2 - Di Bawah Naungan Angkasa
Istirahat kedua, tak membuat Raya langsung ke kantin. Dia memilih pergi ke 11 IPA 2 untuk bertemu Arsen—adik kelasnya yang suka fotografi. Untuk lomba besok, Raya harus bisa menuliskannya di blog dan tentunya dia harus kerja sama dengan Arsen. Karena Raya berani bertaruh kalau foto-foto Arsen selalu kece.
Raya yang pendek—meski berisi, membuatnya leluasa untuk berlarian di lorong kelas sebelas. Saat pupil matanya yang selalu berbinar menangkap sosok Arsen, ia segera teriak.
“Arsen!”
Tak butuh pengulangan, Arsen langsung menoleh pada Raya, dan tersenyum sopan. Bibirnya pelit untuk mengulas senyum, batin Raya. Tapi tampan. Meski menurut Raya, Nicholas Saputra juaranya.
Arsen mendatangi Raya dengan tenang.
“Ya, Mbak?”
Mata Raya membelalak. “Mbak?” Lalu gadis itu tertawa, “Emangnya aku mau nawarin kamu produk apa?!”
Raya tertawa terbahak-bahak. Karena sungguh, Arsen adalah makhluk yang lucu—menurutnya. Oh, tentunya setelah Angkasa yang menurutnya aneh dibanding kata karismatik dan cool. Sedangkan Arsen masih diam. Alisnya menyatu tanda ia sangat kebingungan.
Sadar, Raya meletakkan tangan di depan dada. “Sorry sorry. Garing yah?”
“Mbak butuh apa?”
“To the point banget sih kamu.”
Arsen diam. Membuat Raya mati kutu karena dia terlalu ceria dan tidak tahu kondisi.
“Sorry lagi hehe. Maksudku, aku datang ke sini mau ingetin buat besok bawa kamera yah. Sama memori yang gede. Kayaknya bakal banyak deh fotonya...” Raya mencebikkan bibir, siap-siap pasang wajah semelas mungkin. “Bisa kan, Ar?”
“Bisa Mbak,” jawab Arsen kelewat cepat.
Mata cokelat Raya langsung berbinar. “Beneran?!”
“Iya Mbak.”
“Makasih, ya!”
Raya yang kelewat senang langsung menggeplak lengan Arsen. Dia jadi sok kelihatan sudah kenal Arsen dari dulu. Tapi cowok berambut hitam berpotongan rapi itu malah diam. Membuat Raya langsung terkekeh garing.
“Diinget loh, Ar. Dan btw, jangan panggil namaku ‘Mbak’. Raya aja. Ra-ya. Karena aku masih muda, kayak adek kamu malah.” Raya terkekeh lagi. Lalu menunjuk leher Arsen dan pucuk kepalanya bersamaan. “Nih segini tinggiku.”
Bukannya paham, Arsen malah makin membuat guratan di keningnya semakin dalam. Entahlah, kakak kelasnya itu selalu tak pernah sedih dan Arsen juga belum pernah melihat Raya menangis. Selalu tersenyum dan aneh seperti ini. Dia bahkan pernah berpikir, kalau senyumnya Raya itu sebuah penyakit.
“Udah ‘kan?” tanya Arsen kelepasan.
Raya langsung menarik tangannya dan terkekeh. “Iyap. Sudah. Hehe.”
Gadis dengan rok krem dan training merah marun itu, segera lari dari sana sambil terus menepuk jidat. Lagi-lagi tingkahnya yang sok dekat, membuatnya semakin malu.
*
Mama
Ma, Raya kayaknya pulang agak sore. Ngetik banyak :(
Setelah mengirim pesan, Raya segera mengantonginya di saku training. Saat siang begini, taman memang selalu jadi tempat yang nyaman, pikirnya. Maka dari itu, Raya pinjam novel di perpustakaan untuk dibawa ke taman. Sasa bilang, dia akan menyusul karena harus bertemu panitia lomba Agustusan.
Raya tersenyum, saat dilihatnya taman sangat sepi. Tapi itu tak berlangsung lama saat tatapannya bertubrukan dengan seseorang yang berlari membelakangi Raya. Berlari ke arah kolam renang. Berdua. Saling bergandengan tangan, meski terlihat tergesa-gesa.
Dan mereka bukan sepasang kekasih, kan?
Hampir saja Raya akan teriak kalau dia tidak ingat sedang berada di balik pohon—sembunyi. Pikirannya ke mana-mana ketika tahu bahwa kedua pasangan itu malah menuju ke kolam renang. Bukannya hari ini tidak ada jadwal renang sama sekali untuk kelas 12? Raya sangat yakin, itu adalah anak kelas 12 dan jika dilihat dari belakang, itu adalah Faricha.
Faricha atau biasa dipanggil Ica. Anak kepala sekolah yang menjadi pentolan geng cewek-cewek hits di SMA Nusa Cendekia. Kadang suka buat masalah dan labrak murid lain. Alasan klasik, yaitu merebut pacar Ica sendiri.
“Gue kan udah bilang sama elo, Angkasa!” Teriakan itu menggema di kolam renang yang sepi.
Raya memegang novel di dekapannya erat. Dia Angkasa! Terlihat jelas Angkasa karena cowok itu berdiri angkuh sambil memasukkan tangan di kantung celana. Siapa lagi yang bisa berdiri sangat angkuh selain Angkasa?
Raya berdecih. Meski cowok itu membelakanginya, tapi dia bisa lihat dengan jelas.
Jadi benar, kabar bahwa Angkasa suka mainin perasaan cewek?
“Wow,” gumam Raya berbisik.
Ica, cewek dengan gaya selalu up to date itu maju sampai Raya bisa lihat kalau Angkasa memundurkan kepalanya.
“Kenapa, Asa?”
“Don’t you dare, Faricha!”
Angkasa memegang erat bahu Ica. Tapi di mata Raya, mereka seperti ... akan berciuman. Bahkan Raya sudah menahan napas dan novelnya akan ia gunakan untuk menutup mata.
Tapi sebelum semua itu terjadi, dengan suara lantang yang menggema di sepenjuru kolam renang, ponsel Raya berdering hebat. Suara khas Camila Cabello menjerit-jerit membuat Raya panik setengah mati.
Tangan Raya bergetar, mengambil ponsel, dan akan segera berlalu. Namun yang pasti, Angkasa dan Ica sudah tahu. Menyebabkan cowok berambut hitam yang terlihat berantakan itu mendorong Ica panik, dan menoleh di titik di mana Raya berdiri. Gadis itu mematung sambil mencoba menghentikan teriakan dari penyanyi tersebut.
Dengan langkah lebar, Angkasa mendatangi Raya. Raya yang panik langsung berlari. Meski semua itu terasa sia-sia. Angkasa sudah mencengkram kuat lengan Raya sampai tangan cowok itu memerah.
Ica yang terkejut di tempat, berubah jadi takut saat tahu dia adalah Raya. Anak jurnalistik, tukang upload berita baru, dan sumber utama berita sekolah beredar.
*
“Lo siapa?” tanya Angkasa datar.
Raya menutup matanya erat. Takut. Suara Angkasa lebih seperti suara polisi yang pernah menilangnya saat belum punya SIM dulu.
“Lo siapa, gue tanya!” Kali ini, suara Angkasa lebih keras. Membuat suaranya menggema.
Tubuh Raya tambah gemetar di bawah intimidasi Angkasa. Sumpah, demi koleksi majalah Calvin Klein milik Sasa, dia sangat ketakutan.
Mendengar suara ketukan sepatu di lantai pinggir kolam, Raya seperti mendengar suara sepatu Pak Subur—guru olahraganya yang mudah tersulut amarahnya.
“Angkasa...” panggil seseorang itu takut. Dia Faricha, Raya tahu meski matanya masih memejam. “Dia anak jurnalistik. Pasti bakal nyebar gosip tentang kita barusan.”
Mata Raya langsung terbuka cepat. Tak terima dengan pernyataan Ica yang kelewat sok tahu.
“Bukan! Aku belum pernah nyebar gosip!” Sentakan dari Raya membuat sebela alis Angkasa terangkat.
“Aku nggak nyebar gosip, aku cuma upload berita asik-asik di sekolah dan—“
“Wait,” Angkasa memotong, “belum pernah berarti akan?”
“Enggak. Bukan gitu!”
“Lo siapa, hm? Sok tahu kehidupan orang lain, suka ikut campur, penyebar gosip sampah di sekolah, nguntit dan ngerekam semuanya?” Angkasa berdecih.
Raya menatap itu semua. Gerak-gerik bibir Angkasa di hadapannya itu membuat nyali Raya ciut. Ditambah, Angkasa punya sejuta ekspresi yang mampu lawan bicaranya bungkam. Dapat dari mana Angkasa punya ekspresi seperti itu?
“Jawab!”
“Aku nggak tau! Bahkan aku nggak tau yang kalian omongin itu apa!”
“Pembual,” Angkasa berdecih pelan.
Cowok bertubuh tinggi itu menatap barang yang ada di genggaman Raya. Sebuah ponsel. Lalu, secara paksa, Angkasa menarik ponsel putih milik Raya. Membuat sang pemilik melotot tak terima.
“Balikin! Please, Angkasa! Balikin!”
“Nggak.”
“Angkasa!” jerit Raya sambil menarik lengan cowok berkulit kuning langsat itu.
Angkasa lagi-lagi berdecih. “Lo kenal gue?”
“Nggak...” bisik Raya pelan.
“Terus kenapa panggil nama gue? Sok akrab? Sok kenal?”
“Nggak, sih. Tapi masa aku panggil kamu Bang Haryo?”
Bang Haryo adalah tukang kebun SMA Nusa Cendekia. Tubuhnya gempal, dan berkebalikan dari Angkasa. Bang Haryo sangat ramah.
Angkasa lagi-lagi melotot. “Berani jawab?”
“Aku emang gini, Mas Angkasa Peta Natawijaya. Ih ... dasar tempramental. Kalimatmu kalau di kertas tadi tuh ada tanda tanyanya, makanya kujawab.”
Entah dapat keberanian dari mana, Raya dengan santai menjawab. Meski tangannya saling mengepal untuk mengurangi takut. Dia tidak akan mencari masalah lagi dengan ikut campur urusan orang. Raya janji itu di dalam hati.
Angkasa mendengus tak suka. “Gue pastiin kalau ponsel ini,” Angkasa mengangkat ponsel putih Raya, “masih ada di tangan lo, lo bakal upload di blog dan nyebar kabar hoax. Gue nggak bodoh, dan pasti lo tahu.”
“Ha?”
“Maksud kamu apa, Sa?” tanya Ica dari balik punggung Angkasa.
Raya menilik keberadaan Ica. Sangat cantik dan ideal. Ica jadi iri akan tubuh Ica yang tinggi.
“Lo harus mau jadi pesuruh gue,” ucap Angkasa final.
“Hah?” Raya membuka mulutnya lebar.
Tubuh Raya bahkan tak lagi miring. Dia berdiri tegak dan melepas cekalan Angkasa di tangannya secara paksa. Menatap cowok itu tegas.
“Maksud kamu apa?”
“Sampai lulus. Karena ponsel lo ini pasti ada foto gue dan Faricha tadi. Dan penulis macam lo, bisa membolak-balikkan fakta. Am I right?”
Angkasa memasukkan ponsel Raya ke dalam kantung belakang celana warna kremnya. Dia tersenyum licik.
“Tapi aku nggak foto kamu sama sekali.”
Raya siap-siap nangis, karena dia sama sekali tidak memotret apapun. Bahkan dia tidak bisa mematikan telepon tadi saking takutnya.
Mana sempat dia memfoto Angkasa?
“Gue benci pembual kayak lo. Perlu ditegasin?”
Bibir Raya mengerut. “Aku nggak pembual. Dan aku nggak mau jadi pesuruh kamu!”
Angkasa berdecih. “Lo pasti tahu kelas gue,” ucap Angkasa sambil berlalu.
Tubuhnya sudah akan melewati kelas Raya. Tapi saat beberapa langkah, Angkasa berhenti tanpa membalikkan tubuh tingginya. “Peta Angkasa, bukan Angkasa Peta. Sebagai pesuruh, lo harus tahu nama gue.” Dan Angkasa segera pergi setelag mengucapkan kalimat itu.
Rasanya, Raya sudah salah. Salah menilai bahwa Angkasa benar-benar playboy. Cowok itu lebih dari gosip yang beredar di SMA Nusa Cendekia. Playboy kelas buaya. Itu yang cocok untuknya.
Sedangkan Ica, mengepalkan jarinya kuat sambil merapal kata ‘sabar’ beberapa kali. Bukannya itu membuat mereka berdua akan selalu dekat? Meski kata pesuruh terkesan kasar bagi siapapun.
*
Pesan untuk Angka?
Salam manis,
Inge Shafa
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro