Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3. Sebising Lalu Lintas

Bisakah kamu mendengar jelas percakapan di tengah kebisingan kota dan lalu lintas padat kendaraan? Nisa tidak yakin ia bisa. Jika berboncengan motor dengan Maya, lalu mengobrol di antara deru kendaraan—menggosipkan cara jitu mendapatkan barang impian saat flash sale—baik Nisa dan Maya kerap berseru, ‘Hah?’, ‘Apaan?’, ‘Ngomong yang keras!’ atau ‘Entar aja deh di rumah!’

Di kota tempat Nisa tinggal, adalah kota yang sibuk dan berisik. Tidak ada yang nyaman berlama-lama di tengah macet jalannya. Tidak pernah. Orang-orang berteriak, polusi memenuhi udara, dan klakson memekik nyaring bahkan sedetik setelah lampu lalu lintas berubah dari merah ke hijau.

Tapi kata dokter, telinga Raya, baru bisa menangkap intensitas suara sebesar bising itu.

“Jadi, ambang dengar Raya adalah 70-80 desibel. Telinga kanan 70 dB, dan telinga kiri 80 dB. Ini ada perbedaan ya, Bu, tapi keduanya sama-sama butuh bantuan,” kata dokter Ridwan, di balik meja kerjanya.

Nisa menelan ludah.

Dokter melanjutkan penjelasannya. Ia bilang, manusia normalnya dapat mendengar intensitas suara 0-20 dB. Jika baru mendengar pada 20-45 dB, gangguan pendengarannya dikatakan ringan. Lalu tergolong sedang jika 45-60 dB. Lalu tergolong sedang-berat jika 60-75 dB. Tergolong berat jika masuk ke 75-90 dB. Dan dikatakan tuli total jika berada di atas 90  dB.

Ambang telinga Raya, tergolong sedang dan berat; 70-80 dB. Itu, bukanlah ambang dengar seperti seharusnya. Dia baru bisa merespon suara jika suara itu sekeras amukan lalu lintas jalan raya.

Raya tuli. Itulah intinya.

“Ibu,” dokter berdeham. Memecah lamunan Nisa.

Sejak tadi, dokter itu telah menunggu Nisa mencerna penjelasannya. Namun, melihat betapa senyapnya Nisa, dokter itu sempurna paham bahwa berita itu begitu mengguncang perempuan muda itu. Dengan sangat lembut, dokter Ridwan berkata, “Ibu Nisa mohon bersabar, ya. Dan bersyukur. Masih banyak yang lebih dari ini, dan tidak banyak yang diberi ujian seperti ini—”

Nisa menggetap gerahamnya. “Tapi, anak saya bisa sembuh nggak, Dok?” tanya Nisa. Tanpa disadari ia mengeratkan rengkuhannya pada Raya. “Perasaan, dulu Raya bisa merespon suara saya. Dia memang belum bisa bicara, Dok. Ta—tapi, dia babbling, dan dia menoleh kalau dengar suara saya.”

“Yah,” dokter mengangguk. “Kerusakan pendengaran tidak hanya bawaan lahir. Bisa karena pengaruh penyakit lain, obat-obatan, pasca rawat di ICU.”

Nisa terhenyak. Mengingat apa saja yang telah terjadi dari sejak Raya lahir hingga sekarang. Raya prematur. Harus masuk inkubator selama beberapa lama. Disusul mudahnya Raya menderita sakit dan demam.

“Bu Nisa, ketidakmampuan Raya bicara itu—”

“Ta—tapi, anak saya bisa normal kayak pas lahir, kan?”

Dokter mengembuskan napas berat. “Ibu Nisa ... kita bisa mengetahui ada bunyi, dari saraf yang menyampaikannya ke otak pada waktu tertentu dan kekuatan tertentu. Namun, di kasus-kasus seperti Raya, sarafnya telah rusak,” Dokter berhenti bicara, dia memajukan tubuhnya sedikit, lalu mengusap kepala si kecil Raya dengan sayang. Tak lama kemudian, ia melanjutkan penjelasannya. Tentang saraf di telinga Raya, berapa desibel, dan terapi ABD  (alat bantu dengar).
Sampai di situ, Nisa merasa pening. Dia tidak lagi mampu mendengar penjelasan dokter Ridwan. Bukan. Bukan karena tidak paham. Dia hanya tidak siap. Sulit diceritakan kembali dengan kata-kata manusia awam sepertinya. Sehingga, ketika dokter tua itu selesai dengan ucapannya serta saran-sarannya, Nisa mengangguk lemah.

“Kita perlu segera memberikan ABD untuk Raya, Bu. Setelah itu, Raya bisa diikutkan terapi bicara.”

“Speech delay yang Raya alami, karena dia tidak bisa mendengar dan mendapatkan kosakata. Kalau pakai ABD, insya allah, Raya pelan-pelan bisa dilatih berbicara.”

Nisa mengangguk. Air matanya luruh seketika. Membuat dokter Ridwan mengangsurkan selembar tisu. Agak lama, ia pamit pergi. Konsentrasinya yang minus membuatnya nyaris bertabrakan dengan seorang pemuda yang bergantian masuk ke ruangan dokter Ridwan. Nisa mengangguk minta maaf. Lalu keluar, seraya menggendong Raya yang memandangnya diam. Seolah tahu, bahwa saat ini, ibunya dilanda kesedihan.

Nisa berjalan ke arah apotek rumah sakit meski ia tahu tak ada obat yang perlu ditebus. Ia lantas duduk di sana. Terduduk lesu di bangku panjang luar ruangan. Sebelum benar-benar keluar dari ruang dokter, Nisa sempat meminta waktu untuk memutuskan apakah ia akan melanjutkan terapi Raya dengan pemasangan ABD.

Meski sebetulnya, waktu yang Nisa maksud itu adalah dana.

Tidak bisa sembuh.

Anak seperti Raya berpotensi berkarakter penyendiri.

Harus pakai ABD seumur hidup.

ABD harganya 20 juta sepasang.

Nisa menarik napas dalam-dalam. Dipandanginya Raya yang melonjak-lonjakkan pantat di pangkuannya. Raya baru saja bisa berjalan, jadi dia tidak tahan kalau harus duduk dan tidur terus-terusan. Dia selalu ingin berlari. Nisa yakin dia akan selalu ingin bicara, jika dia bisa mendengar berbagai kata.

“Raya, sayang,” Nisa merangkum bahu anaknya. “Bunda turunin, tapi berdiri di dekat bunda aja, ya ...” ucap Nisa sambil menunjuk lantai bawah sebagai isyarat.

Raya tertawa jenaka saat Nisa menurunkan tubuhnya. Membiarkan kaki-kaki kecilnya melonjak-lonjak sambil tetap berpegang pada lutut ibunya. Nisa tersenyum samar. Memerhatikan dan berusaha mengingat-ingat tumbuh kembang anaknya. Raya yang lemah ... susah makan ... mudah sakit ... nyaris mati. Ya, putri kecilnya itu pernah demam hingga 41 derajat. Membuat Nisa tunggang langgang lari ke rumah sakit tengah malam. Sepenuhnya, Nisa berikan pengobatan bagi anaknya tak peduli harus menguras habis uang tabungannya. Tapi, mengapa pengobatan itu justru jadi bumerang bagi Raya?

Nisa memijit pelipisnya. Berusaha tidak menunjukkan ekspresi apa pun di depan Raya.

Ia pun memalingkan wajahnya dan menemukan sepasang suami istri baru saja melintas di depannya. Membuat hati Nisa makin terasa ngilu.

Jadi beginikah kehidupan pasca perceraian itu? Kehidupan yang ibunya pernah ceritakan tempo hari. Bahwa tanpa suami, seorang perempuan semandiri apa pun akan tetap rumpang. Bahwa akan selalu ada hal-hal yang hanya bisa dilakukan seorang suami. Bahwa sudah kodratnya manusia membutuhkan pendamping untuk menghadapi suka dan duka.

Nisa mengabaikan itu.

Namun, hal yang tak pernah ia duga adalah; perasaan asing saat berjuang sendirian.

Perasaan sepi akibat sejak beberapa hari ini ia berdarah-darah mengurusi anak seorang diri.

Setelah proses perceraian yang memilukan, Nisa kira ia akan bebas dari kesakitan. Namun, ternyata tidak juga. Ia rasa, kini ia seperti keluar dari sarang singa masuk ke lubang buaya. Buaya yang menerkam putrinya. Menghela napas sekali lagi, Nisa lantas memeriksa kolom chat di ponselnya. Dan menemukan bahwa pesannya belum dibaca sama sekali oleh lelaki itu.

Sama sekali.

Matanya pun hujan.

Mengabaikan orang-orang yang melintas lalu-lalang.

**

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro