Bab 3
"Dea? Kamu ngapain!"
Seketika Dea tersentak dan tak sengaja menjatuhkan semua dokumen di tangannya. Dia gemetar. Bukan sekedar kaget, tetapi panik. Sorot matanya melihat ke sana-ke mari seolah sedang mencari alasan.
"Anu, aku ... aku lagi rapihin dokumen."
Tidak biasanya Dea terkekeh ketika bicara, terutama pada Radit. Jelas, lelaki itu langsung menangkap kejanggalan. Pasti Dea menyembunyikan sesuatu. Jika tidak, mana mungkin dia panik?
"Ngomong jujur atau aku telepon Bu Windy sekarang," ancam lelaki yang kini menghadap Dea dengan mata memicing.
Yah, Raditya tidak serius saat mengatakannya. Mana bisa dia menempatkan wanita yang setahun ini dia sukai diam-diam, ke dalam posisi sulit? Radit hanya ingin Dea jujur, apapun itu.
"Beneran, a--aku lagi beresin dokumen."
"De, dokumen di lemari itu semua udah rapih. Itu arsip dua tahun lalu, ngapain kamu beresin?"
"Aku disuruh Bu Windy," ucap Dea beralasan. Kali ini nadanya tegas.
"Oh, ya? Kalau begitu aku coba tanyain."
Raditya merogoh saku, kemudian mengangkat ponselnya ke telinga. Dea langsung berdiri tegap. "Tunggu! Jangan lakuin itu," pintanya.
Raditya memandangnya lekat. "Oke, kalau gitu kamu jawab dengan jujur. Kamu lagi apa?"
"Aku lagi cari referensi buat laporanku besok," kata Dea, dengan kepala menunduk.
Raditya menghela napasnya sembari menurunkan ponsel dan mengembalikan benda pipih itu ke dalam saku. Kepalanya miring ke kiri. Dia terdiam mengamati Dea selama beberapa menit.
"Oke, aku percaya," ucap Radit. "Tapi kalau kamu bohong, jangan harap aku bisa bantu kamu dari masalah. Aku paling benci dibohongin," lanjutnya.
Dea mendekat selangkah. "Please, jangan kasih tahu hal ini ke siapa-siapa!"
"Loh, kenapa? Toh, katanya kamu cuma cari referensi. Kamu bohong ya?"
Dea terdiam. Bingung bagaimana menjelaskannya.
"Aku minta kamu jujur. Aku janji gak bakalan bilang siapa-siapa." Radit mencoba meyakinkan Dea.
Gadis itu mengangkat kepalanya. Dari jarak dua meter mata mereka bertemu lagi. Dea menatap mata Radit, mencari celah di mana lelaki itu mungkin saja bohong. Sebab, tidak ada orang baik di perusahaan tempatnya bekerja.
Palsu, itulah karakter orang yang paling sering Dea temui. Namun entah kenapa dia merasa Radit berbeda. Senyum lelaki itu terlihat konyol, dan anehnya Dea merasa lebih tenang karena senyuman itu.
"Aku ingin mencari tahu soal kematian kakakku," jawab Dea.
Kening Radit berkerut. "Ohh." Respon lelaki itu aneh. "Apa ini ada sangkut pautnya dengan perusahaan? Kenapa kamu menjadikan dokumen penjualan dua tahun lalu sebagai referensi?"
"Hah?" Kini Dea yang bingung.
"Dokumen yang kamu pegang, juga seisi lemari itu, semuanya soal profit perusahaan," tunjuk Raditya, mengabsen lemari bernomorkan tahun 2018 sampai 2020 dengan jemarinya.
Dea menepuk jidat. Bodohnya dia kini terpampang nyata. Dea mengakui ketidakbergunaannya.
"Lalu? Di mana aku bisa menemukan dokumen seperti ... dana investasi atau perputaran uang?" tanya Dea.
"Bisa gak kamu kasih tau aku dulu, dokumen itu buat apa?" Radit penasaran kenapa Dea menginginkannya.
"Gak ada apa-apa."
"Aku telepon Bu Windy." Radit mengangkat ponselnya lagi.
"Jangan!" Henti Dea, langsung menyambar ponsel yang Radit pegang namun tidak berhasil.
Raditya mengangkat ponselnya tinggi-tinggi, sementara Dea hampir menempel dengan tubuhnya. Tangan gadis itu tak sampai, hanya bisa sejajar dengan kepala Radit. Tanpa disadari, jarak mereka jadi sangat dekat. Jantung Radit berdebar kala dia bisa merasakan embus napas Dea.
"Ah! Baiklah aku akan cerita," ucap Dea pasrah. Dia menghela napasnya. Ketika sadar tubuh mereka terlalu dekat, gadis itu pun menjauh.
"Silahkan."
"Prisa." Dea hanya mengucapkan satu kata. Kemudian dia diam beberapa lama, mengulang ingatan di kepala tentang kenapa nama itu begitu mempengaruhinya. "Aku sudah bilang. Aku ingin mengungkap kematian kakakku."
"Apa yang terjadi dengan kakakmu?" tanya Raditya.
Dea mendecih. "Jangan pura-pura gak tahu. Aku adalah adik dari seorang pengkhianat. Kakakku dituduh mencuri dokumen rahasia perusahaan dan menyerahkannya kepada saingan. Dia dianggap pengkhianat, dan karena malu akhirnya dia memutuskan bunuh diri."
Raditya masih tidak mengerti. Kalau Prisa bunuh diri karena merasa malu, berarti dia memang telah melakukan pengkhianatan. Apanya yang perlu Dea selidiki?
"Tapi aku masih gak bisa percaya soal itu. Terlalu gak masuk akal. Terlalu mendadak. Aku yakin dia sebenarnya sudah dibunuh." Dea kembali melanjutkan. Raditya bisa melihat kilat dendam dari ekspresi Dea, bukan seperti gadis yang dia kenal.
"Apa yang membuatmu yakin? Jika memang kakakmu sudah difitnah, aku mau bantu kamu cari pelakunya." Yash! Ini kesempatan bagi Radit untuk PDKT.
Dea menggeleng. "Tolong jangan kasih tau siapa-siapa. Diammu saja sudah membantuku," tolaknya.
Radit kecewa. "Kamu gak percaya sama aku?"
Dea kembali menatap manik Radit. Benar, dia masih tidak mempercayainya. Walau Radit seringkali membela, dan berlaku baik, tak ada jaminan bahwa semua itu bukan sekedar topeng.
"Kalau kamu mau bantu aku, tutup saja mulutmu dan lupakan kejadian barusan."
Dea melenggang pergi meninggalkan Radit. Pria yang kini hanya menatap punggungnya, kemudian mendesah lelah.
'Trus yang beresin kekacauan ini siapa?' pikir Raditya. Dia memalingkan wajah, menatap tumpukan dokumen yang kini berserakan di lantai.
***
Seperti biasa, Dea menenangkan diri di toilet. Dia mencuci wajah, kemudian menatap bayangannya sendiri.
"Kenapa kamu ceroboh banget sih?" Detik berikutnya Dea menabrakkan kepalanya ke cermin. Dia frustasi.
Padahal ini baru saja dimulai. Dea terlalu sibuk ke sana ke mari karena rekan kerjanya selalu menyuruh ini itu. Dan ketika kesempatan datang, Dea malah melakukan kesalahan.
Ceroboh! Dea rasanya ingin menenggelamkan dirinya sendiri. Andai waktu bisa diputar, Dea akan mengunci pintu dari dalam agar Raditya tak bisa memergokinya. Bodoh sekali Dea berpikir kalau semua orang di kantor sudah pulang.
Dea mengingat ucapan Raditya yang berjanji akan tutup mulut. Bisakah dia mempercayainya? Bahkan dengan kata-kata seperti itu pun, Dea tak bisa tenang. Raditya pasti akan lebih mengawasinya. Sebab Dea tahu tujuan laki-laki itu. Menangkap pencuri sepertinya, akan membuat Raditya lebih mudah naik pangkat.
"Kenapa aku gak bisa melakukannya?! Kenapa aku gak berguna?!" Dea terus merutuki diri sendiri.
"Itu karena kamu lemah."
Suara yang mirip dengannya tiba-tiba menimpali. Dea menegakkan punggung, menjauhi cermin, dan dia melihat bayangannya tak berubah posisi sedikit pun.
"Siapa kamu?" Dea syok. Dia mundur ke belakang, menabrak tembok.
Bayangannya tetap berdiri tegak. Melawan gerakan yang dibuat Dea. Seolah dia adalah orang berbeda yang tinggal di dunia lain.
"Aku adalah bayanganmu. Kananmu adalah kiriku. Kelemahanmu adalah kelebihanku. Jika kita bersatu, kamu akan menjadi sosok yang sempurna."
Dea tak mampu berkedip. Kakinya gemetar. Otaknya berusaha menolak apa yang dia lihat.
Sosok itu mengulurkan tangannya, menembus permukaan cermin, mencoba meraih tubuh Dea. "Aku tahu kau membutuhkanku," bisiknya, terasa sangat dekat.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro