Bab 6
Pukul lima pagi, Radit terbangun di atas sofa dan langsung menuju kamar mandi. Memulai rutinitas sehari-hari, dari membersihkan diri sampai membuat kopi. Bedanya hari ini Radit berencana membuat sarapan. Nampak pria itu menyalakan kompor sambil mengusap lehernya yang terasa pegal. Mengoleskan mentega di atas teflon, lalu menceplok sebutir telur.
Aroma masakan yang hampir matang, dan uap dari mesin penanak nasi masuk ke indra penciuman seseorang dalam ruangan yang berbeda. Dea, gadis yang tengah terbaring di atas ranjang itu kemudian mengerjapkan mata. Melihat langit kamar yang bukan miliknya. Dia melamun beberapa detik, kemudian terperanjat.
Selimut jatuh ke atas pahanya. Dea meraba seluruh tubuh, beruntung semuanya masih tertempel di tempat. Matanya mulai menelusuri setiap sudut. Batin bertanya di mana dia berada.
Terdengar suara ribut dari ruangan lain yang membuat Dea penasaran. Dia turun dari ranjang berukuran king size itu untuk mencari tahu. Melangkah dengan berjinjit, berhati-hati bila saja yang membawanya adalah orang jahat.
Dea mengintip. Ujung pintu kamar langsung mengarah ke ruang tengah yang di samping sofanya ada ruangan berdinding kaca. Dea melihat bahwa itu adalah dapur. Seorang pria sedang memasak di sana dengan tubuh membelakangi.
Radit menoleh. Dia melihat gerakan cepat seseorang yang kembali masuk ke kamar.
"Kamu udah bangun?" tanya pria itu. Memutar badan dan mendekat.
Dea merasa suara itu tidak asing. Dia kembali mengintip, dan sesuai dugaannya, pria itu adalah Radit. Pria tang menyelamatkannya dari kematian, juga pria yang akan membuatnya mati jika melaporkan kejadian malam itu pada bu Windy.
Kenapa dia berada di sini?
Dea keluar dari kamar. "Kok aku bisa ada di sini?"
Radit menghela napas, melepas celemeknya. "Kamu gak inget apa yang terjadi semalam?"
"Enggak," jawab Dea sembari menggeleng. "Pastinya gak ada yang aneh-aneh 'kan?"
"Semalam aku nemu kamu ada di deket tangga lantai tujuh belas. Kamu juga terluka." Setelah mengatakan hal itu, Dea langsung memegangi kepalanya yang terasa sakit. "Kamu jatuh dari tangga?" Radit kembali bertanya.
Dea mencoba mengingat. "Kayaknya iya." Dia tidak yakin. "Trus, kenapa kamu bawa aku ke rumahmu?"
"Handphone kamu dikunci. Aku gak bisa hubungi orang rumahmu. Dan karena sudah malam, aku bawa kamu ke sini." Radit menyajikan telur yang sudah dia masak ke atas piring, lalu menatanya di meja ruang tamu.
Dea menatap selimut kecil yang tergeletak di lantai ketika memperhatikan jalan Radit ke ruang tamu. "Kamu tidur di sofa?" tanyanya kasihan.
"Kalau kubilang aku tidur seranjang denganmu, kamu gak akan marah?"
Dea langsung melotot. Pipinya memerah karena malu. Harusnya dia tak bertanya hal semacam itu.
Radit mengangguk kecil. "Jangan cemas. Aku tidur di sofa." Lalu kembali ke dapur untuk mengambil nasi. "Yuk sarapan dulu."
"Aku gak makan sebelum mandi," tolak Dea apa adanya.
"Bajumu ada di balkon. Semalam aku jemur di sana." Radit menunjuk dengan dagunya.
"Bajuku?" Dea terheran. Matanya menatap ke arah balkon di mana baju yang kemarin terkena tumpahan kopi kini telah bersih. "Oh, yang itu."
Dea canggung. Dia tak tahu harus bagaimana menanganinya. Haruskah berterima kasih sekarang, lalu pergi? Dea melihat wajah Radit yang kesal, bukan wajah ramah seperti biasanya. Dea berpikir mungkin sesuatu telah terjadi pada mereka berdua semalam. Apa Dea menyinggungnya?
"Aku minta maaf." Kalimat itulah yang akhirnya diucapkan. Mata bulat Radit terlempar pada Dea.
"Buat apa?" tanya Radit heran.
"Kayaknya aku melakukan kesalahan sampai kamu kesal."
"Aku gak kesal sama kamu," tepis Radit. "Aku kesal pada mereka yang mencoba mencelakaimu."
Ungkapan itu membuat jantung Dea berdebar cepat. Dia memalingkan wajahnya menatap jendela balkon, sambil meremas tangan agar tidak terlihat salah tingkah.
"Kenapa juga kamu harus kesel?" tanya Dea. Kakinya kemudian melangkah menuju balkon, mengambil baju yang menggantung. Dea meraba kain itu. Keseluruhan sudah kering, namun lecek dan dingin. Dea butuh setrikaan.
Radit memperhatikan setiap langkah Dea. Wajahnya masih masam. Batinnya bertanya apa Dea hanya pura-pura tidak peka ataukah cintanya masih belum menembus hati gadis itu. Sehingga Dea tak sadar kehadiran Radit dan tak pernah memikirkan arti setiap pertolongan darinya. Sebenarnya Dea menganggap Radit itu apa?
Dea kembali ke ruang tengah. "Aku mau langsung pulang aja," ucapnya. "Aku minta maaf udah merepotkan, dan makasih buat kemarin."
Radit tersentak. "Seenggaknya makan dulu. Aku gak pernah izinin tamu pergi sebelum makan. Aku juga udah terlanjur bikin dua porsi sarapan."
"Aku udah bilang, aku gak bisa makan sebelum mandi." Dea kembali mengingatkan.
"Kalau gitu mandi aja di sini." Radit sedikit memaksa.
Dea memandang resah. Dia tak suka menginap di rumah orang lain. Kali ini hanya terpaksa. Tapi masa harus mandi di sini juga? Apalagi ini rumah lelaki. Hanya ada dia dan Radit di sini. Apa yang Radit pikirkan tentangnya?
"Tapi ...." Dea bimbang. Haruskah dia makan tanpa mandi supaya bisa pergi? Dia tak suka. Kalau Dea sarapan tanpa mandi, perutnya terasa tidak enak. "Nggak bisa. Aku harus pulang."
"Kamu masih belum percaya sama aku?" tanya Radit. Dia berdiri, menghampiri Dea. Gadis itu berjalan mundur. "Kalau mau, aku bisa tidurin kamu kemarin malam. Tapi apa? Aku gak lakuin itu. Aku menghormati kamu, Dea, dan kamu tahu kenapa?"
Dea mengadah menatap mata Radit. Tubuh mereka sangat dekat. Dea kehabisan tempat untuk mundur. Dia merasa sangat takut. "Kenapa?" tanyanya.
Radit mendekatkan bibirnya ke telinga Dea. Membuat wanita itu menahan napas. Meremas ujung pakaiannya dengan resah.
"Aku suka sama kamu," bisik Radit
Dea mendorong tubuh Radit seketika. Menutup telinganya. "Nggak! Ini nggak bener!" tegas gadis itu. Berusaha untuk tidak mendengar apapun.
"Apanya yang engga? Aku beneran tulus, De. Aku berbeda sama mereka yang bully kamu. Dan selama kamu ada di sampingku, aku janji akan selalu lindungin kamu."
"Aku mau pulang!" ucap Dea gemetar.
"De, aku gak akan berubah semisal kamu menolakku. Aku cuma ingin kamu tahu apa perasaanku. Sekedar ingin merasa lega."
"Aku pengen pulang, Dit!" Dea menutup matanya dan memohon.
Radit terdiam setelah nada menyentak itu. Dia menatap dalam wajah Dea yang menunduk ke bawah dengan tubuh gemetar. "Apa aku menakutimu?" tanya Radit pelan. Dia mundur, menyesali perbuatannya.
Dea menggeleng cepat. Dia berjalan ke samping Radit, mengambil tas dan barang-barangnya yang berserakan di lantai, kemudian Dea pergi.
Radit termenung di tempatnya. Tak tahu harus apa. Jika dia berlari, mengejar dan menjelaskan kembali dengan hati-hati, apa Dea akan berubah pikiran?
Kenapa Dea tampak syok mendengarnya?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro