Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10 - Di Balik Gosip


Tidak semua kenangan di masa kecil akan teringat. Tapi, saat otak memproses hal itu, bisa saja muncul secara tiba-tiba—padahal kamu tidak meminta datang.

Angkasa kecil tak memiliki banyak teman—yang benar-benar bisa disebut teman. Temannya paling hanya sementara karena ikut orangtua pindah megikuti sang ayah yang banyak pindah tempat kerja dan bundanya tidak mau ditinggal untuk waktu lama. Teman Angkasa hanya sebatas tukar 'hai' dan nama. Hanya sebatas itu. Tidak lebih. Itu juga yang membuatnya tidak mau keluar rumah jika tidak disuruh bunda. Baginya, masa kecil hanya diisi banyak orang lalu lalang. Datang dan pergi. Terus begitu sampai sekarang ia ingat satu hal.

Bahwa teman masa kecilnya ada Raya—gadis cilik yang merebut mainannya. Meski tak memiliki kenangan banyak dengan Raya, ia sedikit terhibur. Emosinya saat berada di samping gadis itu berubah-ubah saat kecil—pun sampai sekarang.

Namun ketika sudah memasuki kelas 6 SD, Angkasa dan keluarganya menetap di salah satu komplek perumahan dan tidak lagi mengikuti sang ayah yang gemar keluar kota bahkan negeri. Lalu Angkasa yang jarang main saat kecil, bertemu dengan Reno dan Abi. Disusul Melki yang sekarang malah menjadi sahabat Angkasa—walau sering menyusahkan.

Kaki panjang Angkasa menyusuri lorong kelas 12 IPS dengan tatapan lurus ke depan dan tak acuh seperti biasa. Meski bisikan siswi terdengar di telinga. Mempertanyakan keberadaan Angkasa di lorong IPS.

Suara cempreng dari seorang siswi di belakangnya menyeletuk, "Cari Lisa mungkin? Diajakin adu tatapan cinta. Hahaha."

Angkasa berdecak dalam hati. Rasanya ingin teriak di depan wajah mereka, membungkam bibir agar tetap diam. Tapi sudah takdirnya cewek itu suka gosip, batinnya memaklumi.

"Eh, Rang Rang!" panggil Angkasa keras di lorong depan kelas IPS 3.

Merasa tak ada yang dengar, Angkasa memanggil lagi. "Rangga! Woi!"

Seorang cowok berambut ikal dengan tinggi 180 cm itu menoleh. Mata cokelat kayu dengan telinga lebar yang kadang terlihat jail, menyapa Angkasa pertama kali.

"Woy. Napa?" tanya Rangga sambil mendekat.

Tangan Angkasa melambai, menyuruh untuk mendekat. Bahkan bibirnya akan mendekati telinga Rangga. Cowok itu mundur perlahan dengan wajah geli.

"Lu napa coy?"

"Sssttt..." Telunjuk Angkasa berada di depan bibir, lalu bertanya, "lo tau Raya?"

Dahi Rangga mengerut. "Taulah. Ya kali gue nggak kenal dan nggak tau."

"Sekarang dia di mana?"

Rangga kembali mundur. "Weiiitss ... lo ngapain nyari dia?" tanyanya senewen.

Angkasa berdecak. Ia tak menggubris ucapan Rangga dan celingukan di jendela kelas IPS 3 untuk mencari Raya. Tapi karena tahu kelakuan cowok yang katanya playboy itu, Rangga menutup-nutupi kepala Angkasa dengan tubuhnya.

"Ngapa dulu? Pajak ah."

"Alah, sama temen sendiri."

Rangga mengernyit. "Di sini nggak ada yang gratis. Apalagi untuk cewek imut kayak doi. No no."

"Di mana? Ntar gue traktir baso," balas Angkasa sambil menghela napas—mengingatkan dirinya sendiri untuk sabar.

"No. Anak celebrity chef masak ngasih gue baso. Makan di rumah lo lah."

"Nggak ada waktu gue."

Rangga berdecak malas. "Tau dah. Terserah. Raya juga lagi sama Melki. Berduaan. Bye, Playboy." Tubuh tegap itu langsung ngacir pergi, lari dari Angkasa—mungkin takut kalau dikejar. Membuat Angkasa langsung melayangkan tendangan meski nggak akan sampai.

Raya dengan Melki, katanya. Tidak masalah dan tidak akan pernah menjadi masalah. Sebelumnya Angkasa juga tidak pernah memikirkan perempuan—kecuali bunda dan Mentari. Biar saja Melki mau menjadikan Raya cewek keberapa, dia tidak akan pernah lagi peduli.

Angkasa sudah membalikkan badan—berniat kembali ke kelas. Namun baru saja kakinya akan melangkah, kaki itu berhenti. Otaknya egois namun kali ini hatinya tak bisa sejalan dengan otak.

Menghela napas, cowok berkulit kuning langsat itupun langsung memilih ke atap, sebelum sebuah suara menghentikannya.

"Angkasa..."

"...gue rindu."

*

Di balik rak buku perpustakaan, dua orang siswi saling berdiri tanpa menatap satu sama lain. Yang satunya sibuk mencari buku, satunya lagi asyik berpikir meski tangannya membolak-balikkan buku. Sasa dan Lisa. Entah karena apa, Sasa nggak ngerti sampai sekarang. Karena sampai sekarang pun Sasa tahu Lisa berteman dengan orang seperti apa—yang pintar. Tidak mungkin Lisa bisa mau meluangkan waktu untuknya, untuk membahas sesuatu yang sudah membulat di pikiran Sasa.

Gadis Sunda berpotongan pendek itupun memerhatikan sahabat Raya. Seragam putih, tubuh pendek, rambut pendek. Semua terlihat biasa saja. Sangat biasa. Namun ketika lengkungan itu muncul di wajah oval Sasa, semua akan terlihat manis.

"Gue mau ngomong," ucap Lisa sambil menatap Sasa yang enggan menatap balik.

Hati Sasa ketar-ketir. Bukannya takut. Dia tahu kalau ini ada hubungannya tentang Raya dan Angkasa. Akhir-akhir ini dia juga merasa bahwa keduanya dekat. Tapi Sasa lebih memilih masa bodoh meski suka Angkasa. Dia nggak begitu kehilangan Angkasa kalau memang keduanya punya hubungan khusus. Dan Sasa nggak ambil pusing akan hal itu.

Sadar ditatap intens oleh teman sekelasnya, ia menghembuskan napas. "Gue tau lo mau ngomong apa," balas Sasa mencoba tak sekhawatir tadi.

"Bagus deh."

Decakan muncul dari bibir Sasa. "Lo mau ngomong apa emang? Tentang Raya?"

Lisa menyugar rambutnya, bibir tipisnya melengkung sempurna. "Oke. Kelihatannya lo nggak suka basa-basi, ya?" Lisa tertawa sumbang, "Gue juga nggak suka sebenarnya."

"Ya terus kenapa lo—alah bodo amat. Mau ngomong apa? To the point, kek."

Binar mata Lisa berhenti. Mendalami mata Sasa yang sarat akan kecemasa, pun amarah.

"Benar nggak sih, temen lo dijadiin pembantu sama Angkasa?" tanya Lisa frontal.

Sasa terkejut. Bibirnya terbuka seiring alis Lisa yang naik turun seolah menunggunya menjawab.

"Enggak benar."

Sudut mata Lisa berkedut. Bibirnya tersenyum kecut. "Bahasanya sih emang pembantu, tapi selalu ada di samping Angkasa. Menurut gue itu namanya bukan pembantu."

"Nah, ya udah," Sasa menghela napas, "berarti itu namanya pacar."

"Kok pacar?" balas Lisa sewot. Bibirnya refleks mengerucut. Sasa jadi ingin menguncir bibir tersebut.

"Yang gue tau, Angkasa bukan tipe yang mau bersenang-senang sama cewek. Apalagi suruh jadi pembantu. Makanya gue kaget dan nggak terima hal itu. Jujur gue nggak suka kalau Raya dijadiin pesuruh atau apapun itu sebutannya. Cewek yang udah kenal Angkasa dengan baik, pasti ngerti hal itu."

Sepanjang penjelasan Lisa, semua omongannya tidak dimengerti Sasa. Gelombang di dahi semakin muncul dan dalam seiring bertambahnya ucapan Lisa yang mengandung makna.

Kelima jari Sasa teracung. "Please gue nggak paham omongan lo. Kenapa lo nggak suka Raya dijadikan pesuruh? Kalimat itu sangat kasar, asal lo tahu. Seharusnya lo bangga jadi teman belajar matematikanya doi."

"Karena gue tau, Sa. Angkasa bakal tahan orang yang dia suka dengan cara apapun itu, meski kelihatannya nggak. Karena gue tau, saat cowok itu suka, semua yang diucap itulah kebalikannya."

"Hah?" Bibir Sasa terbuka semakin lebar, "Jadi maksud lo Angkasa—"

Lisa mengangguk. Ia membenahi rok kremnya, dan tersenyum kecut pada lantai marmer yang ia pijak. Tersenyum pada bayangannya sendiri. "Makanya gue takut."

"Why?" Sasa masih tidak mengerti.

"Bagi gue, Sa, dia itu obat." Lisa tersenyum miring, kepalanya terangkat dan menatap Sasa penuh arti. "Jadi menurut lo, gue bisa nggak, dapatin obat gue lagi?"

*

Februari 2015

Bagi sebagian orang yang percaya, 14 Februari adalah tanggal penuh kasih sayang dimana bisa dilakukan dengan tukar cokelat. Meski sebagian orang memilih untuk tidak percaya sama sekali dan menganggap bahwa semua hari adalah hari kasih sayang—dan memberikan cokelat bisa dilakukan tiap waktu.

Namun bagi seorang gadis berdarah Sunda yang sedang berdiri di depan halte seorang diri, tanggal 14 Februari akan menjadi tanggal yang bersejarah. Pernyataan cinta pertama, ungkapan perasaan, dan cokelat yang dia buat.

Tangannya mengutak-atik ponsel lagi. Mengirim pesan pada seseorang yang sudah ia tunggu, karena mereka membuat janji temu di restoran milik teman cowok itu. Dan gadis dengan rambut tergerai sempurna, mengenakan rok bermodel A, dan sneakers itu menunggu untuk dijemput di depan halte.

To Melki : Aku udah di halte. Cepetan yaaa :)

From Melki : OK

Perasaan membuncah di dada membuat Lisa jadi tak sabaran. Ia bahkan berulang kali tersenyum sambil memandangi cokelat yang ia bawa. Berkali-kali juga menyampirkan rambut ke belakang telinga. Sampai suara kendaraan bermotor menghampirinya, membuat Lisa mendongak malu-malu sebelum kerutan di dahinya muncul.

Melki. Ya, cowok itu. Datang mengenakan sweater cokelat dan helm full face. Namun satu hal yang membuat senyum Lisa luntur, yaitu seonggok daging hidup yang tangannya menggenggam erat sweater Melki. Seperti memeluk tubuh cowok itu, meminta perlindungan dari dinginnya malam.

Lisa tersenyum culas saat Melki membuka kaca helm tanpa mematikan mesin motor sport merahnya.

"Hey, Lis. Sorry gue nggak bisa pergi sama lo," ibu jari Melki menunjuk seseorang yang ada di boncengannya, "gue ada janji sama dia. Next time ya."

Lisa memperhatikan cewek di belakang Melki. Kurus kerempeng, meski kelihatannya cantik. Kelihatannya. Karena Lisa tidak bisa menembus helm berkaca film tersebut.

"Lo ada janji sama dia?" tunjuk Lisa pada perempuan yang masih bungkam.

"Hm ... gitulah," Melki tersenyum miring, "udah ya. Gue cabut dulu. Bye Lis."

Melki masih sempat memberi lambaian tangan sebelum melajukan motornya, membelah jalanan malam yang kali ini tak terlalu ramai.

Dia belum pernah merasakan patah hati, tapi mungkin ini yang dinamakan patah hati yang sebenarnya. Janji sudah dari seminggu lalu, dan dibatalkan begitu saja dengan membawa perempuan lain?

"Shit," bisik Lisa sambil tertawa nyaring. Menertawakan kebodohannya, juga kepercayaannya yang mudah diberikan kepada orang lain.

Air mata bahkan tidak bisa keluar saking kecewanya dia pada Melki. Ia hanya merasa cowok itu aneh, membuatnya geli dan tak lagi penasaran. Cokelat yang akan ia berikan, jatuh begitu saja tanpa ia sadari. Menggelinding sampai mengenai sepatu keds putih yang berjarak satu meter di depannya.

Lisa mendongak. Lalu terkejut ketika sadar siapa yang berdiri di hadapannya—juga motor matic yang terparkir di pinggir jalan.

Angkasa. Si cowok terkenal dari kelas IPA 1 yang ingin dikalahkannya dari lomba matematika.

"Lo—"

"Bodoh banget sih lo? Cokelat itu mahal, ngapain dibuang?" Angkasa membungkuk, mengambil bungkusan cokelat yang jatuh tepat di depannya.

Lisa mengerutkan dahi. Angkasa menaikkan sebelah alisnya.

"Napa lo? Mau nangis?"

Lisa menggeleng. Namun bibirnya bergetar karena rasa kecewa yang memenuhi hatinya.

"Nangis aja. Tapi kalau udah nangis, maafin teman gue. Dia baru ABG soalnya."

Angkasa tersenyum miring—sama sekali tidak manis. Malah terkesan angkuh. Lalu disobeknya cokelat tersebut, dan dimasukkan ke dalam mulut. Ia tersenyum lagi, mensyukuri cokelat dari rasa kecewa seseorang masih tetap semanis yang dia rasa sekarang.

"Dia jahat ya?" Air mata Lisa menggenang. Tatapannya tertuju pada Angkasa yang masih menikmati cokelatnya.

Angkasa mengangguk, mulutnya masih sibuk mencecap rasa dari cokelat Lisa. "Hmm..."

Setelah ditahan, akhirnya semua yang ia pendam tumpah juga. Lisa terisak dengan bahu bergetar dan air mata yang terus mengalir. Cinta pertamanya tidak berhasil. Jauh dari kata berhasil—dan sama sekali tak menghasilkan apa-apa. Tapi setidaknya Lisa jadi tahu, seberapa 'nakal'nya seorang Melki.

Tak peduli pada tangisan Lisa, Angkasa masih sibuk membuka bungkusan cokelat lainnya. Sampai dirasa tangisannya semakin keras, Angkasa ikutan berdecak.

"Ini nih alasan gue nggak suka lihat cewek nangis. Kalau udah nangis jadi lebay begini," dumelnya pada diri sendiri. Dan menyebabkan Lisa jadi tambah terisak.

Angkasa menghela napas lelah, lalu menyimpan cokelat di saku jaket. "Udahlah. Nggak usah nangis. Alay banget lo."

"..."

"Nama lo Tarisa, kan?"

Lisa menggeleng.

"Siapa? Nisa?"

"BUKAN!"

"Widih, macannya keluar," bibir Angkasa mencebik, "siapa lo?"

"Lisa," balas gadis Sunda tersebut dengan suara parau.

Angkasa mengangguk-angguk paham. "Mau nangis lagi atau pulang sekarang?"

"Emang lo siapa? Emang kenal sama gue?"

"Gue?" tunjuk Angkasa pada dirinya sendiri. "Gue bidadara. Ya nggak kenal lo sih, lo kan bukan presiden."

"Hah? Bidadara?"

"Iya, Bidadara. Kalau bidadari kan cewek."

Lisa tersenyum kecil. Di balik gosip yang menyebut bahwa Agkasa sombong, angkuh, dan lainnya ... ternyata cowok itu memiliki sisi konyol dan baik. Musuhnya dalam matematika, bisa sebaik ini. Mereka bahkan tidak pernah bertukar sapa sebelumnya. Tapi karena Melki, Lisa bisa tahu sisi lain dari diri Angkasa yang tak perlu ia ceritakan pada siapapun. Biar orang lain tahu Angkasa baik karena cowok itu sendiri—bukan dari ceritanya.

"Udah. Ngapain senyum? Ngeri gue lihatnya."

Lisa terkekeh. "Ya nggak apa-apa dong?"

"Serah." Angkasa berdecak. "Mau nebeng nggak?!" tawar Angkasa dengan nada sewot.

"Ih, ya mau..."

Angkasa berjalan ke motor maticnya, lalu menatap Lisa yang masih mengerutkan kening. "Kenapa?"

"Kayaknya di sekolah lo pernah bawa motor item besar? Kok ini?"

"Keren mah keren aja. Nggak usah dari motor yang dibawa."

"Tapi kan..."

"Udah cepetan!"

Lisa akhirnya cepat-cepat naik ke motor dan menerima helm dari Angkasa. Meski bingung kenapa cowok itu bawa dua helm padahal sendiri, tapi akhirnya Lisa memakai juga. Banyak pertanyaan yang ingin dia tujukan pada cowok itu. Banyak juga hal yang ingin ia sampaikan. Tapi Lisa memilih untuk tetap bungkam, sampai sebuah suara menginterupsi lamunannya.

"Lo nggak usah nangis-nangis lagi! Ini pertemuan pertama dan terakhir kita. Besok kalau lo nangis, gue nggak ada lagi untuk tenangin lo. OK?!" jelas Angkasa sambil sesekali teriak dan menoleh ke belakang—memastikan Lisa mendengar suaranya.

Lisa tersenyum kecil. "Thanks ya..." gumam gadis berpotongan pendek tersebut sambil menggenggam jaket belakang Angkasa untuk pegangan.

"APA? GUE NGGAK DENGAR!" teriak Angkasa keras.

"NGGAK PAPA!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro