Anak yang Berbakat
Sore hari, pelajaran terakhir. Lio menjadi satu-satunya murid yang tidak berada di kelasnya, tetapi bukan berarti dia membolos. Guru memberinya kebijakan untuk meninggalkan jam terakhirnya, agar laki-laki itu bisa fokus dengan tujuannya yang lain.
Sayangnya, bukan tujuan yang mampu membahagiakan atau membuatnya tenang. Dia duduk dengan pangkal kuas lukis yang terus-terusan mengetuk dahinya, memikirkan bagaimana tangannya harus bergerak dan membuat gambar di atas kanvas.
Remaja yang terlihat biasa-biasa saja itu ditunjuk oleh sekolah untuk berpartisipasi dalam lomba melukis yang akan diadakan sebulan lagi. Beberapa hari yang lalu dia fokus mencari puluhan ide di intenet, bersama kakaknya ke sebuah warung kopi dengan dalih mengerjakan tugas-tugas sekolah, meski nyatanya dia hanya berkutat dengan kertas yang terus dicoret-coreti pensil untuk membuat pola dasar.
Lalu sebelum dia berada di ruang seni sekarang, Lio bertemu dengan guru seninya, berkonsultasi akan semua ide-ide itu. Sayangnya tidak ada satupun yang diterima. Nino berharap agar gurunya mampu memberikan saran, nyatanya dia hanya dimarahi karena waktu yang sudah semakin dekat dan Lio belum melukis apapun.
Kenyataannya Lio bisa saja mengambil ijin untuk pulang sekarang, mencari ide baru yang lebih banyak lagi. Namun, bukan hanya masalah itu yang menekannya sekarang. Kejadian dua hari yang lalu seakan ikut mengambil semangatnya. Berbicara dengan ayahnya soal lomba itu, dan berakhir tidak menyenangkan. Meski kenyataannya Lio hanya bertanya soal tanggapan ayahnya jika dia mengikuti lomba, dia malah langsung dimarahi dan menyuruhnya untuk fokus dengan bisnis keluarga. Mungkin jika ayahnya tahu sudah didaftarkan dan harus segera mengirimkan lukisannya, pikir Lio hasilnya akan jauh lebih buruk.
Di saat-saat terakhir dia langsung menutup buku sketsanya, dan memutuskan untuk segera pulang saja. Mengemasi semua barang-barangnya dan segera keluar ruang seni.
"Woah!" Namun, baru sampai di ujung pintu tiba-tiba saja dia berteriak karena hampir terjatuh. Beruntung refleksnya dengan cepat menggerakkan tangannya untuk segera bertumpu pada dinding.
Lio memperbaiki posisi tubuhnya, memperhatikan seksama apa yang semakin menambah emosinya itu. Sebuah genangan yang entah datang dari mana, tetapi kelamaan malah membuatnya mematung. Dia tersadar, air itu berasal dari ember yang biasa digunakan untuk membersihkan kuas yang telah digunakan melukis. Warna kuning pucat, sudah mulai bercampur coklat akibat sol sepatu Lio yang berdebu.
Namun, bukan itu yang membuatnya terdiam. Tetiba saja dia teringat akan satu kejadian yang pernah terjadi di ruang seni. Suara tawa mengisi kepalanya, tawa yang mengolok-olok dan mencela. Dengan cepat Lio menggerakkan kepalanya untuk mengembalikan fokus. Tak ingin lagi berlama-lama di sana dia segera pergi meninggalkan sekolah.
Kenyataannya, Lio masih belum mampu berpikir jernih saat di rumahnya. Meski sudah membuat dua desain baru, tetapi yakin kalau yang kali ini akan masih ditolak. Setengah desain sudah ada di lembaran berikutnya, tetapi pensinya hanya mengetuk-ngetuk di atas kertas. Hingga tak lama dia langsung merobeknya dengan kesal dan membuangnya ke tempat sampah yang sudah penuh akan gumpalan-gumpalan kertas lainnya.
Lio mulai dengan yang baru, tetapi desain kasar pun kini sulit dia buat. Terlalu banyak yang memecah fokusnya sekarang, hanya saja waktu juga terus mengejarnya. Kepalanya mulai panas, tangannya kaku dengan dada seakan berdetak tak normal.
Bukan waktu yang tepat baginya untuk mendapat gangguan sekecil apapun, tetapi gadis yang merupakan kakak kembar Lio tetiba saja sudah ada di ujung pintu kamar yang terbuka. Lio akhirnya tersadar sudah berjam-jam lamanya dia duduk dan tak menghasilkan apapun yang berarti.
"Hei, gimana lukisanmu?" tanya Lia saat mendekat. Lio tak membalas apapun selain helaan napas tanda tak ingin diajak bicara. Meski begitu Lia tetap melihat-lihat kinerja adiknya. "Semangat, yah."
"Kamu nggak ada urusan lain? Mungkin kayak bantu pacar kamu itu buat move on dari sahabatnya?" balas Lio ketus dengan wajah kelelahannya, kemudian dia berbalik kembali ke kertasnya dengan sikap tubuh mulai tak sabaran. Kaki yang terus menapak lantai dan genggaman tangan semakin kuat di pensilnya.
"Nathan bukan pacar aku dan kamu nggak seharusnya ngomong kayak gitu. Siapa yang nggak sedih kalau tau teman kamu ada yang bunuh diri."
"Tuh, kan! Kamu lebih khawatir sama dia daripada adikmu di sini! Tiap sore aku lihat kamu cari dia di lantai dua, ngomongin soal dia di depan aku. Tapi kamu baru tanyain soal lukisan aku pas seminggu!"
"Aku kesini buat bantu kamu, Lio! Kenapa kamu sampai marah begini!"
"Ya kalau gitu pergi! Keluar dari kamar aku!" Untuk pertama kalinya Lia bisa melihat lelaki di hadapannya semurka itu. Sampai berdiri dari tempatnya dan menunjuk pintu keluar dengan suara teriakan.
Lio kembali ke duduknya, kedua tangan menumpu kepala dengan kuat. Saat itu mungkin dia juga menyesal dengan yang baru saja dia lakukan, suaranya jadi melemah setelah itu. "Aku cuman nggak mau diganggu sekarang."
Lia hampir tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya diinginkan adiknya. Namun, lebih baik dia diam dan mengikuti keinginannya. Dia pergi dari kamar Lio, tetapi berhenti sejenak di ambang pintu.
"Kamu pasti menang. Cuman kamu yang ditunjuk buat ikut lomba ini, artinya nggak ada orang lain yang punya bakat kayak kamu di sekolah," ucapnya sebelum kemudian menutup pintu. Namun, hal tersebut benar-benar menghentikan Lio untuk menggerakkan tangannya.
Fokusnya seketika berubah, kalimat Lia tertahan di kepalanya. Dia bukan ingin menerima fakta kalau hanya dia adalah satu-satunya calon tunggal yang bisa ditunjuk sekolah, Lio tahu sendiri ada satu orang lain. Dia teringat dengan Nino.
"Mungkin kalau kamu nggak mati ...."
Lio hampir tak mampu meleburkan pemikirannya sekarang, dari kalimat itu kini kepalanya malah diisi dengan Nino. Dia teringat dengan anak itu, Lio mungkin tidak seperti Nathan yang paling dekat dengannya, tetapi dia mengenalnya dari klub seni.
Sangat lama bergabung Lio tak akan menyangkal bagaimana bagusnya lukisan yang dibuat Nino. Hanya sebuah pemandangan, tetapi bahkan bagi orang awam akan dengan mudah menemukan cerita yang disisipkan. Setiap warna memanjakan mata, goresan-goresan yang seakan berbicara sendiri kepada yang melihatnya.
Sayangnya Nino memutuskan untuk berhenti melukis. Lio masih mengingat apa alasannya, seorang murid yang entah hanya iseng atau sangat cemburu dengannya tiba-tiba saja menyirami air yang telah dicampur cat lukis ke arah Nino, dan di saat bersamaan merusak lukisan terakhirnya. Meski semua pelakunya telah dikeluarkan dari sekolah, tetapi Nino sudah tak pernah lagi terlihat mengangkat kuasnya, atau bahkan melangkahkan kakinya mendekati ruang seni.
Setelah itu nama Lio menjadi naik, meski tahu dirinya tak sebagus Nino, tetapi guru seni memuji karyanya. Hingga akhirnya dia bisa mencatatkan dirinya sebagai perwakilan sekolah, dan seminggu kemudian kasus bunuh diri Nino terjadi begitu saja.
"Kalau kamu yang ikut mungkin nggak bakalan se-depresi kayak aku sekarang."
~~~
Nathan duduk di tempatnya dengan gelisah, berkali-kali dia menggaruk-garuk kepalanya, mata bolak-balik melihat buku tulis, buku pelajaran, dan ponselnya yang tengah mengakses laman internet. Dia baru sadar memiliki tugas dan sama sekali belum mengerjakan apapun.
Pada akhirnya dia hanya menutup buku, dan menunggu satu-satu harapan yang tersisa. Masih tersisa 30 menit lagi sebelum jam masuk, pikirnya dengan estimasi kedatangan sahabatnya yang sangat pintar maka dia bisa menyelesaikannya lima menit sebelum guru bahkan masuk ke kelasnya.
Sesuai harapannya, remaja yang dia maksud muncul di ambang pintu kelas. Masuk dalam langkah yang cepat untuk segera duduk di tempatnya, di samping Nathan.
Dengan gembira Nathan menyambutnya. "Nino! Untung kamu cepat datang. Aku lagi kesusahan sekarang dan--"
Belum selesai bahkan Nathan bicara, Nino segera membuka tas dan mengeluarkan bukunya, tetapi tangannya dalam tenaga yang kuat hingga seperti membanting buku itu ke atas meja. Bukan hal yang biasa Nino lakukan.
Nathan menyadari hal tak biasa itu, dia memperhatikan lebih Nino, melihat remaja itu tetiba menelungkupkan wajahnya ke atas meja, seakan menghindari kontak dari siapapun sekarang.
"Hei? Kamu oke?"
"Aku nggak mau diganggu sekarang," jawab Nino langsung.
Kini Nathan malah mengurungkan niatnya untuk membuka buku Nino dan segera menyalin jawaban tugas. Entah apa yang terjadi, tetapi Nathan sangat yakin sesuatu terjadi pada remaja tersebut.
Tanpa alasan yang jelas, Nathan berdiri dan meninggalkan kelas sebentar, menuju ke kamar mandi hanya untuk mencuci wajahnya. Sembari memikirkan apa yang sebenarnya terjadi dengan Nino, pikirnya sedang terjadi masalah keluarga atau sedang menerima berita tak menyenangkan.
Begitu Nathan keluar dari kamar mandi, secara kebetulan dia bertemu dengan Lio dan teman sekelasnya. Sedang mengobrol sesuatu yang dengan cepat menarik perhatiannya.
"Ya, orangtuanya dah dikirimin surat pengeluaran. Mereka bakalan dikeluarin dari sekolah."
"Lagian iseng kok kayak gitu, untung nggak kena mata. Kasihan Nino, kan."
"Ha? Nino kenapa?"
Lio dan temannya berbalik, tersadar menemukan Nathan sudah mendengar percakapan mereka. Namun, mereka tak ingin menyimpan informasi sendirian, memilih untuk memberitahukannya.
"Jum'at kemarin. Nino disiram air cat. Sekarang pelakunya dah mau dikeluarin dari sekolah."
"Nino disiram cat? Kenapa bisa?"
"Nggak tau, mereka entah iseng atau bego aja. Sumpah gue juga kesel sama mereka."
Akhirnya Nathan bisa mengetahui jawaban dari sikap Nino pagi ini. Tak habis pikir Nathan mengapa ada yang melakukan hal tersebut pada Nino. Emosi tubuhnya jadi meluap-luap dan jika bisa ingin segera membalas perbuatan orang-orang itu dengan segera.
~~~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro