Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4. ABD Untuk Raya

“Eh, kok di sini harganya Rp199.000!” Maya berseru. Tangannya memukul meja. Membuat orang-orang yang sedang makan menoleh kaget. Suara Maya yang besar dan cempreng, pukulan Maya yang keras, membuat mangkuk-mangkuk bakso di meja terangkat, dan kuahnya bercipratan. Maya nyengir minta maaf.

“Apanya?” tanya Nisa, setengah berbisik.

“Iniii, ABD yang kamu bilang. Aku cek di google,” seru Maya lagi sambil menunjukkan ponselnya.

Nisa menoleh ke arah ponsel, lalu menghela napas. “Ini kan yang murahan ... nggak akan ngaruh untuk Raya.”

“Heh?” Maya berjengit.

“Khusus untuk Raya, kata dokter Ridwan, beli di ABDI, terus harus disetel sesuai ambang dengar Raya.”
Maya ber-oh sesaat. “Sori ya, Nis ... aku kira semurah itu.”

Nisa menggeleng dan tersenyum. Matanya yang sembab diupayakannya tak terbaca sama sekali. Saat menunggu bus di halte depan rumah sakit, Maya menelepon. Perempuan yang kalau dilihat dari samping mirip Aura Kasih—yang sedang bingung akan menikah dengan pacarnya atau tidak—itu bilang pekerjaannya sudah selesai, dan dia izin ke bos untuk menyusul Nisa pakai motor. Mengingat itu, Nisa merasa beruntung. Setidaknya dia punya teman sebaik Maya.

Hening. Nisa kembali memalingkan wajahnya ke arah jalan raya. Menyaksikan deru kendaraan. Pedagang asongan muncul menawari pelbagai barang; kerupuk opak, kacang goreng, tisu, dan mainan dashboard mobil. Lalu penjual koran melewati sela-sela kendaraan, siap menantang koran digital. Dan anak-anak itu, berhamburan ke jalanan untuk mengelap kaca-kaca mobil, atau bernyanyi dengan alat musik seadanya sambil berharap kaca terbuka dan seseorang memberikan upah. Seorang lelaki di mobil sedan hitam membuka jendela mobilnya, dan memberikan selembar uang nominal lima puluh ribu.

“Terima kasih, Kak!” Lalu anak itu lari dan menghilang.

Ketika lampu lalu lintas berubah hijau, kebisingan itu kian merajalela. Maya berusaha mati-matian menutupi mangkuk baksonya dari debu jalanan. Dan Nisa sibuk menutupi wajah putrinya yang tengah tertidur di pangkuan. Agak menyesal sudah memilih makan persis di depan pagar gedung perkantoran yang langsung menghadap ke jalan raya.

Jadi, bisakah Raya mendengar kebisingan ini?

Bisakah ia fokus pada satu suara di antara hiruk pikuk ini?

Bisakah dia menemukan suaraku jika berada di keributan ini?

Nisa memijit pelipisnya dan menyandarkan diri ke tembok.

“Kamu sudah kasih tahu Seno?” tanya Maya, menambahkan sambal ke baksonya.

Setengah melamun, Nisa mengangguk.

“Apa katanya?”

“Belum di read.”

Maya mengaduk-aduk baksonya. “Telpon, Nis. Oh, tanggung, deh. Samperin!”

“Rencananya mau ke kantornya sih ...” jawab Nisa termenung-menung. “Besok kabarin ya, dia ada apa nggak.”

Maya mengangguk. Meski beda departemen, setidaknya Maya bisa numpang lewat dan bertindak seperti mata-mata. “Oke nanti aku kabarin kapan dia ada, ya,” katanya sambil menjejalkan bakso ke mulutnya. “Tapi, apa sebaiknya samperin ke rumah dia dulu?”

“Samperin gimana ... ada Mbak Liza.”

“Loh, ya nggak papa juga kalau Liza tau. Gitu-gitu Raya termasuk anaknya juga, kan?”

Mendengar itu, Nisa tersenyum masam. “Dia nggak punya anak, May. Selama nggak lahir dari rahimnya, Raya bukan anaknya.”

Ucapan Nisa menghentikan Maya mengunyah. Ia menoleh ke Nisa dan mengangkat alis. “Kalian belum damai juga? Kamu dan Seno kan udah cerai. Apa lagi?”

Nisa mengangkat bahu. “Dia yang nggak mau damai.”

“Hh, ya ampun.” Maya mendengkus. “Oke terserah sih, ya ... tapi, ini tentang Raya. Seno harus tahu, dan harus bantu Raya. Dia harus dampingi Raya, apa pun alasannya.”

“May ...” Nisa mendesah putus asa. “Aku pun nggak yakin dia bisa bantu, belum cerai aja dia juga jarang nemuin anaknya. Kamu tau kan Mbak Liza gimana?”

Maya mengerutkan dahinya. “Ya tentu bisa bantu lah, Nis ... kenyataannya, Raya anak kandung Seno. Dia tetap wajib nafkahi Raya.”

“Tapi Mbak Liza pasti bakal me—”

“Omong kosong tentang Liza, Nis! Suka nggak suka, Laki dia punya anak dari kamu! Itu yang harus kamu pikirin. Memangnya kamu ada uang banyak sampai nggak mau melibatkan Seno?”

Bibir Nisa berkedut. Kadang-kadang, Maya yang santai bisa juga mengucapkan kalimat yang pedas. Kalimat yang memang ada benarnya. Dia mengganguk lemah. Harga dirinya, yang ia pegang setinggi mungkin ketika meminta cerai, kini harus ia lemparkan.

Raya harus punya ABD.

**

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro