Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5 - Angkasa Sepertinya Mendung

Kamu tahu?

Ayah terlalu takut mendekap sesuatu dengan amat erat karena Ayah bukan penguasa skenario.

Terlebih,

isi hati manusia saja Ayah tak tahu.

Jadi kalau dipikir, kalau dia tidak bisa mencintaimu, membuatnya benci itu lebih mudah karena kita akan selalu ada di pikirannya. Meski pada kenyataannya hati kita terlalu amat mendamba dirinya.

Usaha untuk menaklukkan hati berbeda-beda, bukan? Ada yang langsung terpikat, ada yang menunggu bertahun-tahun, ada yang menyadari saat dia pergi. Yang terpenting, anak Ayah jangan memilih opsi terakhir. Sakit hatinya lebih besar.

Jadi, beri tahu pada Ayah, Jagoan. Siapa dia?

-Tirta Natawijaya, pada buku catatan milik Angkasa

*

"LEPASIN!"

Di atap sekolah, Raya berteriak kencang meneyrukan kekesalannya pada cowok tak berperasaan itu. Pergelangan tangannya merah, membuatnya meringis karena tarikan dan cengkraman kuat yang sengaja Angkasa lakukan.

Dulu saat Raya gemar menulis puisi di blog-meski sekarang masih-dia selalu membayangkan cowok manis yang selalu memperlakukannya baik-seperti Melki misalnya? Ingin dibalas puisinya juga, karena Raya suka cowok yang gemar menulis meski dianggap cheesy. Karena dia ingin abadi di dalam tulisannya meski raga tak ada di dunia. Bukankah itu romantis? Bukan seperti Peta Angkasa Natawijaya yang lebih memilih teriak-teriak tak jelas, mendorong, paksa dia, dan mempermalukan pacarnya sendiri-Faricha-di depan gerbang.

Ini Faricha yang punya semua. Kedudukan, harta, kecantikan, kecuali otak. Faricha bahkan disukai banyak cowok di SMA Nusa Cendekia dan kadang ada yang terang-terangan menyatakannya pada Ica. Sayang, Ica hanya suka Angkasa. Hebatnya lagi, di semester pertama, katanya Ica sudah diterima di salah satu universitas Indonesia. Tak heran, ayahnya kepala sekolah dan banyak uang.

Raya terkejut saat ingat kalau boneka besar yang diberi Ica, entah sudah di mana sekarang. Dibuang begitu saja oleh Angkasa.

"KAMU NGGAK PUNYA PERASAAN, YA?" Raya menyentak tangan Angkasa.

Cowok tinggi dengan mata yang tak pernah Raya ketahui sedang memikirkan apa, masih bungkam. Mengatur napas yang ikut memburu, terlebih Raya yang terpaksa menyamakan langkah panjang cowok tinggi tersebut.

"Angkasa! Kamu bisa 'kan, buat ambil boneka Ica lagi? Kasihan, dia pacarmu!"

Angkasa melengos. Menatap bangunan lain dari atap sekolah.

"Angkasa!"

Angkasa berdecak. "Diam. Lo selalu berisik," balasnya lembut, "gue Cuma perlu ketenangan."

Raya mengernyit, "Emang kamu ada gangguan psikis?" Jari Raya berputar di samping kepala, tak percaya. Bahkan mulutnya menganga.

Cowok yang tengah menggulung kemejanya itupun berdecak lagi. Menoleh pada Raya dengan gerakan pelan, namun ekspresinya sangat menunjukkan rasa lelah. "Lo selalu nyimpulin sesuatu. Gue saranin jangan ambil jurusan psikolog besok. Karena lo nggak peka sama sekali."

Raya mengerjap cepat. Menatap Angkasa intens.

"Dan jangan tatap gue kayak gitu! Ntar suka, gue yang repot!" Angkasa menjauhkan wajah Raya. "Lo kan cuma pesuruh."

"IDIH!" Tak terima, cewek itu menggeplak lengan Angkasa. "Aku nggak akan, ya, suka sama kamu! Aku heran deh, kenapa orang tua kamu yang punya senyum hangat tapi kamu enggak? Dan jangan lupa, kamu sudah punya pacar. Aku juga!"

Raya tak terima dong, kalau Angkasa mengira dia jomlo. Pacarnya itu ...

"Pacar lo siapa, Oneng? Gaya lo selangit aja."

"Pacar aku tuh, ya ..." Raya mendekati wajah Angkasa sambil jinjit. Angkasa mengerutkan kening tak suka meski tetap terlihat santai. "Pacar aku ... kepo nggak kamu?"

Napas Raya baunya stroberi. Angkasa jadi salah fokus dan berpikir beberapa detik, pasta gigi apa yang dipakai cewek itu? Sadar, Angkasa mendorong wajah menggemaskan Raya dengan cepat. Malah terlalu cepat sampai membuat Raya hampir saja terjatuh.

"Napas lo bau!" ketus Angkasa nyelekit di hati Raya. "Jadi, pacar lo siapa?"

Masih cemberut, dia menjawab, "Rangga," dengan suara pelan.

"Siapa tuh Rangga?"

"Ya Rangga!"

"Ya siapa, Oneng?"

"Ah! Stop panggil aku Oneng!"

Angkasa tersenyum jail. Senyum pertamanya setelah sampai di atap. "Karena lo emang Oneng."

Raya berdecak, "Rangga dan Raya. Yang Ada Apa dengan Cinta? Tahu?"

"Ah elah! Itu sih mau lo!" Angkasa memutar matanya malas.

Ia tak jawab. Hanya terkekeh karena cowok itu masuk ke perangkapnya. Meski begitu, Raya sudah tak se-emosi tadi. Pikirannya jadi sedikit tenang karena meskipun Raya bukan psikolog-seperti yang dibilang Angkasa, tapi kali ini ia jadi tahu tatapannya. Lelah.

Hening. Angkasa mulai berjalan ke pembatas. Duduk di sana sambil membuka seluruh kancing kemeja, menampakkan kaos putih yang membuat angin langsung masuk. Raya mengikuti Angkasa untuk duduk, tapi nggak duduk di pembatas. Memilih jongkok di belakang pembatas.

"Kamu capek, ya?" tanya Raya tiba-tiba. "Capek dicintai? Soalnya kamu kayak nggak mau gitu dikasih boneka sama Ica."

"Bodoh atau gimana sih lo? Heran gue. Cowok nggak ada yang mau dikasih boneka!"

"Oh, ya?"

"Hng."

Tangan Raya mengambil batu merah di dekatnya, lalu menulis di pembatas. Angkasa Raya. Gila memang kenapa dia menulis itu. Tapi kalau dibaca, lucu juga.

"Angkasa, lihat deh..."

"Males."

"Iiihhhh..." Raya menarik kemeja Angkasa. "Lihat dulu. Lucu nih... lihat apa yang aku tulis."

Setengah malas, Angkasa menoleh ke bawah. Namanya dan cewek aneh di sampingnya ini, tertulis sempurna di pembatas semen atap sekolah.

Bukannya protes, ia hanya menyentil kening Raya. "Jangan berharap sama gue."

"Ih, bukan. Berharap apanya?" Raya manyun. "Habis ini aku juga ambil ponsel, dan kita nggak akan hubungan lagi, kok. Serius. Aku Cuma tahu nama kamu, tapi kamu enggak. Itu mah nggak kenal. Kita kan Cuma terlibat salah paham waktu di kolam renang itu."

Alis cowok itu terangkat satu. Terlihat tampan meski masih terlihat datar. Raya jujur akan hal itu.

"Aku mau minta maaf, ya, Angkasa. Mungkin waktu itu aku nggak tepat banget datangnya. Jadi, kamu salah paham." Raya nyengir, menampakkan giginya yang kecil-kecil. "Tapi kamu udah lihat isinya kan? Isi galeri? Nggak ada, kan? Jadi aku mau minta sekarang. Aku nggak mau jadi cover-an buat pacarmu-untuk masalahmu sama Ica pacarmu itu. Aku soalnya udah sibuk banget jadi tukang upload blog SMA."

"Ica bukan pacar gue."

Kening Raya bergelombang. "Bukan? Oh iya, pacar kamu kan banyak."

"Sok tahu."

"Udah, ya? Aku minta hape sekarang." Kedua tangan Raya menodong Angkasa di depan dada. Ditambah muka menggemaskan, Angkasa jadi diam beberapa detik sambil mengamati.

Poni jarang-jarang, rambut hitam panjang yang sekarang terlihat berantakan, alis yang tak terlalu tebal, hidung mungil, pipi kuning langsat yang membuat Angkasa ingin menarik pipi itu sampai melar, juga mata berbinar. Angkasa suka mata berbinar karena mengingatkannya pada bundanya. Entah kenapa, tiap melihat mata Raya, Angkasa selalu merasa disukai. Ada wujud Angkasa di mata Raya ketika ia melihatnya, juga jernih. Secara keseluruhan, Raya menggemaskan-Angkasa tak menyangkalnya. Tapi dia juga tak mau jatuh hati terlalu cepat.

Terlebih pada Raya yang selalu menyebalkan di matanya.

Masih diam, Raya menjulurkan tangan di depan wajah Angkasa, membuat cowok itu terkejut dan langsung menyentak tangan Raya. Gadis itu terkejut, karena sentakannya terlalu kasar.

Tapi Angkasa tak merasa bersalah.

"Hape lo hilang. Gue nggak tahu," balasnya santai.

Raya melotot cepat. "Kamu serius?!"

"Hm. Udah, kalau pesuruh mah pesuruh aja," Angkasa turun dari pembatas dan menunduk pada Raya, "gue cabut."

*

"Angkasaaa! Ayahmu pulang!"

Teriakan dari bawah yang tak lain berasal dari bunda, membuat Angkasa yang sedang menulis di meja kamarnya, langsung terhenyak begitu saja. Melangkah cepat untuk turun dan menemui ayahnya.

Sampai di bawah, ia sudah melihat ayah dan bundanya seperti kaula muda yang lagi hangat-hangatnya merajut asmara. Meski orang tuanya hanya saling tatap.

"Bunda jangan teriak," ucap Angkasa pertama kali saat turun.

Ayahnya, langsung menoleh pada putra kebanggaannya. Angkasa tersenyum dan mencium tangan ayahnya cepat.

"Jagoan Ayah, nih Bun."

"Assalamualaikum, Yah."

"Waalaikumsalam..." Ayah tersenyum penuh wibawa pada putranya dan mengajak duduk di meja makan. "Kamu kok tambah ganteng begini, Dek? Udah punya pacar jangan-jangan?"

Angkasa menghembuskan napas. "Yah, jangan panggil Adek lagi. Sudah besar."

Ayahnya tertawa, "Jadi?"

Bundanya tiba-tiba menyahut, "Udah, A'. Angkasa itu kemarin bawa hape cewek warna pink. Punya pacarnya itu."

Angkasa melotot. "Bukan, Bunda."

"Alah ... bohong." Bundanya mencebik. Sedangkan sang Ayah hanya tertawa terbahak mendapati anaknya kesal.

Bahkan Angkasa sudah kembali ke dalam kamar karena tak suka akan pembahasan 'pacar'. Sampai di kamar, Angkasa langsung tidur karena niatnya tadi memang mau tidur. Tak peduli pada buku catatannya yang masih terbuka, tubuh lelahnya sudah sangat nyaman di kasur sampai tak sadar lagi sudah berada di alam mimpi.

Tak berapa lama, seseorang yang selalu jadi panutan Angkasa dan sangat diidolakan olehnya itu, datang. Membuka pintu kamar putranya dengan langkah tenang.

Tirta Natawijaya, yang masih terlihat bugar meski rambutnya sudah memutih dan sering disemir, menatap Angkasa sekilas sebelum mematikan lampu meja belajar di sudut ruangan. Namun ketika beberapa kata ia tangkap di sana, Tirta hampir saja menyemburkan tawa.

"Angkasa ini..." gumamnya sambil menggeleng-geleng.

Sedari dulu, Tirta tak pernah jail. Tapi entah mengapa, tangannya gatal ingin menulis sesuatu di sana.

*

Dua hari setelahnya, Angkasa tak mendapati Raya lagi. Padahal kemarin dia menyuruh cewek itu untuk tetap patuh pada suruhannya. Kadang, dia pikir kalau kelakuannya kelewatan. Tapi, Angkasa tak mau berpikir jauh. Cewek aneh itu tak akan berpikir sampai sana juga.

"Bro, lo lihat Melki?" Reno yang baru gabung di meja kantin bersama Abi dan Angkasa, langsung bertanya tiba-tiba.

Abi yang sadar, terkejut sendiri di kursinya. "Iya ya? Si Cupu itu mana coba? Apa lagi pojokan sama Marsya?"

"Omongan lo, Bi! Kagak disaring pasti. Bukan pojokan, tapi uhuy-uhuy." Reno mendengus.

Angkasa mengernyit. "Apaan tuh?"

"Ya ngapain lagi kalau nggak belajar?" Temannya yang berasal asli dari Jawa itu terbahak. "Pikiran lo mesum, ya?"

"Si Asem. Kagak lah."

"WOI!" Abi menggebrak meja. "Malah bahas itu."

Reno menggaruk rambutnya. "Oh iya ya. Padahal gue butuh dia sekarang!" ucap Reno medok ditambah frustasi.
Angkasa hanya diam. Kepalanya ganti menoleh ke sepenjuru kantin untuk mencari keberadaan Melki.

"Kenapa lo butuh Melki?" tanya Angkasa sambil memindai.

"Dia utang karo aku, Johnnn."

Angkasa mengangguk sekilas. Namun begitu tatapannya berhenti pada sosok pasangan yang sedang jalan sambil memegang buku, jalan berdua ke kantin, ia jadi mengernyit bingung.

Dan tanpa sadar, bibirnya mengucap, "Sejak kapan cap playboy gue ada di Melki?" Pada kedua temannya.

"Aish, sial."

Angkasa langsung bangkit dan mendatangi mereka berdua, menarik Raya cepat seperti biasa dan membawanya ke tengah-tengah kantin. Membuat siswa lainnya menjadikan mereka tontonan. Termasuk Melki yang masih bingung.

"Bilang, kemarin gue nyuruh lo apa?"

"Hah?"

"Yang keras!"

*

Biar Angkasa mengukir awannya sendiri yah~

Dan aku nggak sabar untuk ke tahap konflik. Besok update. Aye!

Nih, buat dedek-dedek gemes atau yang masih cekulah baca, ini buat kalian dari Angkasa.

Angkasa : mudah kan Cuy?

Love

Inge Shafa

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro