Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

25. Holding On

"Waduh, asik sendiri aja, nih, Angkatan Sebelas. Yang udah pada pinter mah beda, ya?"

Sindiran itu diujarkan oleh Daniel, senior kami dari angkatan sembilan, alias dua tahun lebih tua di atas kami. Ia datang tanpa salam usai membuka pintu, bersama dua senior lainnya.

"Wah, kita ganggu kayaknya, Bang," sindir Ricky, mantan ketua umum HMK periode lalu.

Daniel, Ricky, Algi, dan juga Angga. Mereka berempat dikenal sebagai pentolan HMK. Namanya seolah-olah sudah melekat, seantero kampus agaknya mengasoisasikan HMK dengan mereka. Empat orang itu memang kuakui bijak dan kritis, tetapi selalu memaksakan gaya kepemimpinan mereka kepada para junior. Kami—junior—seolah harus mengikuti cara mereka tanpa beda, tanpa peduli relevan atau tidak dengan kondisi yang ada.

"Eh, enggak atuh, Bang Ricky. Kita mah lagi ngobrol biasa aja di sini." Bayan menyahut dengan halus, ia sempat meleretkan matanya, kuyakin Bayan pun menahan sebal.

Zafi menyunggingkan senyum canggung, lalu melirikku seperti meminta tolong. Farrel pun sama, merasa atmosfer ruangan berubah akibat kehadiran para senior, ia menyenggol kakiku di bawah meja. Seolah bertanya, menurutku apa yang harus ia lakukan.

"Duduk, Bang." Aku bangkit dari kursi, dan menariknya, mempersilakan mereka agar duduk.

Seketika yang lain pun turut berdiri dengan canggung. Saat ini, posisi kami benar-benar seperti bawahan yang siap menerima komplain dari atasan.

"Repot banget, Anya," kata Daniel. "Kita mah cuma mau mampir aja, jaga-jaga kalian lupa sama muka kita."

"Masa lupa, sih, Bang." Musa bersuara. "Belom juga lulus, masa udah lupa."

"Nah itu lo tau," ketus Algi. Ia dari angkatan delapan, mantan sekretaris jendral. Ia sengaja menunda skripsinya demi mencalonkan diri menjadi presma, tetapi tidak terpilih. Saat ini yang kutahu ia masih aktif di forum komunikasi FISIP, menjadi jajaran penting yang menjembatani komunikasi antarjurusan di FISIP, maupun antarfakultas. "Kalau belum lupa, kenapa punya masalah pada diem bae? Rame di medsos, klarifikasi seadanya. Apa masalahnya kalian tuh? Coba, ketua sospol, jelasin!"

Di antara para demisioner yang masih menjadi mahasiswa, Algi ini yang paling kubenci. Kerjaannya selalu mencari celah, memasalahkan hal sepele yang tidak ada urgensinya, dan tentu saja gila hormat. Namun, yang terakhir itu hanya opini pribadiku saja.

"Sorry sebelumnya kalau saya, atau yang lain gak ngabarin masalah ini ke Bang Algi; Bang Daniel; Bang Ricky," jelasku yang dibubuhi bungkukan kecil. "Masalah ini terjadi kayak tiba-tiba banget, saya yang namanya diseret di thread itu samasekali gak pernah menerima aduan kekerasan seksual dari sosok 'J', yang bersangkutan mengadu ke Fauzan sekitar sore, terus malemnya kita langsung konfirmasi ke pihak terkait dan membuktikan bahwa kasus itu bukan kekerasan seksual. Tapi, thread itu udah keburu rame."

"Terus maksud belum bisa memberi pernyataan resmi itu, apa?"

"Maksudnya HMK masih crosscheck fakta yang sebenernya, Bang. Lagi juga, semalem Pak Yanto telepon Bayan soal masalah ini, artinya setiap pernyataan kita harus ada persetujuan Bapak, karena masalah tersebut jangkauannya udah sampe di ranah departemen. Walaupun kita punya data tentang fakta sebenernya, kita perlu waktu buat diskusi supaya aspirasi semuanya tersampaikan."

"Supaya aspirasi semuanya tersampaikan." Algi mengulang ucapanku. "Yang kamu maksud semuanya tuh, siapa aja, Anya? Kamu mengacu ke apa?"

"Yang terlibat di masalah ini, Bang. Sosok J, saya yang terang-terangan disebut, juga jurusan yang menurut saya cukup diwakili Pak Yanto."

"Kalau apa-apa menurut kamu, buat apa ada AD/ART?"

Mati sajalah aku! Memang tujuan mereka adalah ingin dilibatkan dalam segala hal yang akan dilakukan atas nama HMK. Aku tahu, maksud Algi menyinggung AD/ART adalah untuk menunjukkan tupoksi demisioner dan alumni, yang sedikitnya berhak memberi masukan.

Padahal, jelas tertuang bahwa berhak berpendapat bukan berarti perlu dilaksanakan pendapatnya.

Lagipula, bukankah lebih beresiko jika melibatkan mereka? Pak Yanto sendiri mengancam dengan halus agar kasus ini hanya dipegang oleh kami berempat. Memang sial!

Algi berdecih, ia maju selangkah lalu berkata, "Lo pacaran sama Angga cuma enak-enakan aja kali, ya? Bukannya belajar dari dia."

"Brengsek," desisku. Kubalas tatapan tengilnya dengan raut sesinis yang kubisa, dan ikut selangkah mendekatinya. "Segitu percayanya lo sama Angga sampe mikir gue ini emang pacarnya? Bodoh banget, bisa ketipu temen sendiri. Oh, atau memang segitu buruknya pikiran lo tentang perempuan? Maksud lo perempuan kalau punya pacar cuma bisa enak-enakan?"

Musa berdehem keras, dengan suara lantang ia berkata, "Jadi begini, Bang."

Sementara itu, Farrel menarikku mundur, sama halnya dengan Zafi. Musa terus bicara, menarik atensi ketiga senior sialan itu. Sesekali kudengar suara Bayan, juga balasan dari tiga orang lainnya.

Pikiranku kacau. Banyak hal yang terjadi hari ini sampai aku tak bisa mengendalikan diri. Kepalaku rasanya berisik, seolah terjadi agresi militer dan adu mulut dari banyak kubu.

Ucapan Algi bagiku terdengar seperti hinaan, apakah maksudnya aku ini murahan? Binal? Atau materialistis? Kata "enak-enakan" dari mulutnya sungguh mengarah pada hal asusila dalam pikiranku.

Sialan.

"Gue tau lo lagi capek, tenangin diri dulu, ya."

Suara Farrel. Ya Tuhan, tidakkah ia berpikir kalau dirinya pun membuatku capek?

"Iya, Nya. Abis ini balik ke kosan aja, gak usah ke rumah Bayan," sahut Zafi yang membuatku terkesiap.

Memang kami berencana untuk pergi ke rumah Bayan setelah ini, kami perlu menyusun laporan untuk diberikan kepada Pak Yanto tentang dana yang dihabiskan sebagai restitusi bagi korban.

Sejujurnya, aku ingin membuka kado di sana. Kado yang diberikan Angga, yang persis sekali dengan kado teror. Firasatku buruk untuk kali ini.

Masalah arsip data yang berantakan juga, belum aku bicarakan kepada Musa dan Bayan. Bagaimanapun, hal tersebut dapat menjadi titik terang untuk menemukan tersangka.

Sayangnya, Musa dan Bayan masih terlibat diskusi alot dengan tiga orang sialan itu. Ah, pasti akan memakan waktu lama.

"Jam lima lo ada rapat UPM, Za? Rapatnya penting? Lo gak bisa cabut aja?"

Zafi nampak kebingungan dengan pertanyaanku, tetapi ia menjawab meski sedikit ragu. "Bisa, sih. Emang kenapa?"

"Gue ... dapet kado lagi." Aku menunjuk paper bag di lantai sebelah pojok, dekat kabinet.

Kami bicara berbisik, sambil mengamati sekitar, khawatir para senior semakin berpikiran jelek padaku. "Gue harus tau itu isinya apaan. Tapi gue takut. Gak mungkin gue minta temenin Farrel doang, kan? Musa sama Bayan pasti gak kelar-kelar ladenin trio macan itu."

Zafi semakin mengerutkan dahinya. Wajahnya penuh bingung dan ragu. "Lo mau buka kado itu di kamar Bayan?"

Aku mengangguk yakin. "Di sana pasti ada Bulet, kan?"

"Iya, sih. Canggung juga kalau bukanya di kosan kalian." Farrel menyahut. "Lagian, di kamar Bayan ada kado yang lain. Bisa sekalian dicocokin apa persamaannya."

"Terus lo mau cabut sekarang gitu?"

"Iyalah!" sahutku.

"Caranya gimana, bodoh? Lo mau nyelonong aja gitu?" Zafi menyentil keningku pelan.

Benar juga. Bagaimana caranya melewati para senior itu?

"Hari ini mood lo lagi jelek banget, kan, Nya?" Farrel bertanya tiba-tiba. "Lo sampe ngegas ke kating karna lo badmood, kan?"

"Apaan, sih?"

"Lo lagi badmood, kan?"

"Ya, terus kenapa?"

"Gak apa-apa. Nanti kita pergi, terus Zafi juga ngikut. Oke?"

Oh, sial. Cowok ini membuat rencana!

🌻🌻🌻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro