Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 5

Air mata Dea sudah tak bisa terbendung. Tangannya mengepal erat. Dengan langkah berirama tubuhnya pun melaju ke ruang kerja.

Sial. Dari pagi hingga petang, tak pernah ada habisnya masalah yang menimpa Dea. Apa takdirnya seburuk itu?

Dea benar-benar lemah. Dia naif, mengartikan ucapan dan kebaikan Windy sebagai tanda bahwa dia bisa keluar masuk perusahaan seenaknya. Padahal jelas Windy pun mengingingkannya resign. Dea merasa gagal dan merasa telah mengkhianati semua kebaikan Windy.

Sekarang, hanya ada dua pilihan yang harus Dea ambil. Resign, atau berubah. Resign sangat tidak memungkinkan untuk sekarang. Dea masih punya kepentingan. Untuk mencapai tujuannya, tentu dia harus kuat.

Pertama-tama, Dea harus mulai tegas pada dirinya sendiri, berani menolak perlakuan orang sudah semena-mena terhadapnya. Kedua, dia harus mengembangkan skillnya.

"Deb, aku mau ngomong!" ucap Dea di depan meja Debi. Dilihatnya gadis itu masih berkutat dengan komputer. Lalu melontarkan senyum dengan polosnya.

"Kenapa, lo?" tanya Debi.

"Balikin uang yang kamu pinjem barusan."

"Hah?" Debi mengangkat sebelah alisnya, merasa bingung. "Lo gila, ya? Duitnya udah gue pake buat bayar kos-kosan. Gak bisa gue balikin sekarang."

"Aku gak mau tahu. Ini di luar perjanjian kita," ucap Dea berani.

"Maksud lo apa sih, De? Gue udah setengah jalan selesain laporan lo. Masa uangnya kudu dibalikin?"

Dea menghela napas dan menelan ludah. Haruskah dia menyerah sekarang? Membentak seperti tadi bukanlah hal baik. Dea merasa bersalah dari lubuk hatinya yang paling dalam. Tapi untuk berubah, dirinya harus tega.

"Aku gak maksa kamu buatin laporanku, Deb. Kamu sendiri yang mau. Dan daripada kamu corat-coret laporan orang lain demi dapat pinjaman uang, mending kamu minta secara cuma-cuma. Aku pasti kasih pinjem, kok." Tutur kata Dea kali ini lebih lembut.

Debi menghela napasnya. Kemudian menarik tangan Dea ke samping, agar melihat sendiri apa yang tengah dia kerjakan. "Ini laporan lo, dan gua gak corat-coret," tukasnya.

Dea mendekat. Dia membacanya dari atas ke bawah, mengecek draft penjualan yang ada di sana. "Ini laporanku?" gumam gadis itu.

"Jadi maksud lo apa nuduh gue, trus nyuruh gue balikin uang lo sekarang?" tanya Debi kesal.

"Kalau laporanku di sini, lalu yang di meja Bu Windy itu siapa?"

"Mana gue tahu." Debi mengangkat kedua bahunya. "Lu tanya yang lain. Gue sama sekali belum beranjak dari kursi. Lagian, lo pergi cuma tiga puluh menitan. Mana cukup buat gue ngeprint laporan 100 halaman trus dicorat-coret?"

Dea termenung. Dia mencoba memikirkan mana yang benar, dan ucapan Debi masuk akal. "Maafin aku." Dia menyesal telah salah paham. Tanpa disadari Dea kembali menjadi gadis lugu. Dia menyerah.

"Gue maafin. Tapi hutang tadi lu anggap lunas aja, ya?"

"Hah?" Dea seketika melongo. Satu kejadian apes lagi hari ini. Dia kehilangan satu juta hanya untuk sebuah laporan.

***

Hari-hari Dea berjalan seperti biasa. Bedanya kali ini Debi membantu. Dea terbebas dari murka Windy setelah dia memberikan hasil laporan yang Debi tulis.

"Bagus!" ucap Windy ketika memeriksa. Dia lalu menumpuk laporan yang Dea beri bersama dokumen yang lain. "Kerja bagus untuk hari ini. Kuharap selanjutnya kamu bisa lebih baik lagi."

Dea tersenyum. "Laporan tadi pagi, bukan aku yang buat. Apa Ibu tahu siapa yang kasih?" Tiba tiba gadis itu penasaran.

"Aku tahu bukan kamu yang buat," jawab Windy. "Pasti ada seseorang yang sangat membencimu di kantor ini. Kuharap kamu bisa jadi lebih kuat agar bisa melawan mereka."

Dea mengangguk sambil tersenyum. "Aku akan berusaha."

Dea keluar dari ruangan Bu Windy, terdiam sejenak di depan pintu untuk menghela napas panjang. Dilihatnya langit sore dari jendela kantor, mengakhiri penderitaan hari ini.

"De, saya duluan ya." sapa Bu Windy saat dia menemukan Dea masih terdiam di depan pintu kerjanya. Wanita paruh baya itu kemudian masuk ke dalam lift. Tersenyum pada Dea sampai pintu besi tertutup sendiri.

Sudah jam pulang. Dea melihat meja rekan kerjanya sudah kosong. Hanya dia, dan Dea yakin tak ada siapapun lagi. Gadis itu menerawang ke seluruh sudut kantor. Memastikan bahwa dia sendiri.

'Semoga hari ini gak ada Radit,' doanya dalam hati.

Dea menghadap pintu kaca milik ruangan Windy. Dia berniat masuk, lalu mengambil file penting yang berisi bukti bahwa kakaknya bukanlah pengkhianat. Namun tiba-tiba Dea mengingat sesuatu.

'Apa hubungannya kematian kakakmu dengan dokumen penjualan?' Pertanyaan Radit kemarin malam kembali terngiang di kepalanya.

"Apa semua yang ada di ruangan Bu Windy adalah dokumen penjualan?" gumam Dea sendirian. Dia berpikir, lalu apa gunanya menyelinap setiap malam jika apa yang dia cari tak pernah ada di sana?

Dea kembali merenung di depan ruangan. Jika semuanya hanya dokumen penjualan, berarti takkan ada bukti bahwa Prisa melakukan pengkhianatan. Bahkan hal itu pun tak mungkin terjadi. Dokumen apa yang prisa ambil dari dalam hingga dia dianggap pengkhianat.

Atau mungkin, semuanya ada di kantor pusat?

Suara gebrakan pintu terdengar keras ketika Dea sibuk memikirkan jawabannya. Dia menengok kiri kanan, mencari asal usul suara. Namun tak ada siapapun. Dia benar-benar sendirian di kantor dan satpam yang berjaga sepertinya sedang patroli ke luar. Siapa yang menggebrak pintu sebegitu kerasnya?

Lampu yang terang benderang tiba-tiba meredup. Bulu kuduk Dea seketika berdiri. Dia merasa seakan ada tangan es yang mendekat, hendak mencekik tubuhnya. Dia parno, kemudian berjalan ke lift, menekan tombol turun berulang kali namun pintu tak kunjung terbuka.

Suasana semakin terasa aneh ketika angin berhembus bukan dari arah AC melainkan arah sebaliknya. Padahal Dea yakin semua jendela sudah tertutup. Angin tadi lebih seperti seseorang yang melesat melewati bahu Dea. Namun orang macam itu jelas tidak ada.

Dea tak mau memikirkan macam-macam. Hal itu akan membuatnya lebih takut. Karena itu dia pun cepat-cepat pergi melalui tangga darurat. Berusaha tenang agar 'mereka' berhenti mengganggunya.

Tuk ... tukk. Entah suara apa dan dari mana.

Dea mulai menyesali keputusannya untuk turun lewat tangga. Selain melelahkan, lampu kecil yang terpasang untuk meneranginya juga malah mati hidup. Jantung Dea jadi berpacu secepat kakinya melangkah.

Ketukan dari kaca kecil di dinding atas juga terdengar mengerikan. Desisan yang memanggil nama Dea membuat gadis itu seperti dikejar harimau. Dia panik sehingga berjalan sangat cepat. Kakinya tersandung dan tubuh gadis itu berguling hingga anak tangga terakhir di lantai tujuh belas.

Setelah sosok gadis yang terbaring di lantai itu tak sadarkan diri, lampu kembali menyala terang. Tak ada bunyi, dan pintu lift terbuka.

"Dea!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro