Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 7

Canggung.

Bukan karena Dea jadi pusat perhatian setelah terlambat masuk kantor untuk pertama kalinya, melainkan karena bingung harus bersikap apa di hadapan Radit. Tatapan macan kantor yang kesal menunggu kehadiran Dea sebagai babunya, jadi tidak semenyeramkan ketika Dea melewati meja orang yang pagi tadi mengungkapkan cinta. Dea takut menatap mata Radit. Seharian dia kerja sembari melamun.

Dea tak ingin menyakiti hati Radit. Kalau boleh jujur, tak ada sedikitpun perasaan untuknya. Dea terlanjur memandang orang-orang di kantor ini sebagai orang yang buruk, bermuka dua. Bahkan Dea berfirasat kalau sikap baik Radit selama ini hanya untuk memancingnya saja. Mungkin saja kan Radit ingin mengambil keuntungan dari Dea?

"Lo bisa becus dikit gak, sih?" Arumi mendorong tubuh Dea ke tembok. Dea hanya menunduk. Jangankan mendengar omelan itu. Pikirannya sibuk berkelana pada hal lain.

"Maaf." Pelan dan lesu. Dea tak peduli ketika Arumi menjitak kepalanya sebelum pergi. Mungkin karena terbiasa.

Dea merasakan langkah Radit yang tertahan. Biasanya dia lah yang membantu Dea agar terlepas dari rundungan. Namun kali ini, Radit menahan diri karena tahu semuanya telah menjadi canggung.

"Lu apain tuh si Dea?" tanya teman sebelah Radit.

"Kenapa?" Radit mengangkat sebelah alisnya kebingungan.

"Halah. Lu gak biasanya diem kayak gini, bre. Lu lagi berantem sama Dea? Atau ... lu udah nyerah sama dia?"

Radit kembali memasang matanya, mengamati gerak-gerik Dea dari balik jendela besar yang memisahkan pantry dengan kantor. "Enggak."

"Lu habis anu ya sama dia? Lihat muka Dea kecut gitu, sekaligus lo yang mulai menjauh, pasti ada sesuatu nih. Ngaku lah, Bre. Gue juga pernah kok ngeghosting cewek."

Pria itu terdengar menjengkelkan di telinga Radit. Dia melempar tatapan tajam dengan wajah tak suka. "Berisik, Gun! Gausah kepo lo jadi orang."

Wajah Gun alias Gunawan langsung berubah tegang. Dia memalingkan wajahnya ke komputer, memilih berhenti berurusan dengan Radit. "Harimau kantor sedang tidak bersahabat," gumamnya.

Radit kembali memandang ke arah pantry. Namun tak ada siapapun di sana. Dia lalu melihat jam di dinding, dan berpikir mungkin Dea sudah pulang.

"Bre, gue duluan." Gun menepuk pundak Radit sambil berdiri, kemudian menggendong tasnya. Radit menjawab dengan lambaian tangan, kemudian Gun pun masuk ke dalam lift.

Radit menyimpan file yang baru dia ketik kemudian mematikan komputer. Pria itu meregangkan tangan, lalu bersandar di kursi. Memejamkan mata, membiarkan tubuhnya rileks untuk sesaat.

Hitam adalah warna yang Radit lihat. Dia pernah dengar telinga seseorang lebih peka ketika matanya terpejam, namun apa yang dia dengar saat ini benar-benar membingungkan. Seketika Radit pun terperanjat takut. Terasa hembusan angin yang sangat cepat melewati ceruk lehernya.

"Gudang?" Radit menerka apa yang dia dengar. Persis seperti saat di gudang waktu itu.

Radit melihat ke kiri ke kanan. Dia mengangkat tas selempangnya kemudian memasukan barang di atas meja ke dalam. Dia bangun untuk segera beranjak pulang. Namun lagi-lagi terdengar suara benda jatuh dari arah pintu darurat.

"Dea?" pikir Radit. Dia curiga Dea jatuh lagi dari tangga seperti kemarin. Kakinya pun melangkah cepat dengan wajah cemas. Kali ini dia ingin mengungkap siapa yang berusaha mencelakai Dea.

Radit sampai di depan pintu yang menghubungkan ke arah tangga darurat. Dia memegang knopnya, namun ragu untuk membuka. Terdengar suara obrolan dari dalam yang mungkin akan terhenti jika Radit masuk sekarang. Dia akan kehilangan kesempatan untuk mencari tahu.

"Jujur, lo ngapain sama Radit semalam?" Ratna mencengkram rahang Dea. Gadis itu mendesis sakit.

"Kita, kita gak ngapa-ngapain," jawab Dea terbata. Tangan Radit mengepal ketika mendengar suaranya yang parau.

"Oh, jadi lo beneran sama dia semalam?" Ratna membanting cengkramannya ke tembok. Membuat Dea semakin kesakitan. Kacamatanya jatuh ke bawah. "Gak tau malu. Dasar murahan."

Radit bersiap membuka pintu. Namun dia mendengar suara laki-laki dari dalam sehingga dia kembali menguping pembicaraan.

"Kayaknya gue salah deh nilai lo." Bima menarik rambut Dea ke belakang. Membuat wajah gadis itu berhadapan sangat dekat dengan Bima. "Lo cantik juga ya kalau dilihat dari dekat. Pantas Radit lebih milih lo daripada Ratna."

Ratna menendang kaki Bima karena merasa tak terima. Pria itu mengaduh. "Emang kenyataan, kok! Tau gini, gua juga mau kok jadiin lo budak nafsu gue," ucap Bima, kembali memandang Dea.

"Ambil kalau lo mau. Pokoknya Radit hanya milik gue." Ratna mencapit rokok di bibir kemudian menyalakan api. Asap membumbung di udara. Dea yang sensitif terhadap bau menyengat kemudian terbatuk-batuk. Kepalanya turun ke bawah, tapi kemudian rambutnya ditarik lagi ke belakang sehingga Dea mau tak mau menghirup asap itu lebih dalam lagi.

Terdengar langkah yang membuat Radit yakin mereka telah pergi meninggalkan Dea. Namun sekali lagi ketika dia mau membuka pintu, dirinya tertahan oleh jeritan. Ratna kembali untuk menanamkan rokok yang telah terbakar itu ke leher Dea sehingga gadis itu berteriak dan melawan.

Bima tiba-tiba meredam jeritan Dea dengan ciumannya. Gadis itu tersentak menghindar. Tawa Ratna mengisi lorong tangga itu sampai dia beranjak pergi. Sementara Bima masih menanamkan lidahnya, mencoba lebih masuk ke dalam Dea seperti orang kesetanan. Bahkan dia berani menyentuh area intim Dea, hendak memperkosa.

Radit membuka pintu dan terkejut dengan keadaan Dea yang babak belur. Dia melangkah cepat, menarik kerah Bima sebelum pria itu sempat menengok. Radit menjauhkan bajingan itu dari wanitanya kemudian mereka beradu pukulan. Radit memukul Bima tanpa ampun. Bahkan hampir tak ada kesempatan bagi Bima untuk balas memukul.

Dea mengacak rambutnya hingga menutupi wajah, kemudian pergi melewati pintu besi. Dia menangis, sembari berlari menuju toilet, mengusap bibirnya berulang kali di depan cermin.

Jijik. Itulah yang dia rasakan. Persetan dengan luka bakar yang diberikan Ratna. Dea memandang betapa kotor dirinya sekarang.

"Argh!" Dea berteriak sambil menarik-narik rambutnya sendiri. Berjalan mondar-mandir di depan cermin. Wajah yang basah oleh air mata membuat helai rambutnya menempel.

Dea membuka keran air, dia membasuh wajahnya berulang kali namun tetap tak bisa menghilangkan perasaan jijik itu. Ludah Bima telah menyatu di dalam mulutnya. Semua tindakan kotor itu seperti mengerayangi tubuh dea. Tak ada hal lain yang ingin dia lakukan selain menyatat semua bagian yang telah disentuh.

Dea merutuki dirinya sembari menabrakkan kepala di cermin. Merasa telah ingkar kepada almarhum ayahnya untuk menjaga kesucian. Apa yang diambil takkan bisa kembali. Meski Bima telah dipukuli oleh Radit, Dea takkan mendapatkan apa yang sudah hilang.

"Kenapa aku diem aja tadi?" Dea  melotot di depan bayangannya sendiri. "Harusnya aku melawan. Harusnya aku patahkan miliknya!"

Beberapa saat kemudian Dea kembali frustasi. Dia mengacak kepalanya.

"Itu hanya ciuman"

Dea mengangkat kepalanya, lalu tersentak mundur. "Kamu lagi."

"Aku adalah bayanganmu. Kananmu adalah kiriku. Lemahmu adalah kuatku." Tangan terulur dari dalam cermin. Mengingatkan Dea akan penawaran yang dia janjikan. Dia menangkup dagu Dea, melihat wajah menjijikkan itu. "Kamu sangat lemah. Apa yang kamu lakukan di sini? Mencari kematian seperti kakakmu?"

Jantung Dea berdegup kencang. Matanya melebar. Kenapa sosok itu selalu mengganggunya? Kenapa dia tahu soal Prisa?

Dea mundur selangkah, namun tangan itu terus memanjang dan berhasil mengusap kepala Dea, menepis tangisnya.

"Apa yang kamu mau?" Dea bertanya dengan jantung yang berdebar.

Sosok itu menyeringai.

"Sama sepertimu."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro