sekolah."
Lio akhirnya beranjak pergi, lebih dulu meninggalkan Nathan. Sementara dia masih tetap tinggal di tempatnya, terus-terusan membayangkan sahabat lamanya, entah bagaimana rasa sakit dan penderitaan yang selama ini Nino dapatkan, sebelum akhirnya memutuskan untuk mengambil nyawanya sendiri.
~~~
Lia memutuskan untuk segera pulang ke rumahnya sekarang, meski sebenarnya dia telah membuat janji dengan teman-temannya untuk berkumpul sebentar di warung kopi dekat sekolah. Lia bisa saja mengiyakan mengingat ayahnya lagi-lagi harus keluar kota untuk urusan pekerjaan. Namun, dia mengkhawatirkan adiknya. Saat di sekolah juga dia telah meminta tolong pada Nathan untuk berbicara pada Lio, tetapi tidak ada tanda-tanda kalau dia telah tiba lebih dulu di rumahnya.
Lia naik ke atas, mengecek adiknya. Kembali mengetuk pintu perlahan, dan memanggilnya.
"Lio? Kamu di dalam?"
Tak ada respon yang Lia dapatkan, membuatnya sekali lagi mencoba untuk mengetuk pintu lebih keras. Lagi-lagi tidak ada jawaban dari dalam kamar.
"Lio?!" ulang lagi Lia. Terpaksa akhirnya dia membuka pintunya, dan memang tidak dikunci sama sekali.
Namun, begitu masuk Lia seketika berhenti di tempatnya. Lio ada di sana, tetapi berdiri di hadapan sebuah kanvas kosong yang dia coret-coret secara kasar. Tak ada bentuk jelas atau apapun yang bisa Lia deskripsikan dari cat kuning yang Lio buat, tetapi caranya menggerakkan tangan dan bagaimana cat-cat itu dia taruh ke atas kanvasnya seperti emosi yang meluap-luap membuatnya menjadi semakin khawatir. Beberapa bahkan sudah mengotori lantai dan tubuhnya sendiri.
Sampai kemudian kanvasnya miring dan terjatuh ke lantai, tetapi Lio terus menggerakkan tangan seolah masih melukis. Hal tersebut makin membuat Lia malah ketakutan dan segera mendekati Lio untuk menghentikannya.
"Lio! Lio! Stop! Kamu kenapa?"
Lia langsung meraih tangannya, tetapi Lio sama sekali berhenti atau bahkan melambat. Lia mencoba menatapnya, dan tatapan Lio benar-benar kosong ke depan, seolah dia bukan Lio, melainkan orang lain.
"Lio! Udah, Lio! Berhenti." Sampai tak tahan, Lia merebut palet lukis Lio lalu membuangnya, dan kuas itu juga dia rebut dan tanpa pikir panjang dia patahkan.
Hal tersebut berhasil, Lio terhenti. Sebelum akhirnya menoleh ke arah Lia dan menatapnya marah.
"Lio?"
Seketika tangan itu berpindah dengan cepat, mencengkram leher Lia dan mendorongnya hingga ke dinding kamar. Tubuh Lia tersentak hebat sampai air liurnya keluar.
"Hkkkk! Li ... o!" Cengkramannya makin kuat, sampai kaki Lia tak lagi menyentuh lantai, membuat seluruh tubuhnya meronta, dan berusaha melawan balik dengan kedua tangannya, tetapi usaha Lia sia-sia.
Sampai Lia dilepaskan sendiri, dan udara benar-benar tercekat di dadanya. Suara napasnya terdengar begitu kuat ke seisi ruangan, dan sebelum tubuhnuya benar-benar pulih sempurna dia kembali menatap Lio, tatapannya masih dalam penuh kemarahan.
"Lio?! Kamu kenapa!"
"Keluar dari kamar ini, sekarang!" teriak Lio membalas, dan sekali lagi membuat Lia benar-benar terkejut, suaranya begitu berat dan serak, sama sekali bukan suara yang Lia kenali dari adiknya.
Belum selesai Lia memulihkan sempurna dirinya Lia kembali diangkat dan didorong paksa keluar kamar. Lio membanting pintunya kuat-kuat.
Lia hampir tak mampu bergerak di tempatnya, karena rasa sakit itu atau ketidakpercayaan akan apa yang baru saja dia lihat. Entah apa yang sebenarnya terjadi pada Lio, Lia sama sekali tidak memiliki jawaban apapun. Itu adalah kali pertama bagi Lia mendapatkan perlakuan yang sekasar dan seaneh itu.
Perlahan-lahan Lia mencoba berdiri, masih belum memalingkan wajahnya dari pintu kamar Lio yang sudah terkunci.
"Lio ...," gumamnya.
~~~
Sudah hampir lewat tengah malam, dan remaja laki-laki itu sama sekali masih tak bisa tertidur. Dia hanya duduk di atas kasurnya, dan terus-terusan menatap kosong ke arah depan.
Pikirannya dipenuhi akan ingatan soal sesuatu, kejadian yang pernah terjadi di masa lalu. Sebenarnya telah terjadi sangat lama, tetapi terhitung sejak kemarin hal itu mulai menghantuinya. Sepanjang sisa harinya benar-benar berakhir sangat buruk, dan akhirnya merasa kalau apa yang diberikan padanya adalah sebuah balasan.
"Aku juga ada di sana ...," gumamnya.
Sesaat setelahnya, tanpa sengaja tangannya menyentuh sesuatu di kasurnya. Sempat dia terkejut karena hal itu, karena dia mengingat betul benda itu tak pernah ada di sana sebelumnya. Tangannya bergerak untuk mengambil, dan memperhatikannya lekat.
"Gunting?"
~~~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro