Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18. Suspect

Kami berempat cukup tercengang dengan kasus Jessy yang disampaikan oleh Bulet. Sedikit bingung karena Jessy dan Nopal memang berpacaran, dan kami hanya mendengar dari sudut pandng Jessy.

"Si Nopal pernah nyuruh Jessy buat aborsi? Atau maksa Jessy buat hubungan badan?" Farrel memecah keheningan di antara kami semua yang jengah untuk berkomentar.

"Kalau dari ceritanya, ya, enggak, sih. Si Nopal cuma ngehindarin Jessy aja katanya," jelas Bulet lagi.

"Menurut gue itu urusan pribadi mereka, lah. Mereka yang enak, mereka yang tanggungjawab. Kalau si Nopal ngehindar terus, samperin keluarganya kek, gimana kek. Ini kita jadi kayak pengadilan agama, anjir."

Dari pernyataan Musa, jelas ia menolak untuk membantu Jessy. Ia menganggap hal ini bukan kekerasan seksual yang sedang marak terjadi di lingkungan kami.

"Saya setuju sama Musa, sih." Bayan mengangguk menyuarakan pendapatnya.

"Tapi siapa tau emang Jessy dipaksa Nopal, kan? Maksud gue, kita temuin mereka aja dulu biar tau dari dua sisi," sanggahku.

"Nah, gue lebih setuju sama Anya." Farrel turut berkomentar, "Tadi kata Bulet, kan, Jessy cuma bilang kalau Nopal lari dari tanggungjawab, dan kita gak tau gimana hubungan mereka sebelum Jessy hamil. Saran gue, kita temuin Jessy lagi buat mastiin dia maunya gimana, dan unsur kekerasan seksualnya tuh, apa. Pemaksaan hubungan badankah? Atau pemaksaan aborsi, atau yang lain? Kalau memang gak ada, ya ... itu urusan pribadi mereka."

"Menurut lo gimana, Bul?" tanya Musa tiba-tiba. "Ini, kan, pendapatnya fifty-fifty, nih."

"Sebenernya gue gak mau ikut-ikutan. Tapi gue kayak udah kepalang basah begini." Bulet menghela napas, dan diam sejenak. Pada saat ini, pendapatnya boleh dipertimbangkan seperti yang Musa katakan, apalagi Bulet juga terlibat langsung dengan kesaksian Jessy yang mengaku korban. "Gue juga setuju sama Anya, sih."

Farrel menjetikkan jari sebelum menyahut, "Kalau gitu, lo tolong bilang ke Jessy buat ketemu gue sama Anya."

"Jessy kayaknya gak mau ketemu Anya, deh," tambah Bulet dengan skeptis.

"Gak apa-apa, dia bisa ngomong ke gue."

"Ya udah, clear, ya, masalah si Jessy." Musa bangkit dari duduknya, lalu berdiri di dekat papan tulis. "Sekarang gue mau ngomongin yang lain."

Semua orang di kamar Bayan memperhatikan Musa, seperti sedang menghadiri rapat paripurna. Aku dan Bulet duduk di sofa, di depan meja kopi. Di seberangku, Farrel duduk di kursi belajar Bayan, lalu di sebelahnya Bayan duduk menggunakan kursi khusus untuk melukis. Kami berempat menghadap ke arah jarum jam 12, menunggu sesuatu yang akan dibicarakan Musa.

"Waktu Anya jemput Rida ke kosannya, gue sebenernya datengin temen gue buat lacak nomer hape pelaku," katanya membuat kami semua mengerutkan alis. "Sorry gue gak ngomong, karena saat itu gue masih curiga ke Bayan."

"Parah lo, Mus."

Aku menyenggol Bulet, mengisyaratkan agar ia tak bercanda dulu sekarang.

"Hasilnya agak syok, sih. Sinyal semua nomer pelaku ini kedeteksi ada di FISIP selama dua hari. Itu, kan, dilacak hari Rabu, dan barusan temen gue ngabarin sinyalnya masih di FISIP," sambung Musa.

"Sekarang udah Magrib, lho. Emang fakultas kalian belum ditutup?" tanya Farrel usai melirik arlojinya.

"FISIP tutup jam delapan, karena ada ruang siaran buat anak ikom," sahut Bayan dengan pandangan lurus ke depan. "Coba, Bul, tanya Lena hari ini siapa aja yang siaran."

"Siap!" Tanpa berkomentar apa-apa, Bulet bergegas melakukan yang dititah Bayan.

Jujur saja aku merasa cemas, khawatir jika pelakunya adalah orang terdekatku. Sumpah, aku bahkan tidak sanggup membayangkan betapa kecewanya yang akan kami hadapi. Selama lima semester berkuliah, teman-temanku adalah rumah. Zafi, Rahma, Lena, Bayan, Musa, juga Bulet, mereka selalu memperlakukanku layaknya saudara sendiri. Meskipun mereka tidak selalu berkumpul bersama, tetapi bagiku merekalah tempatku 'pulang' di perantauan.

Tunggu, kalau sinyal pelaku tertangkap di FISIP, artinya bukan Bulet pelakunya.

Astaga, kemarin aku mencurigainya karena dia memang paling bisa meniru gaya banyak orang. Aku sangat merasa bersalah. Apalagi melihatnya sekarang, ia di sini membantu kami; meskipun aku tahu betul terlibat dalam perkara serius adalah sesuatu yang paling ia hindari.

"Gimana, Bul?" Musa memecah keheningan, membuat kami semua mendongak, menatap Bulet menanti jawaban.

"Lena sama Rahma."

"Gak mungkin kalau Rahma. Waktu Bayan difitnah aja dia sampe ngambek ke gue dua hari," tegas Musa.

"Lena juga gak mungkin. Tiap hari dia sama gue, isi tasnya aja gue yang benahin." Bulet tak mau kalah membela Lena, yang kali ini mau tak mau dimasukkan ke dalam daftar terduga.

Di tengah terbukanya segala kemungkinan, aku teringat sesuatu. "Lena sama Rahma fix banget gak mungkin, sih. Pelakunya, kan, punya penis."

"Bener juga."

"Coba tanya Om Ibnu, Yan," saranku. "Di FISIP masih ada siapa aja gitu."

Bayan mengangguk. Ia pun berjalan ke balkon kamarnya, dan menelepon Om Ibnu. Beliau adalah satpam yang berjaga di FISIP, dan sangat dekat dengan Bayan. Biasanya, jika mahasiswa hendak bergiat di FISIP sampai malam, maka harus melapor kepada Om Ibnu mengenai agenda dan waktu selesainya kegiatan.

Semenit kemudian, Bayan kembali dengan wajah serius. "Cuma ada Neng Rahma, Lena, terus anak hukum yang lagi latihan debat, sama Dito."

"Dito?"

Dito lagi?

🌻🌻🌻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro