Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7 - Maaf

Seharusnya, menunggu akan jadi biasa saja kalau ada yang menemani. Tapi namanya menunggu, pasti lama-kelamaan juga akan lelah. Menunggu nggak cuma modal tempat duduk dan waktu, tapi hati yang semakin lama berkobar kepanasan saking menahan kesal. Untungnya lima cangkir cokelat hangat bisa menemaninya selama dua jam. Serta musik cinta-cintaan—yang tak begitu dipahami Raya—mengalun lembut di kafe malam ini. Setidaknya, dia suka akan tempat ini. Nyaman.

Sambil menunggu Angkasa, Raya membuka notebook. Corat-coret membentuk kalimat yang tak terlalu bisa dibaca.

Kemarin memang cowok itu berjanji akan mengajari Raya matematika di kafe Zhero, juga sudah megembalikan ponsel pink miliknya yang dikira tak akan dikembalikan. Tapi nyatanya, sudah ratusan pesan dikirim ke Angkasa serta lima cangkir cokelat hangat sudah tandas, wujudnya tak juga muncul di permukaan. Dari pukul lima sampai tujuh malam. Se-niat itu Raya menunggu seseorang.

#0103

Tenang saja, Tuan

Gadis ini masih setia menunggu di tengah ramainya malam,

namun tetap saja...

lelah menyergap

Kantuk, kantuk, kantuk

Biar bibir berceletuk

Senyap, hening, dalam sendiri

Tak tahu kapan gadis ini ‘kan berhenti

Pulang, pulang, pulang

Kapan kau membawaku pulang?

Tangis, tangis, tangis

Aku ingin menangis supaya Sang Raja Angkasa tahu,

bahwa lelah benar sesak menelusup jiwaku

—Menunggu Angkasa yang Tak Kunjung Membawaku Pulang, Agustus

Lagi-lagi Raya menutup bibirnya yang terbuka lebar karena tak bisa menahan rasa kantuk. Jam memang masih menunjukkan pukul tujuh malam, tapi dia sudah menguap berkali-kali. Mungkin Raya setelah ini harus memesan kopi daripada susu cokelat, meski dia nggak akan pernah bisa minum kopi. Tapi untuk menahan kantuk, dia akan rela magh beberapa menit saja.

Raya membuka ponsel. Satu pesan muncul di sana. Berharap Angkasa, tapi nyatanya nomor tak dikenal.

+628889xxxxx : Hi there. Kamu di kafe Zhero? Meja nomer?

Dahi Raya sudah berlipat-lipat ketika tahu ada yang mengiriminya pesan tersebut. Nggak mungkin, kan, Angkasa? Mana ada Angkasa pakai ‘aku-kamu’ begitu?

Tak mau membalas pesan tersebut—karena takut dari orang aneh—Raya hanya meletakkan ponselnya kembali di meja, sampai sebuah tepukan mampir ke bahu dan membuatnya terkejut. Namun saat Raya menoleh, dia lihat Melki berdiri sambil menggandeng lengan cewek.

Marsya.

“Marsya?”

Kata itu yang keluar pertama kali dari bibir Raya ketika lihat Marsya ada di hadapannya. Dengan Melki tentu saja. Marsya yang ... cantik, bajunya sangat menunjukkan bahwa cewek itu fasihonable, juga rambut yang wangi saat cewek itu melewatinya.

Pantas saja Melki suka.

Binar mata Raya masih memerhatikan kecantikan Marsya, sampai tak sadar bahwa Melki memilih duduk di sebelahnya daripada pacarnya sendiri.

Cewek berambut gelombang di bawah itu menjulurkan tangannya, “Gue Marsya.”

Raya mengerjap, “Oh—aku Raya.”

Marsya tersenyum ramah membalasnya.

“Ray, aku ke sini mau bilang, kalau Angkasa nggak jadi ngajarin matematika.”

Raya terkejut. Perhatiannya langsung terpecah saat itu juga.

“Terus?!”

Melki mengedikkan bahu, “Ya sebagai gantinya, dia ngirim aku ke sini. Ajarin kamu.”

Tak peduli pada pasangan di dekatnya, Raya hanya merasa hatinya memanas dan sesak. Hanya tangannya di bawah meja yang tahu sedang melakukan apa untuk meluapkan emosi. Menggenggam erat bolpoin dan menyebut nama Angkasa di dalam hati. Menekan semua rasa kekecewaan.

Ya, Raya hanya kecewa. Ia berharap, perasaan kecewa ini tak berkelanjutan.

*

“Ya udah Ray, kalau kayak gini tinggal dimisalkan aja. U—“

Tatapan Raya masih pada ponsel. Ponsel yang tergeletak tak bernyawa beberapa senti di dekatnya. Menunggu ucapan minta maaf dari Angkasa, atau apapun itulah. Dia nggak akan mau Angkasa gonta-ganti peran. Karena yang Raya tahu, saat Angkasa berjanji, berarti harus ditepati. Lagian, dia sudah menunggu seperti orang kurang kerjaan. Tahu gitu, dia bisa menemani mamanya di rumah.

“Aish...” Raya berdecak dan menelungkupkan kepalanya di lengan. Berusaha memusnahkan pikiran tentang Angkasa yang terus melekat di otak. “Please, pergi...”

“Pergi, Ray?” tanya Melki sambil menyingkirkan rambut hitam Raya.

Raya diam. Dia sebenarnya kaget kenapa Melki pegang-pegang, padahal masih ada Marsya yang masih asyik dengan dunianya sendiri—handphone.

Nggak juga mengangkat kepala, Melki akhirnya menyerah. “Kamu butuh sesuatu?”

“Kopi?”

“Sip. Kupesankan untuk kamu,” balas Melki lembut disusul suara derit panjang dari kursi tempat Melki duduk.

Raya kembali menghela napas di balik lingkupan tangannya sendiri. Ia pusing, kenapa apa yang disampaikan Melki nggak juga masuk ke otak. Dia butuh trik Angkasa. Minimal satu, dua, atau tiga trik sederhana untuk membuatnya semangat belajar. Karena Melki seperti guru kalau menjelaskan. Dia nggak akan paham.

Deheman khas perempuan, membuat Raya sadar. Bahwa tak seharusnya ia cuek pada Marsya. Sontak saja Raya duduk tegap dan merapikan rambutnya yang awut-awutan.

“Yeah ... nggak seperti Marsya yang rapi. Lihat aja Ray dari rambut sampai bawah,” teriak batinnya di dalam hati.

Raya akhirnya meringis pada cewek cantik itu.

“Hei, Sya?”

Marsya tertawa renyah. “Nggak usah kaku lo. Santai aja.”

“Oke.”

“Oh iya Ray, lo mau pedekate sama Melki nggak apa-apa, lho. Gue malah setuju banget.”

“APA?”

Raya hampir saja terjungkal kalau tidak pegangan meja. Ucapan Marsya barusan membuatnya melotot karena ucapannya tadi sangat gila. Pendekatan sama Melki sedangkan Marsya adalah pacar cowok pintar itu.

Gila.

Kata itu terus berputar di benak Raya karena Marsya memang gila. Tatapan horor yang Raya beri, malah ditanggapi dengan kekehan panjang yang membuatnya ngeri.

“Kamu gila, ya?” tanya Raya was-was.
Marsya menggeleng mantap. “Nggak sama sekali. Gue bukan pacar dia, kok. Tenang aja.”

“Terus?”

“Ya nggak ada terus.”

“Kok bisa?”

“Bisa pura-pura pacaran?” tanya Marsya yang dijawabi anggukan oleh Raya. “Ya bisa aja. Karena gue udah suka sama sahabatnya, yang masih nggak mau ngakuin perasaannya kalau dia suka sama gue.”

Raya hanya bengong.

“Lucu nggak sih?” tanya Marsya sambil tertawa lagi.

Kerutan di dahi Raya semakin banyak. Ia sangat bingung harus menanggapi curhatan Marsya seperti apa. “Nggak lucu. Kenapa kamu ketawa?”

“Ya nggak apa-apa. Gue kadang bingung, Melki kenapa mau jadiin dirinya tameng dan alat bantu untuk temannya yang nggak peka itu. Jadi, gue setuju aja kalau lo pedekate sama Melki. Karena sepertinya, dia udah mulai peka sama gue.”

Raya tersenyum lega, “Baguslah. Selamat. Tapi aku nggak suka Melki.”

“Oh, ya?” Marsya terkejut. “Padahal Melki sempat beberapa kali bilang kalau dia penasaran sama lo.”

“Penasaran aja.”

Marsya menggeleng, “Nggak sih menurut gue. Dia sama gue aja nggak pernah aku-kamu kayak ke elo. Di depan Angkasa doang sih aku-kamu.”

Raya mengangguk-angguk. Namun begitu beberapa detik sadar akan ucapan Marsya, tubuhnya meremang. Lalu bibirnya refleks bertanya, “Orang yang kamu maksud itu Angkasa?”

Marsya tersenyum lebar lima jari, “Iya.”

Itu serius?

Setelah Faricha, Lisa, Sasa, sekarang Marsya?

Sebenarnya se-berapa playboy-nya sih, Angkasa itu? Dan kenapa suka sekali memberi banyak perhatian pada perempuan?

Namun Raya bisa lihat kali ini kalau cowok jail itu juga suka Marsya. Meski dia bukan cenayang. Tapi ... kenapa masih terasa ganjal sampai sekarang? Seperti perasaan tak ikhlas, atau mungkin perasaan yang tak bisa ia jabarkan dengan kata-kata.

*

“Cewek Aneh...”

“Oneng!”

“Neng!”

“Gue panggil dari tadi belagu banget sih, lo?!”

Tarikan paksa dari tasnya membuat Raya hampir saja jatuh. Cewek yang sekarang rambutnya terkucir rapi itu menahan kesal karena panggilan tak enak pagi-pagi dari Si Biang Kerok Angkasa. Raya berusaha untuk nggak emosi, karena lewat lapangan hijau, suasana jadi damai meski terganggu sama suara bising Angkasa.

Nggak mau meladeni, Raya memilih jalan cepat memutari lapangan hingga sampai ke koridor kelas 12.

“WOI!”

“BALIK!”

Teriakan sangar dari Angkasa membuat Raya kesal setengah mati. Kalau saja cewek itu di dekatnya, sudah dipastikan mulut Angkasa sekarang dia kucir sampai melintir.

Sedangkan di tempatnya, Angkasa juga emosi sampai mau melempari Raya pakai sepatunya. Tapi nggak dilakukannya, karena mengejar Raya membuatnya kesenangan. Hitung-hitung, olahraga pagi.

Otak cemerlangnya mendadak memunculkan lampu bohlam yang berpendar. Sebuah senyum nakal tercetak tipis di bibir Angkasa, membuatnya langsung mendatangi Raya dengan kaki terjulur saat di dekat cewek itu.

“Aaaaak!”

Brak!

Tanpa aba-aba dan tanpa tahu adanya pergerakan dari manapun, Raya sudah tersandung dan jatuh di bawah lantai depan kelas 12 IPA 1. Untung bukan kepalanya dulu yang jatuh, tapi tangannya yang sigap menahan berat badan. Namun Raya masih meringis kesakitan, dan ketika sadar, tangannya nggak sengaja diinjak sesuatu. Sebuah kaki dengan balutan sepatu sport ceklis warna pink, lengkap kaus kaki putih yang sedikit pudar ganti warna krem.

“Aduh, lepasin tanganku! Sakit!” teriak Raya tak bisa mendongak.

Angkasa yang melihat kejadian itu, langsung menyentak tubuh Faricha kasar. Tatapannya seketika menajam begitu tahu Ica tak tahu malunya malah melengos begitu saja setelah menginjak kaki Raya, bersama dua teman-temannya.

Angkasa menatap ke bawah, dimana Raya masih jatuh dan nggak juga berdiri.

“Bangun,” Angkasa menarik lengan Raya paksa.

Raya menyentak tangan Angkasa, tak menerima bantuan cowok itu yang masih mengulurkan tangan.

Terkejut karena baru saja ditolak, Angkasa menunduk. Menilai keadaan Raya dari dekat, meski terhalangi kucir kuda cewek itu.

“Lo nangis?” Angkasa bertanya remeh ketika tahu beberapa bulir air mata turun ke pipi Raya.

Raya diam. Meneruskan langkahan kakinya ke kelas. Semua mata jadi tertuju pada Angkasa dan Raya sekarang. Menatap keanehan dari mereka berdua, dan mulai bergunjing di depan publik. Sampai terkadang, saat melewati mereka, Raya dengar sedikit demi sedikit.

Tapi ia tak peduli. Entah kenapa, hatinya lumayan perih saat ini.

Angkasa yang masih tak mengerti alasan Raya menangis, langsung mengikuti ke mana gadis itu pergi.

“Raya!” teriak Angkasa dalam.

Raya tak bergeming. Masih setia jalan dan ketika sampai di belokan, cekalan kuat dari belakang membuat tubuhnya refleks berbalik cepat.

“Mau kamu apa, Angkasa?!” Raya berusaha melepaskan cekalan di tangannya. Tapi dia juga takut akan tatapan cowok itu yang menajam.

Angkasa diam. Cekalannya tambah mengencang ketika Raya memaksa untuk melepaskan. Guratan lelah, malu, dan ingin menangis lagi terlihat jelas di wajah cewek itu. Cowok itu bisa melihatnya dengan jelas.

Sorry,” Angkasa melepas cekalannya, “gue nggak tau kalau terlalu kelewatan tadinya.”

“...”

“Maaf semalam gue nggak datang.”

“Kenapa?” tanya Raya sumbang. “Kasih alasan sejujurnya.”

“Gue ketiduran.”

Raya langsung tersenyum miring, lalu terkekeh ketika tahu dia seperti anak kecil yang mudah dibohongi. “Terus kamu kasih Melki ke aku? Suruh dia ke sana?”

Angkasa bungkam.

“Jahat kamu, Sa.” Hanya itu yang keluar dari bibir Raya. Ingin mengumpat, tapi itu bukan dirinya sekali. Dan mengumpat tak membuat Angkasa sadar.

Raya segera berlalu meninggalkan Angkasa sendirian. Membuat lelaki itu diam dalam keheningan sambil mengamati punggung kecil itu dalam diam. Di pikiran cewek itu, hanya ada satu hal—yaitu jangan pernah dekat lagi dengan Angkasa. Karena itu sama saja mendekat pada bahaya. Dan di pikiran Angkasa, satu hal yang masih berputar. Bagaimana cara mendapat maaf dari cewek yang selalu ia anggap aneh itu.

*

Istirahat pertama, seorang lelaki berjalan santai tak memedulikan tatapan aneh murid-murid lainnya. Langkahnya sudah terlalu mantap ke salah satu loker seorang siswi, lalu ketika keadaan di sekitar lengang, secarik kertas biru ia masukkan ke lubang kecil di loker.

Kepada | R a y a

Biar senja yang hilang saat petang, senyummu jangan.

Biar langit berseri, maafku juga terberi.

Biar kata sederhana, yang penting ada usaha.

Senyum, jangan manyun.

Kasihan langit. Dia ingin lihat senyummu.

Kasihan langit. Kalau kamu nggak cantik lagi.

—Rumput Bergoyang

*

:(

Apa pesanmu untuk Angkasa?

Buat aku apa? (yakali ada)

Sampai jumpa~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro