Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

21. Messed Up

"Laki-laki macam apa yang pergi gitu aja ninggalin cewek sama janinnya?" tutup Jessy.

Semua orang di kamar Bayan menghela napas, seolah merasa sedikit lega begitu Jessy mengakhiri ceritanya. Entah kenapa suhu ruangan terasa naik, pun tenggorokan terasa kering. Bukan hanya aku yang merasa begitu, semua orang juga sama. Bulet sampai membuka lebar pintu balkon, dan menandaskan segelas air.

"Gue berempati dengan yang lo alamin, Jes. Makasih buat ceritanya, gue harap kita di sini bisa bantu lo, ya." Musa kembali memandu rapat, "Sebelum ke Roberto, kita denger keterangan dari Naufal dulu. Kepada Saudara Naufal, saya persilakan."

"Dari gue singkat aja. Apa yang diceritain Jessy emang bener, gue emang menghindar. Mungkin Jessy rada gak percaya kalau gue minta waktu buat mikirin gimana caranya ngomong ke keluarga. Gue juga lagi cari jalan kalau seandainya gue dan Jessy 'ditolak' sama keluarga, gue cari-cari kontrakan dan kerjaan yang bisa gue kerjain. Gimana pun, Jessy hamil anak gue. Gue emang brengsek jadi cowok, tapi gue masih punya harapan buat jadi bapak yang bener."

Bukan hanya Jessy yang terkejut, aku dan yang lain pun sama. Meski aku tak yakin jika keterkejutan kami karena hal yang sama.

Nopal, dari luar tampangnya seperti orang serampangan. Rambut gondrong semrawut, celana jeans sobek, dan sandal jepit menjadi khas penampilannya yang kerap ditegur dosen. Namun, siapa sangka ia berpikir bijak di waktu terhimpit begini?

"Gue punya saksi kalau gue emang cari kerja. Gue juga bakal siapin buktinya kalau emang perlu," tambah Nopal lagi usai menciptakan hening beberapa saat.

Mendengarnya, Musa berdehem seolah mencegah distraksi dari dalam dirinya. Kemudian, ia melanjutkan memimpin rapat dengan mengulas keterangan yang dipaparkan Nopal.

Sementara itu, Farrel menyenggol pelan lenganku seraya menyodorkan segelas air. "Kata gue ini mah pure masalah pribadi, ya gak?" bisiknya.

Kulirik ia penuh selidik, kenapa malah mengajak bergosip di tengah rapat, sih?

Farrel meneguk air dalam gelas yang dipegangnya, ia masih menatap lurus ke layar laptop. "Lo gak haus apa denger curhatan mereka?" katanya lagi, tangan kirinya yang memegang gelas berisi air—utuh—sengaja dikenakan padaku.

Aku tak menggubris, malah menerima air darinya untuk membasahi tenggorokanku yang tercekat. Meski ucapannya sedikit keluar topik, tetapi ada benarnya. Apa yang sedang kami bahas saat ini sebetulnya berakar dari kurangnya komunikasi antara Jessy dan Nopal sebagai pasangan.

"Dari Anya atau Farrel ada yang mau ditanyakan?" Begitu Musa menyebut Anya, sontak aku kembali memfokuskan diri pada diskusi kali ini.

"Ya, saya sama Farrel punya pertanyaan yang sama," sahutku sambil melirik cowok itu, dan ia mengangguk—seolah menyetujui dengan tanya yang akan kuajukan. "Karena masalah ini ada di ranah kekerasan seksual, kami perlu konfirmasi apakah Jessy sebagai pelapor mengalami paksaan hubungan seksual, atau paksaan aborsi dari Naufal? Jika iya, maka Jessy dapat menunjukkan bukti dan menyertakan kronologis kejadian. Terima kasih."

Jessy terlihat sedikit menunduk, matanya melirik ke samping seperti memikirkan sesuatu. Hal yang berbeda dilakukan Nopal, cowok itu justru mengangkat kepala dengan lirikan mata yang tajam.

Ah, situasi begini membuatku semakin ingin segera menyimpulkan bahwa tidak ada unsur kekerasan seksual.

"Boleh gue yang jawab gak, Mus?" Nopal bersuara. Raut mukanya dingin, sedangkan sorot matanya mulai melemah.

"Ya, silakan."

"Gue gak pernah nyuruh Jessy aborsi, dan ada bukti chat kita soal ini. Di saat ngelakuin 'itu' juga, emang gue yang ajak tapi sumpah gue gak ada maksa sama sekali. Jessy juga enggak ngelawan, atau bilang keberatan, kita enjoy waktu itu."

Lagi-lagi aku dan Farrel saling melirik. Dugaan kami benar jika Nopal menunjukkan bukti saat ini juga. Kami berdua menghela napas lega, setidaknya jumlah korban tidak bertambah.

"Enjoy tuh mereka, Nya," bisik Farrel.

"Hus!" tegurku pelan. Lagipula, kenapa Nopal harus bicara segamblang itu, sih? Aku mendengarnya saja malu.

"Gimana, Jessy?" tanya Musa lagi. "Dari lo ada yang harus dijelasin lagi?"

Gadis itu menggeleng pelan. Wajahnya memucat. Mungkin baru terpikirkan sekarang kalau yang dilakukan Nopal bukanlah tindak kriminal.

"Kalau gitu, gimana menurut Anya dan Farrel atas jawabannya?"

"Berdasarkan konstitusi Negara Republik Indonesia, UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS, juga Permendikbudriset Nomor 30 Tahun 2021, apa yang dialami Jessy bukan termasuk bentuk kekerasan seksual sebagaimana tercantum. Sehingga dengan berat hati, HMK belum bisa mengadvokasi masalah ini." Aku menjelaskan dengan penuh hati-hati, jujur saja aku takut menyinggung Jessy.

"Izin menambahkan," kata Farrel. "Kehamilan tidak diinginkan merupakan resiko dari seks bebas, dan solusinya ada di kalian buat nentuin mau membesarkan anak tersebut atau enggak. Kalau seandainya Jessy butuh konseling, kita bisa bantu, kok. Untuk regulasinya, bisa contact gue lewat Anya."

Semua orang senyap. Situasi mendadak canggung karena secara tak langsung kami semua masuk ke dalam urusan pribadi Jessy dan Nopal. Mereka berdua pun sama, terlihat lesu seperti maling terciduk. Sepertinya baru menyadari bahwa aib mereka tersebar pada kami, teman sekampusnya.

"Oke, karena emang tidak ditemukannya unsur kekerasan seksual, maka kita anggap masalah ini adalah kesalahpahaman antara Jessy dan Naufal. Kita kembalikan kepada kalian untuk menyelesaikan urusan ini, ya. Gue harap semua hadirin rapat menjaga privasi keduanya." Musa kembali bersuara. "Selanjutnya, kami di sini perlu klarifikasi dari Roberto dengan Jessy terkait pernyataan 'tidak adanya respons dari pihak organisasi,' dalam hal ini HMK, terkait perkara yang menimpa Jessy. Menurut ketua divisi sospol, tidak ada aduan dari Jessy secara langsung kecuali melalui Fauzan yang baru disampaikan tadi siang. Bagaimana kalian menanggapi hal tersebut?"

"Point of clarification," kata Roberto tegas. "Gue dapet info dari Jessy kalau ketua sospol kita ini sinis dan cuek, makanya Jessy milih ngadu lewat Fauzan. Saat itu Jessy, kan, merasa kalau dirinya korban, karena respons yang lama dia jadi berpikir kalau laporannya enggak diproses. Dia minta tolong ke gue buat viralin kasusnya. Zaman sekarang, kan, harus viral dulu baru dapet atensi."

"Point of order," sahutku. "Kalau memang ingin segera direspons, hubungi saya. Bukan Bayan, Musa, apalagi Fauzan. Adapun sikap sinis dan cuek yang Jessy nilai ada pada diri saya, tidak valid, karena kami berdua belum pernah berinteraksi terkait kasus ini. Selanjutnya Roberto sebagai ketua divisi kominfo tau bahwa Pak Yanto meminta agar kasus ini tidak terdengar keluar demi menjaga kesuksesan proses akreditasi, sehingga Anda gegabah dengan membuat utas mengenai perkara ini apa pun alasannya."

"Lo baca lagi thread gue deh, Anya. Fokusnya itu mengkritik kinerja HMK, bukan kekerasan seksualnya."

"Lo cek lagi reply sama quote re-tweet di thread lo deh, Rob. Audiens fokusnya ke kasus Jessy. Toh, kalau emang tujuannya mengkritik gue, lo bisa ngelakuin depan muka gue. Gue bukan antikritik, malah gue bersyukur kalau dapet masukan konstruktif."

"Lagian lo nurut amat, sih, sama Pak Yanto? Mau diramein sekarang atau nanti juga bakal tetep ketauan di kita ada kasus ini. Tangkep pelakunya sekarang sebelum korban nambah banyak! Atau jangan-jangan bener yang dikata orang, kalian tuh tau pelakunya tapi sengaja ditutup?"

Ah, Roberto. Alasan yang harus kujelaskan lagi setelah rapat tempo hari. Memang dasarnya ia tak suka padaku, apa pun argumenku ia akan terus menentang.

"Oke, oke, tenang." Musa menengahi. "Tolong forum ini dioptimalkan buat masalah KS, ya. Bukan masalah pribadi. Juga, Roberto, tolong jangan berspekulasi yang bakal nimbulin fitnah."

"Point of order," ucapku begitu sebuah ide terlintas.

"Ya, Anya. Silakan."

"Karena maslaah Jessy terbukti bukan KS, dan thread yang dibuat Roberto terlanjur rame. Saya punya dua ajuan, pertama adalah Roberto segera menghapus utas yang dibuatnya di Twitter. Dua, Roberto ikut bersama Bayan untuk berdialog dengan Pak Yanto. Berdasarkan telepon beliau kepada Bayan tadi, saya menyimpulkan esok hari Bapak pasti membuka ruang dialog."

"Saya sepakat." Bayan berkata dengan tegas seraya mengangkat tangannya.

🌻🌻🌻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro