Bab 2
Dea mendorong Raditya menjauh, kemudian segera bangkit dari posisinya. Jantung gadis itu berdegup kencang. Seketika kepalanya kembali menunduk, tak berani lagi menatap mata Raditya.
"Kamu gak apa-apa 'kan De?" tanya Raditya tulus. Dia bersyukur mereka akhirnya selamat. Beberapa saat lalu sangat menegangkan. Jika tenaga Radit tak cukup untuk menarik Dea, mereka mungkin akan mati bersama.
Dea menggeleng cepat. "Terima kasih," ucapnya. Lalu berlari pergi begitu saja.
Raditya mengulurkan tangan, namun tak sempat menahan gadis itu. Kini Dea menghilang di balik pintu atap. Sementara Radit masih terduduk di lantai semen, tiba-tiba tersenyum sambil melihat langit senja di atasnya.
'Dea kalau lagi salting cantik banget,' pikirnya.
Radit membayangkan jika saja Dea mau mengikat rambut panjangnya, pasti semua orang juga akan tahu kalau dia cantik alami. Apalagi setelah melihat manik coklatnya yang bersih seperti bayi, mereka akan jatuh cinta.
Raditya menggeleng di tengah pemikiran. Mana bisa dia biarkan semua orang mencintai wanitanya? Bukankah penampilan Dea yang sekarang, jauh lebih menguntungkan bagi Raditya? Dia jadi tidak punya saingan.
Kembali menggeleng. Raditya menjitak kepalanya sendiri. Dia meyakinkan hatinya kalau cinta untuk Dea adalah murni. Dia tulus tanpa memandang fisik. Karena itu seperti apapun Dea, apakah dia berubah atau tidak, Raditya harus bisa menerimanya.
Laki-laki berhidung mancung itu merebahkan kembali tubuhnya di lantai aspal ketika langit kian gelap.
'Jika Dea merubah penampilannya, mungkin dia akan lebih diterima di dunia keji yang memandang fisik ini."
***
"Dari mana aja lo? Galon udah kosong, tuh! Pasangin sana!" Bima langsung melempar perintah ketika sosok Dea kembali terlihat di area kantor.
"Lo gak malu nyuruh cewek ngangkat galon?" Raditya turun dari tangga atap. Menghadapi Bima, dan Dea yang kini memalingkan wajahnya dari Radit.
Bima terkekeh. "Cuma orang gila yang anggap model beginian 'cewek'." Pria itu kemudian menatap Dea. "Heh, apa gue pernah maksa lo ngelakuin sesuatu?" tanyanya pada gadis itu.
Dea menggeleng pelan. Bukan karena merasa tidak terpaksa, namun dipaksa sukarela.
"Yaudah, sana pergi angkat galonnya!" ucap Bima keras.
Dea tersentak, lalu melenggang pergi melaksanakan apa yang diperintah Bima.
"Banci!" pekik Raditya.
"Apa lo bilang?" Sahut Bima marah.
"Lo sebut modelan kayak lo sebagai 'cowok'?" Raditya membalikkan kata-kata Bima. "Lo gak bisa angkat galon sendiri? Prilaku lo barusan membuktikan bahwa lo lebih lemah dari Dea. Dan laki-laki macam itu namanya banci."
"Lo suka sama Dea?" Bima memancing.
"Gue gak perlu perasaan khusus untuk bertingkah layaknya manusia," sindir Raditya. Bima melotot tak suka. Apa maksudnya, Radit menganggap Bima hewan?
Raditya melangkah melewati Bima dengan dinginnya. Sementara Bima mengatupkan mulut, menahan geram pada laki-laki itu. Jika saja ini bukan di kantor, mereka pasti sudah berkelahi. Sayangnya, Bima dan Raditya sama-sama bersaing memperebutkan jabatan sebagai manager selanjutnya. Karena itu, keduanya harus menjaga citra diri. Jangan sampai ribut, apalagi karena seorang cewek cupu seperti Dea.
"Awas lo!" Pekik Bima. Pria itu kemudian masuk ke dalam lift dan beranjak pulang.
Raditya mencari Dea di gudang. Namun tak ada sedikitpun jejak bahwa gadis itu ada di sana. Niat Raditya untuk membantu Dea mengangkat galon juga kandas. Sebab galon sudah terpasang pada tempatnya.
"Kemana dia?" Raditya bertanya-tanya sambil menerawang sekelilingnya.
Gudang ukuran 3x3 meter itu dipakai untuk menyimpan beberapa kardus bekas, sisa sample perusahaan juga kebutuhan dapur seperti gas dan galon. Barang yang mengisinya pun cukup sedikit. Di ruang yang begitu lenggang, di mana Dea bisa bersembunyi?
Raditya meraih kesimpulan kalau Dea tidak ada di sana, jadi dia memutuskan untuk mencarinya di tempat lain. Ketika dia baru saja berbalik, tiba-tiba saja lampu di ruangan itu semuanya padam.
"Loh, kok mati lampu?" tanyanya.
Aura sekitar langsung terasa aneh. Di ruangan yang tertutup seperti gudang, mendadak ada semilir angin yang lewat. Sepatu yang dipakai Radit terasa berat. Ketika dia melangkah, suara-suara ketukan terdengar dekat.
Apa itu suara langkah kaki Radit? Tidak. Radit yakin ada orang lain yang menemaninya di gudang. Dan pasti, tak ada niat baik dari orang itu. Radit langsung terdiam, mencoba memastikan dengan lagak sok berani. Siapa tahu, itu adalah Dea.
Punggung Radit terasa dingin, namun tangannya yang selalu kering mendadak berkeringat. Lehernya merinding tanpa alasan yang jelas, dan walau tahu sebuah bahaya mungkin mengancam, Radit tak bisa bergerak sedikitpun.
Desis seseorang mengejutkan Radit.
"S-siapa? Siapa di sana?"
Entah kardus mana yang jatuh dan menimpali pertanyaan Radit. Apapun itu, Radit merasa sedang olahraga jantung. Dan rasanya tidak semenyenangkan saat mata dia dan Dea beradu tatap.
Sial.
Ketakutan membuat udara semakin tipis. Raditya merasa berada di ruangan antah berantah. Udara terus dibawa pergi darinya, hingga dia merasa sesak.
Raditya memilih memejamkan mata. Jika lelaki yang kini berdiri kaku itu percaya dengan hantu, pasti dia berpikir ada sosok jahil tak berbentuk yang sedang memeluk dan mencoba membuatnya menjerit ketakutan. Namun dia tak percaya, jadi dia hanya memekakan indra pendengaran, siaga apabila si jahil bernama manusia hendak menyerang.
Bau anyir menyeruak. Suara seperti aliran air yang deras membanjiri lantai. Membuat apa yang Radit pijak terasa basah. Radit tahu bahwa semuanya sedang tak baik-baik saja. Radit harus segera sadar, namun dia mendadak lupa bagaimana cara membuka mata.
Laki-laki itu hampir tak bisa bernapas dengan tenang. Mendadak apa yang tidak dia percayai barusan, kini menjadi satu-satu jawaban untuk menyebut kejadian di luar logika yang dia alami sekarang.
Krkrkk
"Aaaaaaaa!" Sepasang tangan melingkar di kaki Radit. Spontan laki-laki itu terperanjat dan kabur. Namun sesuatu yang menahan membuatnya tersungkur. Radit membuka mata. Keringat sudah membasahi tubuhnya. Dia melihat sebuah cahaya lampu. Sesuatu yang menjadi penyelamatnya.
Radit melihat sekitar. Dia masih di dalam gudang dengan pintu yang terbuka. Dia bisa kembali mengangkat kakinya dan berdiri. Dia segera meninggalkan ruangan pengap itu, menuju meja kantornya.
Raditya memegangi kepalanya sembari duduk. Dia mengatur napas, lalu mengingat kembali apa yang terjadi barusan.
Benar. Pintu gudangnya terbuka. Artinya kalaupun itu mati lampu, Raditya masih bisa melihat setitik cahaya lampu lalu lintas dari jendela. Namun tadi dia tak bisa melihat apapun. Seolah dia telah dikurung.
Suara gerusuk kembali terdengar. Kali ini dari ruangan Windy, managernya. Raditya melihat sekitar dan tak ada satupun orang di kantor. Bahkan Dea yang seharusnya lembur juga tak ada. Dia jadi penasaran, siapa yang sedang berada di dalam ruangan Windy?
Raditya memberanikan diri untuk masuk. Dia berharap itu bukanlah perampok. Namun diganggu hantu seperti barusan juga tak baik untuk jantung. Kemudian dia berharap itu bukanlah hantu. Namun berurusan dengan orang jahat juga beresiko membuatnya jadi hantu. Tidak ada yang benar. Raditya memutar kenop pintu, berharap yang ditemui adalah seekor tikus.
Namun.
"Dea?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro