Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

16 - The One Who Push Me Away



#0109

Untuk seseorang yang mendorongku pergi ketika aku mulai jatuh hati, tidakkah kamu takut jika penyesalanmu datang terlambat? Menyianyiakan seseorang, contohnya.

*

Mama : kenapa, Nak? Mama harus buka apa di laptop kamu?

Raya menerima pesan itu saat akan membuka ruang kepala sekolah. Ia segera membalas dan membuka pintu ketika tarikan kencang membuatnya akan jatuh di lantai yang terkena percikan air hujan. Mendung di pagi hari tadi akhirnya menumpahkan segala ketakutan manusia jika lupa membawa jas hujan atau payung.

Di hadapannya berdiri Angkasa dengan wajah yang tak pernah dikenali Raya. Menyeramkan. Seolah Raya adalah musuh yang harus ia benci.

Sedangkan Angkasa merasa terluka ketika melihat Raya seperti sekarang. Tidak menyadari bahwa lengan seragam basah dan rambut lepek di beberapa sisi. Rahang Angkasa mengeras, bahkan jaket dan tangan Raya yang ia genggam menjadi saksi bisu kekesalannya sekarang.

"Sudah merasa paling benar?"

Raya berusaha melepas cekalan Angkasa. "Maksud kamu apa?"

Angkasa tidak menjawab. Ia menyentak jaketnya yang sedari tadi dibawa. "Pakai. Seenggaknya lo jangan pingsan sampai bisa menjelaskan kesalahan yang lo perbuat."

Jantung Raya tertikam benda tajam. Sakit. Bahkan ia merasa matanya memanas. Jaket yang dilempar Angkasa, hanya berada dalam genggamannya.

"Aku nggak salah, Ka," katanya pelan, bergetar.

"Orang pintar sekalipun akan bilang itu kesalahan lo."

"Aku nggak perlu omongan kamu."

"See?" Angkasa tersenyum meremehkan. "Harusnya omongan gue buat lo pengin nunjukin kalau lo nggak salah. Sekarang bukan waktunya lo baper. Tunjukin ke orang-orang yang nggak percaya sama lo, kalau ternyata lo nggak ngelakuin itu."

"Termasuk ke gue."

Raya mendongak, menatap wajah Angkasa yang tidak berubah ekspresi. Masih menyeramkan. Itu membuatnya jadi bertanya-tanya, apakah cowok itu kecewa padanya? Atau mendadak membencinya? Raya penasaran.

"Sana masuk. Sekarang."

Raya langsung menunduk. "Aku takut."

"Jangan mau jadi orang bodoh hanya karena takut."

"Kamu percaya aku nggak ngelakuin itu?"

Mata mereka bertemu. Raya seolah mencari cara supaya dirinya tahu apa yang sedang dipikirkan Angkasa. Sedangkan cowok itu, berusaha menutupi apapun celah yang bisa membuat Raya tahu bahwa ia khawatir—entah itu sedikit atau banyak.

"Gue pergi," jawab Angkasa tanpa menjawab pertanyaan Raya dan berlalu cepat meninggalkan.

Raya menarik napas sedalam-dalamnya. Memasok oksigen. Berharap sesak yang ada di dadanya segera hilang. Tapi nihil. Air matanya malah mengalir tanpa permisi. Ia segera mengusap dan dengan keberanian tipis, Raya mengetuk pintu.

"Masuk."

Kaki kecil Raya melangkah ke dalam ruang ber-AC milik kepala sekolah. Dingin. Membuat tubuhnya meremang. Ia menatap jaket yang diberi Angkasa tadi, lalu menutup tubuhnya dengan itu.

"Selamat siang, Pak," Raya membungkuk, "Saya Raya Kinanthi dari kelas 12 IPS 3."

"Duduk."

Ucapan tegas dan penuh wibawa itupun membuat Raya langsung menatap kepala sekolahnya. Tidak ada tatapan amarah di sana. Membuat Raya tenang dan melangkah duduk di hadapan kepala sekolahnya.

Raya diam dengan jantung berdegup kencang.

"Sudah berapa lama kamu di ekskul jurnalistik?"

"Sekitar 2 tahun lebih, Pak."

"Kenapa belum pergantian? Bukannya kamu sudah akan sibuk ujian? Kamu kelas 12, ini memasuki bulan November akhir. Seharusnya bulan September sudah serah terima jabatan pengurus ekskul. Kenapa kamu masih menjabat sebagai seksi menulis di ekskul jurnalistik?"

Raya berusaha santai, meski duduknya pun sekarang tegap dan kaku. Tubuhnya yang kecil merasa terintimidasi oleh keberadaan kepala sekolah.

"Memang, Pak. Tapi saya minta untuk data setelah acara tujuhbelasan waktu itu, biar saya saja dulu yang tangani sebelum diserahkan ke pengurus baru."

Tidak ada balasan lain. Pria berkacamata kotak dengan kemeja biru laut itu segera menyerahkan amplop putih dengan stempel dan data sekolah sebagai cover.

Raya terkejut. Bahkan sarafnya telat menerima apa yang diberikan kepala sekolahnya. "Ini apa, Pak?"

"Itu bentuk amarah saya. Saya tidak bisa diam saja ketika murid saya dengan berani menulis hal tidak benar seperti itu." Kepala sekolah SMA swasta favorit di Jakarta masih menatap muridnya tanpa amarah. "Kamu buktikan bahwa itu bukan tulisan kamu. Dan jika kamu tidak bisa membuktikannya, kamu terpaksa saya keluarkan dari sekolah ini."

Raya langsung berdiri dari kursinya dan membungkuk serta mengucapkan terimakasih berulangkali. "Terimakasih, Pak, sudah memercayai saya. Saya pasti akan buktikan kalau saya tidak menulis berita itu."

"Saya belum memercayai kamu sampai kamu sudah memberikan saya buktinya. Saya tenang bukan berarti saya tidak marah."

Dengan susah payah Raya menelan salivanya—seperti ada yang menyangkut di tenggorokan. Ia terpaksa senyum, dan membungkuk lagi.

"Baik, Pak."

"Kamu bisa kembali ke kelas. Dan batas waktu hanya sampai sepuluh hari. Sepuluh hari kamu tidak bisa membuktikannya, saya keluarkan kamu dari SMA Nusa Cendekia."

Jaket kebesaran yang ia kenakan tak bisa menutupi gemetar di tubuh. Raya menyimpan surat tadi di saku dan berjalan keluar ruangan. Hujan semakin deras. Ia memilih tidak kembali ke kelas dan pergi ke kolam renang yang sepi. Pikiran dan hatinya butuh istirahat.

Barangkali ia bisa duduk di kursi santai di kolam renang dan meredakan semua pikirannya yang sedang lelah. Raya sangat bingung. Dia tidak menulis berita negatif seperti itu—sama sekali. Yang Raya lakukan hanya menulis apa yang ketua ekstrakulikuler jurnalistik perintahkan. Meski terkadang ada jadwal tersendiri untuk menulis hiburan semacam puisi, cerpen, dan kabar-kabar kisah cinta antarsiswa.

Pupil Raya menangkap tubuh basah Angkasa yang hanya mengenakan handuk putih. Rupanya cowok itu habis renang. Kening Raya berkerut. Di luar masih hujan dan sekarang dingin. Kenapa cowok itu malah renang?

Gadis berjaket abu-abu itu mengambil tempat di sebelah Angkasa. Mata berbinarnya menelusuri wajah dan rambut cowok itu yang basah. Ia meletakkan jaket abu-abu di depan tubuh cowok itu dan mengusap rambut basah berulangkali dengan handuk.

Mata Angkasa terbuka. Redup matanya membuat Raya terkejut dan menunduk.

"Maaf. Aku nggak tau kamu nggak tidur. Soalnya mata kamu tadi nutup terus."

Angkasa bangun dan duduk tepat di depan Raya. Ia terus memerhatikan tubuh gadis manis itu.

"Udah ke kepsek?"

Raya mengerjap beberapa kali. "Udah."

"Bilang apa?"

"Nggak apa-apa. Ya ada..."

"Apa?" tanya Angkasa sekali lagi.

"Nggak usah. Kamu nggak perlu tau."

Angkasa berdecak. Ia bangkit berdiri dan akan beranjak pergi meninggalkan Raya, sebelum tangan gadis itu meraih lengan Angkasa yang berbalut handuk putih.

"Kamu mau ke mana? Kamu nggak kedinginan?" Raya bertanya lembut, seperti biasa.

Angkasa melirik Raya sekilas.

"Kamu harus minum yang hangat-hangat dulu, Ka. Mau kubeliin?"

"Nggak usah."

Raya menggoyang-goyangkan lengan Angkasa, membuat raut wajah meminta. "Ayo."

Angkasa menepis tangan Raya. "Gue bilang nggak usah. Perhatiin diri lo sendiri."

Entah Angkasa dapat dari mana dan kapan, tapi ia meletakkan jahe hangat dan kotak nasi yang dibungkus plastik putih di kursi santai di dekat Raya. Cowok itu lalu menatap binar mata Raya yang menampakkan keterkejutan.

"Angka, makasih kamu—"

"Satu lagi," ucap Angkasa memotong perkataan Raya, "gue benci lo nangis. Jadi jangan lakuin hal itu di hadapan gue. Atau lo akan tau perbuatan monster apa yang gue lakuin nanti."

"Kamu bakal pukul aku?"

Angkasa menggeleng. Tubuhnya maju beberapa senti dan memeluk tubuh mungil gadis manis di hadapannya. Telapak tangan besar miliknya mengusap rambut lepek Raya. Menghirup bau sampo dan air hujan yang tercampur.

"Gue tau lo benci cowok angkuh dan terkenal playboy kayak gue. Jadi mungkin, lo membenci perbuatan gue ini. Jadi jangan nangis supaya lo nggak dipeluk cowok playboy di hadapan lo ini."

Raya melepas pelukan Angkasa. Tangannya meraih tangan dingin Angkasa yang mengeriput akibat terlalu lama di air.

"Kamu bocah yang dulu marahin aku sampai nangis, kan?" tanyanya tak menjawab ucapan cowok itu.

"Baru sadar?"

"Iya. Galaknya ternyata emang udah dari kecil, ya?" gurau Raya sambil tersenyum lebar, "Aku senang ketemu kamu lagi."

"Terus?" tanya Angkasa penasaran.

"Ya nggak ada terus."

Angkasa diam-diam kecewa dan Raya tetap tersenyum kecil, membayangkan masa kecilnya dulu saat dimarahi bocah cilik di depan rumah. Hanya karena mainan pesawat yang tidak boleh dipinjam.

"Ray, gue jadi percaya sama omongan orang-orang."

"Hm? Apa?"

"Cinta pertama selalu gagal."

Tanpa mengucapkan apa-apa, Angkasa meninggalkan Raya yang masih terbengong atas ucapan cowok itu yang ambigu. Kening Raya bergelombang, mendadakan bahwa ia tak paham dengan yang dikatakan Angkasa. Lalu ia duduk dan memakan makanan yang cowok itu beri. Tanpa sadar bahwa yang memberinya sedang patah hati. Lagi.

*

di sini ada yang punya cinta pertama? gagal atau berhasil?

alhamdulillah aku bisa apdet. sengaja dikit dan jangan tanya kenapa. jawabannya ya supaya biar tiap hari apdet. jangan lupa komentar dan vote-nya. terimakasih dan sampai jumpa, ciwinya angkasa~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro