Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 4

"Kamu niat kerja gak, sih?" Bu Windy menanyai Dea dengan tegas. "Ini udah tanggal berapa? Mau sampai kapan kamu tunda laporanmu?"

Dea menunduk. Dia juga menyesal karena tidak bekerja dengan baik. Namun mau bagaimana lagi? Kejadian semalam membuat Dea batal lembur, sebab tak nyaman jika terus diawasi oleh Radit.

Dea lupa kalau dia punya pekerjaan yang tertinggal di kantor. Jika saja Dea membawanya, mungkin masih bisa dia kerjakan di rumah.

"Kalau mau ... Ibu bisa memecat saya," ucap Dea pelan. Tapi hatinya berkata lain. Dia berharap masih diberi kesempatan untuk berada di sini. Setidaknya sampai dia menemukan jawaban, kenapa Prisa bisa sampai bunuh diri.

"Tulis surat resignmu sendiri kalau kamu mau pergi," ucap Windy.

Mata Dea berbinar. "Ibu gak akan pecat saya?" tanyanya.

"Sana kerja! Kumpulkan laporannya sore ini. Saya gak mau nerima alasan lain lagi."

Dea mengangguk sekali. Dia lalu permisi, keluar dari ruangan Windy.

***

Arumi pagi-pagi sekali sudah berdiri di dekat meja Dea. Tangannya melipat. Gadis itu menunggu si pemilik meja kembali.

Dea datang dan langsung merasa tak enak, seolah tahu bahwa ada rintangan yang menantinya.

Sial! Bagaimana Dea bisa mengerjakan laporan kalau begini terus? Kali ini dia harus tegas! Dea meyakinkan diri, lalu lanjut melangkahkan kaki ke meja kerjanya.

"Heh, Cupu! Lo gak liat ini jam berapa? Bikinin gue kopi!" Arumi langsung nyerocos.

Dea berdiri tegap. Matanya menatap mata Arumi. Namun kenapa makin ke sini, dadanya sesak? Dia seperti anak kecil yang sedang terdesak, dan ingin menangis sambil memanggil ibundanya.

"Ba--baik." Pada akhirnya Dea gagal lagi.

Arumi tersenyum miring. "Cepet!" Gadis ramping itu melangkah dengan arogan, melewati tubuh Dea sambil sedikit menyenggolnya.

Dea menutup wajahnya dengan kedua tangan. Dia duduk di kursi, lanjut memijat kepala.

"Oy! Fotokopi ini!" Agnes muncul di ambang pintu. Langsung melemparkan map biru ketika Dea baru saja melirik. Otomatis, map itu menimpuk kepalanya.

'Rutinitas,' batin Dea mencoba sabar.

"Padahal lo bisa bilang engga," kata Debi, orang yang duduk di samping Dea. Sudah sering dia melihat Dea diperlakukan seperti itu. Namun dia tak berani bicara karena takut berakhir sama. Hari ini, entah ada angin apa yang merasukinya. "Sini laporan lo! Biar gue yang kerjain."

"Hah?" Dea terheran.

Debi langsung merebut laporan Dea yang ada di meja. "Tenang aja. Ginian mah sejam juga beres," ucapnya. Sementara Dea masih termenung tak mengerti. "Udah, lo sana layanin trio macan kantor kita. Kalau gak, ntar mereka bully lo lagi."

Dea yang tak punya pilihan akhirnya mengangguk lalu berdiri. Dia hendak membuatkan kopi untuk Arumi. Walau sebenarnya dia pun tak percaya kalau laporannya aman di tangan Debi.

"Tunggu!"

Dea menatap wajah rekan kerjanya lagi. "Ya?"

"Lo bisa pinjemin gue duit, gak?"

Sudah Dea duga, gadis itu ada maunya. "Berapa?"

"Gak banyak, kok. Cuman sejuta."

Menghela napas. Itu jumlah yang banyak bagi Dea. "Aku ...."

"Ayo, dong. Masa mereka lo bantu tapi gue engga? Gue udah baik, loh mau bantuin lo ngerjain laporan."

Padahal sebelumnya Debi bilang, tak apa mengatakan 'Tidak'. Kini dia menjilat ludahnya sendiri.

"Oke, aku transfer." Dea yang lemah, tak punya pilihan selain menuruti. Jemarinya terasa berat. Uang yang selama ini dia hemat-hemat malah meluncur begitu saja ke tangan orang. Meski judulnya meminjam, tetap saja harus dianggap sedekah. Sebab, hanya ada sedikit orang yang tahu diri di dunia ini.

Dea meluncur ke dapur. Dia membuatkan kopi untuk Arumi. Di saat dia sedang mengaduk larutan kecoklatan di dalam cangkir, pikirannya kembali berputar pada ingatan kemarin malam.

'Aku tahu kamu membutuhkanku.'

Sekelebat angin yang lewat tiba-tiba mengirimkan sinyal aneh. Bahu Dea terasa dingin, seolah ada es di atasnya.

"Heh! Lo masih belum selesai juga?" Arumi menggebrak pintu dapur. Mengagetkan Dea, sehingga adukannya meleber ke mana-mana. "Heuh! Gak becus amat, sih!"

Arumi mendekat dan tiba-tiba saja menyiramkan kopi ke baju Dea. Otomatis gadis itu terkejut. Badannya terasa panas, dan Arumi malah tertawa.

Raditya datang dan langsung membantu Dea. "Lo gila, yah!" teriaknya pada Arumi. "Lo udah keterlaluan. Mau lo gue laporin ke polisi?"

Tawa Arumi malah semakin kencang. Dia tahu Radit hanya menakut-nakutinya. Semua itu tidaklah serius. "Radit, Radit. Lo bener-bener bego, ya?" Hanya kalimat itu. Arumi selanjutnya keluar dari dapur. Entah apa maksudnya.

Dea masih mengibas-ngibas bagian tubuh yang terkena kopi. Radit mengambil lap basah, lalu dia mencoba mengopres dada Dea dari balik kemeja. Bagian itu paling banyak terkena tumpahan, namun lap basah justru membuat kemeja ungu Dea jadi menerawang. Radit berdehem saat melihat bagian itu tercetak jelas, lalu membalikkan badannya.

Dea langsung menutupi  dengan tangan. Namun tak cukup untuk menutupi semuanya. Radit membuka kemejanya sendiri, kemudian dia memberikan kemeja itu kepada Dea. Kini laki-laki itu hanya memakai kaos kasual.

Dea langsung melebarkan kemeja Radit di dadanya. Dia menunduk malu. Terutama setelah kejadian semalam, segalanya jadi terasa lebih canggung.

"Kamu ganti baju dulu. Aku jaga di depan, biar gak ada yang masuk ke dapur," kata Radit. Dea mengangguk pelan sebelum lelaki itu meninggalkannya.

Sementara itu, nampak Windy sedang mondar-mandir ke seluruh ruangan. Dia melihat Radit, kemudian menghampirinya dengan langkah buru-buru. "Dit, kamu lihat Dea?" tanyanya langsung.

"Ke toilet mungkin, Bu," jawab Radit berbohong.

"Kalau lihat dia, bilang untuk ke ruangan saya, ya!" titah Windy. Karyawan lelaki di depannya pun mengangguk.

Dea keluar setelah Windy pergi. Dia bertanya-tanya apa yang terjadi, sebab dari dalam dapur dia bisa mendengar kalau Windy memanggil namanya.

"Kamu disuruh ke ruangan Bu Windy," ucap Radit. Dea mengangguk, lalu berterima kasih. Gadis itu kemudian pergi menemui atasannya dengan perasaan tak enak.

***

Sudah Dea duga, dia tak bisa mempercayai siapapun di kantor ini, termasuk Debi. Kali ini Dea mengetahui, kalau mulut manis Debi ternyata berbisa.

Dea dimarahi habis-habisan oleh Windy. Wanita itu benar-benar marah, karena Dea menyerahkan laporan yang berisi penghinaan. Tak hanya itu, kertas yang sepertinya diserahkan oleh Debi juga sudah dicorat-coret dengan gambar babi. Benar-benar seperti Dea yang kesal dengan kepemimpinan Windy, dan mencapnya atasan tak berguna.

"Saya tahu kamu di sini mengalami hal yang berat. Tapi apa harus saya ikut campur dengan masalah kamu?" tanya Windy. Dia tak terima sikap acuhnya terhadap urusan di luar pekerjaan membuat orang berpikir dia tidak becus.

"Ibu ... tapi itu bukan saya yang membuatnya," jawab Dea.

"Trus siapa? Ini laporan punya kamu, 'kan? Nama kamu ada di sini!"

Dea menggeleng. "Saya sedang membuat kopi di dapur tadi, dan baju saya terkena tumpahan. Saya belum menyentuh laporan itu sama sekali." Dia berusaha memberi alasan yang bagus.

Windy langsung terdiam, tapi napasnya masih memburu. Dia berjalan mondar-mandir di depan meja kerjanya.

"Kalau ibu gak percaya--"

"Pergi!" Potong Windy cepat.

"Apa?" Dea rasanya ingin menangis. Kenapa dia harus dipecat sekarang?"

"Kamu pergi ke mejamu dulu! Dan juga, perbaiki laporannya," cetus Windy tegas namun nadanya rendah. Sepertinya dia menemukan kejanggalan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro