Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

32. You Are

Begitu peka dengan situasi yang memanas, Farrel beralibi dan membawaku pergi. Dengan motor matiknya, kami berkendara tanpa tujuan, tanpa obrolan.

Biarlah semester ini nilaiku anjlok sebab sering melewatkan kelas, seperti sekarang. Mestinya, setelah jam makan siang, aku menghadiri kelas. Namun, aku benar-benar lelah. Benar-benar ingin melarikan diri dari dunia yang kujalani sekarang.

Kami sudah lebih dari dua jam berkendara. Dari langit yang mulanya cerah dan berangin, sampai hujan yang tidak terlalu deras. Farrel membawa dua jas hujan, sepertinya ia memang sering memberi tumpangan.

Hujan saat ini tak menjadi alasan untuk kami berhenti berkendara. Bukan aku yang meminta untuk terus berjalan, aku hanya menerima tawarannya. Mungkin Farrel tahu, aku ingin menangis sejadi-jadinya tanpa terlihat siapapun. Aku ingin membuang air mataku tanpa harus mengelapnya. Dunia ini yang membuatku menangis, maka biarlah alam menghapus tangis.

Terungkap sudah, bagian tergelap dari hidupku. Keluargaku utuh, namun tak acuh. Aku, yang mereka sebut si anak perempuan satu-satunya, si anak bungsu, sejatinya adalah entitas yang tumbuh dengan banyak tipu.

Laju motor Farrel melambat ketika hujan menderas semakin ganas. Ia menepi ke sebuah pusat belanja, dan masuk ke area parkiran basement. Sebelum ia benar-benar berhenti, segera kuusap wajahku yang mungkin sudah sembab ini.

"Deres banget hujannya, neduh sekalian cari makan aja, ya? Lo laper gak?" katanya usai memarkirkan motor dengan benar.

Aku mengangguk tak menjawab. Kami sibuk melepas helm dan jas hujan masing-masing.

"Makan apa? Ramen mau?" tawarnya.

"Ya. Boleh."

"Nih, pake." Ia menyodorkanku selembar masker, tentu saja aku menghadiahinya tatapan heran. "Mana tau lo butuh," imbuhnya.

Dari kaca spion, hidungku memang terlihat agak merah, sih. Mataku apalagi. Walaupun masker tidak menutup seluruh wajahku, setidaknya, sebagian tidak terlalu nampak habis terisak.

Kemudian kami berjalan menuju restoran yang menjual ramen. Tidak sulit menemukannya, karena memang cukup banyak yang menjual.

Apa-apa yang kulakukan hari ini rasanya berlalu secepat satu kalimat, hanya tertangkap oleh indera sepersekian detik. Tiada rasa, tiada makna. Benar-benar seperti coretan kata-kata tak berarti di belakang buku catatan anak sekolah.

Ramen di depan mataku masih tersisa banyak dan tak lagi mengepulkan asap, tetapi segelas ocha yang kupesan sudah tandas entah sejak kapan.

Aku mencuri pandang pada lelaki di depanku, ia makan cukup lahap. Ah, aku malu mengingat kejadian tadi. Ia pasti bertanya-tanya, kenapa kakakku begitu nir-empati, atau kenapa Betari Karenina bisa ikut bersamanya.

Darahku kembali berdesir. Mungkin, aku perlu makan agar bisa cepat lupa. Gegas kuhabiskan hidangan di depan mataku, tanpa dirasa-rasa ataupun dikunyah lama-lama. Kuteguk kuah ramen itu dari mangkuknya langsung, sebab aku tak punya lagi air minum.

Mejaku bergetar. Farrel menggeser sebotol air mineral hingga menyentuh tanganku yang baru saja kembali mendarat di atas meja. "Pelan-pelan," katanya.

Aku menenggak air mineral yang diberikannya. Mataku memanas hingga kembali berair, hidungku juga. Farrel menyodorkan tisu karenanya, sungguh memalukan.

"Gue kepedesan." Aku terkekeh pelan. "Thank you, ya."

"My pleasure," balasnya.

Suasana berubah canggung. Kami sudah menghabiskan makanan masing-masing, dan malah bersikap kikuk satu sama lain.

"Mau es krim gak, Nya?" tawarnya tiba-tiba.

Aku sedikit terkesiap. Ide bagus untuk menghabiskan waktu lebih lama di luar. "Boleh, di sini ada?"

"Ada. Sebentar, ya."

Ia beranjak menuju meja pesanan, tidak lama kemudian kembali lagi.

Lalu, suasana menjadi canggung lagi. Kami berdua kikuk lagi.

"Lo ... capek banget, ya, Nya?" ujarnya ragu.

"Yaa ... semuanya juga capek gak, sih?"

"Maaf, ya."

Aku berpikir sejenak. Apa tujuan maafnya?

"Maaf gue bikin lo kesel, bingung, ... gue juga milih pergi. Harusnya, ya, pergi aja. Kembalinya gue ini bikin lo nambah capek doang."

Kepalaku benar-benar mencerna ucapannya sampai tak sadar memiring. "Lo sarkas?"

Ia terkesiap. "Enggak. Gue ngomong yang memang kenyataannya."

Pramusaji datang dan menyajikan dua es krim matcha, di bawahnya terdapat sepotong waffle yang diberi madu.

"Pas liat abang lo tadi, gue baru sadar kalau terlalu banyak beban di pundak lo, Nya. Rasanya egois aja kalau gue malah minta perhatian lo."

Aku lupa rasanya dipahami sedemikian ini oleh orang lain. Dadaku terasa kosong, tubuhku juga seolah ringan hingga tak menapak tanah.

"Gue paham rasanya gak punya tempat pulang. Lo tau, gue anak kesayangan semua orang, sekeluarga besar kayaknya rebutan buat ngasuh gue. Padahal gue tau, mereka palsu. Gue disayang karena gue lelaki, mereka patriarkis dan butuh gue buat lanjutin bisnis." Ia tertawa miris. "Gue bahkan gak tau nyokap kandung gue di mana, gue cuma inget mukanya, dan nama depannya."

Aku samasekali tak tahu latar belakang Farrel yang sebenarnya. Ia bercerita dengan senyum tipis, wajahnya pun penuh serah diri.

"Gue lari dari lo karna gue merasa gak worth it buat lo. Gue pecundang karna punya keluarga sepalsu itu." Kali ini ia benar-benar tersenyum simpul. "Lo mungkin ngerasa diri lo sampah sekarang, tapi percaya, deh. Ada seseorang yang nganggap lo istimewa. Liat, lo dengan luka-luka lo pun tetep dibutuhin buat mecahin kasus KS. Jadi ... tolong bertahan sedikit lagi, ya."

Lagi. Mataku memanas dan berair hingga memabasahi pipi. Segala perasaan tak menyenangkan ini akhirnya tampak dalam wujud tangis.

***

Ada yang bilang, waktu adalah obat. Seseorang yang "terluka" akan sembuh setelah menelan beberapa tahun. Agaknya pada saat ini, pandangan tersebut tak sesuai dengan prinsip hidupku. Luka yang tercipta semestinya diobati, dirawat sampai pulih. Waktu tidak bisa terus diandalkan sebagai obat, terkadang mengakui kekalahan adalah yang sebenarnya menyembuhkan.

Hari sudah malam. Momen-momen dramatis yang mengiringi sepanjang hari ini masih membekas, namun tak seberat awalnya.

Kami sudah sampai di depan indekos. Setelah makan ramen tadi, akhirnya Farrel mengajakku berkeliling kota sebelum kembali pulang.

"By the way, lo masih matiin hape?" tanyanya seraya mengambil helm dari tanganku.

"Iya. Gue kelupaan tadi pas sebelum kelas gue matiin soalnya."

"Oh, gak apa-apa, sih. Ini Musa bilang di grup kalau Dito udah bisa diajak ngobrol, besok juga mau bawa korban ke polres katanya."

"Langsung ke polres?"

Farrel mengangguk. "Mungkin karna kantornya lebih deket, lagian ini masuknya pelanggaran berat juga."

Aku mengerti, meskipun pemahamanku tentang hukum masih samar-samar. Baiklah, tahap baru akan segera dimulai.

"Ya udah, gue langsung cabut, ya," pamitnya.

Aku mengengguk, meski ia tak melihat sebab sibuk mengaitkan helm yang kuserahkan. "Thanks a lot, ya. Lio."

Seketika Farrel menghentikan gerakannya. Matanya terpaku padaku dengan raut tak percaya. Meski gelap, bola mata itu nampak berbinar kontras dengan langit malam. Aku tahu ia akan terkejut karena memanggil dengan nama kecilnya, yang selalu ingin ia dengar dari orang terdekatnya, semestinya aku siap ditatap sedemikian tulus ini.

"Bentar. Lo bisa tolong ambil lagi helm ini?" katanya.

Dahiku mengerut, maksudnya apa?

Tangannya mengubah posisi spion motor agar memantulkan refleksi indekosnya yang berada di seberang indekosku.

"Ada orang depan kosan gue. Dia ngeliatin kita, kan?"

Oh, sial. Rupanya ia terkejut karena ada yang mengawasi kami.

🌻🌻🌻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro