Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

09: Just a Dinner of Two

Suasana kantor polisi di Moskva ternyata lebih lengang dari yang ia duga. So Raru duduk dengan perasaan gusar yang campur aduk. Mulutnya pegal berulang kali meyakinkan polisi bahwa dia tidak tahu menahu soal kartu kredit curian. Keterbatasan So Raru dalam berbahasa Federasi hanya menambah sulit situasi.

Hingga tiba-tiba pintu masuk depan terbuka, menampakkan sosok yang sudah dia kenal betul. Mafuyu masuk dengan santai, menyuguhkan wajah sumringah tatkala berhasil menangkap pucuk sewarna gagak dalam ruang pandangnya. Santai pria itu melaju konstan mendekati So Raru dan petugas polisi yang sejak tadi memintai keterangan. Sang agen hanya bertambah emosi mendengar nada bicara riang si pria albino.

"Ternyata kau ditangkap, ya. Terima kasih sudah mengurus teman saya, Pak polisi!"

Sebelah alis petugas itu naik. Mimiknya penuh selidik memindai Mafuyu dari atas ke bawah. "Anda siapa?"

Mafuyu menunjuk dirinya sendiri. "Saya? Oh, saya pemilik kartu kredit yang melaporkan pencurian. Terima kasih sudah menghubungi pihak bank. Saya jadi bisa langsung bergegas kemari."

"Berarti Anda yang mengajukan pemblokiran?"

Mafuyu mengangguk. "Silakan tanya-tanya saja jika perlu. Saya kemari berniat mengurus semuanya dengan baik."

Jawaban yang kontan buat So Raru mendelik tajam. Tanpa membalas tatap sepasang biru gelap penuh amarah, Mafuyu mengikuti petugas tadi ke ruangan lain. Ketika urusannya selesai, lelaki bersurai gagak yang berdiri melipat tangan di depan dada telah menusuknya dengan pelototan sengit di pintu masuk kantor polisi.

Mafuyu tersenyum santai dengan matanya. "Kau lapar?"

Satu geplakan keras mendarat di punggung lebar pria albino. So Raru langsung menyerbunya dengan omelan keras. "Apa maksudnya melaporkan pencurian?? Kau yang memberi kartu kredit itu secara sukarela padaku!"

Mafuyu mengangkat bahu. "Jangan begitu, dong. Aku melakukannya dengan pertimbangan kau akan menggunakan kartu itu."

"Lalu?"

Pria berambut salju tersenyum lebar. "Aku jadi tahu kau ada dimana tanpa perlu susah payah mencari, kan?"

Satu bogem berhasil ditahan tangan Mafuyu. So Raru menatap tajam langsung ke arah merah rubi di depan sana. "Kau ini senang sekali menguras kesabaranku, ya, brengsek?" So Raru melirih sengit.

Yang ditanya tak memberi sedikit pun jawaban verbal. Untuk beberapa saat, dua lelaki cuma saling menyelami mata satu sama lain. Hingga tiba-tiba, suara gemuruh samar yang semakin keras memecah keheningan diantara mereka berdua.

Wajah So Raru kontan merah padam hingga ke telinga. Apalagi, Mafuyu kemudian terkekeh pelan. "Ternyata benar kau lapar, kan?"

Disinilah akhirnya dua insan yang semula bertikai itu berlabuh.

Tak sampai lima menit, mereka sudah pindah tempat ke sebuah restoran kecil di dekat situ. So Raru masih menahan malu ketika duduk di salah satu bangku yang dekat dengan jendela. Sementara itu, Mafuyu sibuk berbicara dengan pelayan di balik meja kasir. Tak lama, pria berambut salju bergabung dan duduk berhadapan dengan So Raru.

"Aku sudah pesankan menu yang hangat untukmu, berhubung kau pasti kurang familier dengan menu-menu di restoran Utara."

Melihat So Raru diam saja sambil mengamatinya lekat-lekat, Mafuyu menaikkan sebelah alis. Ia memandang So Raru dengan heran. "Ada apa?"

"Kamu masih berhutang banyak penjelasan padaku."

"Ah..." Mafuyu memundurkan badan. Punggung lebarnya bertemu dengan sandaran kursi. "Kau benar. Setelah semua hal sial yang kau alami hari ini, sudah pasti kau jengkel, ya."

Fakta seterang itu kau masih pakai bertanya? Kalimat ini tak sampai keluar dari pikiran So Raru.

Tapi seperti biasa, tampaknya suara hati itu masih bisa didengar oleh Mafuyu. Dugaan ini memuncak karena setelahnya yang bersangkutan tertawa kecil.

Jemari lelaki berambut salju saling taut. Lurus merah rubinya memandang biru safir So Raru. "Nah, sebaiknya kita mulai dari mana, ya?"

So Raru langsung menyambar, "Insiden itu, sebenarnya apa? Apakah kelompok yang bermain di belakangnya adalah kelompok yang mengejar kita?"

"Tidak, bukan," Mafuyu menjawab tenang, "yang menyerang kita adalah kelompok kartel famili Orlov. Mereka kartel yang beroperasi dan berkuasa di daerah sekitar oblast* Sevrryodovsk di negara bagian Barat Laut."

[*Note: oblast (область) merupakan sebutan wilayah yang jika ditransliterasi setara dengan provinsi/region. Dipimpin seorang gubernur yang dipilih melalui pemilihan umum seperti biasanya. Sebenernya ada banyak istilah dalam lingkup administratif daerah utara seperti krai, okurg, okurg otonomi, oblast otonomi, respubliki dll. Cuman kafka takut kalian makin pusing dan terjadi misinterpretasi juga jadi yasudahlah. Gausa terlalu panjang ni penjelasan.]

So Raru mengerutkan kening. "Kenapa tiba-tiba ada kartel yang menyerang kita? Apa ada hubungannya dengan kelompok separatis tempo hari?"

Mafuyu menggeleng tenang. Pria itu malah menyemat senyum lebar setelahnya. "Aku menghajar salah satu orang penting mereka malam sebelumnya. Jadi, sepertinya mereka datang untuk buat perhitungan."

"Satu cangkir kopi hitam panas dan satu cangkir cokelat jahe panasnya, Tuan." seorang pelayan wanita datang dengan dua cangkir porselen putih dengan asap yang masih mengepul. Cangkir ditaruh rapi di atas meja; kopi hitam di depan Mafuyu dan cokelat jahe di depan So Raru. Tak ada suara manusia lagi sampai pelayan itu berlalu pergi seraya berucap, "Selamat menikmati."

Sorot biru seorang So Raru kentara sekali sepatnya. "...Kau pasti bercanda."

"Sayang sekali aku serius."

Helaan napas meluncur bersama dahi yang ditepuk. So Raru mengusap wajah dengan mimik kentara lelah. "Jadi maksudnya, rencanaku hari ini kacau total perkara ulah penguntit absurd yang bertingkah konyol semaunya lalu memancing gerombolan mafia penuh dendam?"

"Interpretasinya jangan begitu, dong," kicauan riang Mafuyu itu tiba-tiba saja terbanting suara rendah sarat keseriusan pada detik berikutnya, "aku berbuat begitu juga demi martabat negaraku sendiri."

Sorot tajam merah delima yang dingin berhasil membuat So Raru tertegun. Dengan hati-hati, So Raru bertanya pelan, "Apa maksudmu?"

Mafuyu mulai menyesap kopi hitamnya. "Dugaanmu soal keterlibatan kelompok separatis itu benar. Apa yang sebenarnya terjadi dalam acara peluncuran game tadi adalah peledakan bom berencana yang telah diatur oleh kelompok separatis, menurut penyelidikanku. Mereka kelompok sama yang menyerangmu tempo hari. Bom ditanam di kompleks perbelanjaan dan di gedung konferensi. Kau tahu apa alasannya?"

Seketika sepasang biru So Raru memicing tajam. "Jangan-jangan, acara peluncuran game yang diinisiasi promotor dari luar negeri."

"Sudah kuduga, bicara denganmu memang sangat efisien, ya." Mafuyu kembali meletakkan cangkirnya di meja. "Perkara seperti itu akan menyulut api konflik antara Federasi dengan pihak Republik. Apalagi bila korban rakyat sipil Utara berjatuhan ditambah kemungkinan interpretasi Republik yang merespon aksi itu sebagai penolakan terhadap warga asing dan berhubungan dengan konflik rasial. Tidak menutup kemungkinan masalah seperti ini akan menuntun dua negara ke arah yang lebih buruk."

"Peperangan..." So Raru merinding ketika kata itu terucap. Mafuyu mendengus. "Terima kasih pada aksiku yang tidak bertanggung jawab, sekarang narasi yang muncul adalah keributan yang semuanya tertuju pada kartel famili Orlov. Ledakan bom yang terjadi juga dipercaya sebagai tindakan famili yang berbuat onar di tempat umum dan dilatarbelakangi konflik antar kelompok di dunia bawah. Opini publik jadi sama sekali tidak mengarah pada kecurigaan mengenai keterlibatan pihak asing dalam tragedi itu."

Terdengar tawa santai mengiringi wajah yang menyeringai puas. Mafuyu memandang refleksi dirinya yang terpantul di mata seorang So Raru. "Membayangkan ekspresi dongkol macam apa yang dibuat para pak tua partai komunis itu saja sudah membuatku girang bukan kepalang. Benar-benar menyenangkan."

Tiba-tiba sorot mata merah itu berubah. Senyum riang Mafuyu kembali ke permukaan. "Nah, sebaiknya kau isi perut dulu. Kasihan lambungmu sejak tadi menjerit, kan?"

"Ap--!! Kau--"

Emosi So Raru selanjutnya ditahan. Pelayan wanita tadi kembali lagi dengan dua mangkuk sup berwarna merah kejinggaan yang terlihat masih panas. Mafuyu memandang wajah lelaki bersurai gagak yang lagi-lagi memerah seolah menikmatinya. Fakta yang cuma sukses membuat So Raru semakin kesal. Namun, dia memilih menghindari cekcok setelah pelayan itu pergi.

So Raru sempat memandang sup itu sangsi. Namun, melihat Mafuyu yang melahap hidangan serupa dengan amat santai membuat keraguan So Raru sedikit terkikis.

Maka dia mulai menyendok sup itu dan memasukkannya ke mulut. Tapi, belum juga beberapa kali mengunyah, So Raru sudah menutupi mulutnya dengan tangan. Mafuyu menelengkan kepala, heran melihat sepasang biru safir itu berair. "Kau kenapa?"

"Hei... masakan apa ini?"

Masih setengah bingung Mafuyu menjawab, "Itu solyanka. Hidangan yang cukup umum disantap saat makan malam, kok?"

So Raru sedikit melebarkan mata. "Apa makanan itu memang sepedas ini?? Aku tidak bisa mengecap apa pun selain asam dan pedas!"

Ditanya begitu, raut wajah Mafuyu malah kentara sekali bingung. "Perasaan pedasnya tidak sampai seheboh itu. Yah, kau tahu? Rata-rata masakan Utara memang didominasi rasa asam. Tapi, kupikir solyanka ini masih terasa wajar."

So Raru mendorong mangkuk supnya sedikit menjauh. "Aku tidak bisa makan pedas. Toleransiku pada rasa pedas itu rendah."

"Kau pasti bercanda."

"Oh, ya?" So Raru bersidekap dada tanda tak terima, "Memangnya kau sendiri bisa makan semua hal?"

"Yah," Mafuyu melirik tak nyaman pada cangkir minuman cokelat So Raru, "membayangkan kadar gula tinggi itu masuk ke mulutku saja sudah bikin aku mual."

So Raru mendengus. Mafuyu angkat tangan. "Baiklah, baiklah. Aku mengerti. Sebentar, aku akan pesan makanan lain ke kasir." Dengan perkataan itu, Mafuyu berdiri. Dia berjalan konstan menuju meja kasir dan berbicara dengan pelayan yang berdiri di sana. Cukup lama So Raru menunggu, hingga pria albino kembali sambil membawa sebuah nampan kecil di tangannya.

"Nih," kata dia sambil meletakkan semangkuk sup lain yang bersanding dengan satu cawan kecil krim asam dan sepiring garlic bread. So Raru mengernyit saat mendapati warna sup itu bahkan merah pekat, lebih merah dari sup sebelumnya. Sejenak pria itu memandang Mafuyu sengit. "Kau mempermainkan aku, ya?"

"Kau ini rewel sekali. Seperti seorang wanita saja," Mafuyu kembali duduk dengan santai di kursinya. Menunjuk mangkuk So Raru dengan sendok sup, ia menambahkan, "Sup itu disebut borscht. Warna merahnya berasal dari umbi bit. Tenang saja. Kalau yang itu aku bisa jamin nol persen ada cabai yang masuk ke dalamnya."

So Raru memutar-mutar mangkuk berisi borscht itu berulang kali. Dia bahkan sempat mengendus untuk memastikan keabsahan perkataan si albino. Hingga akhirnya, sang agen mencoba menyuap satu sendok dengan hati-hati.

Kali ini, kedua matanya melebar. Rasa manis dan sedikit asam segar yang hangat memenuhi rongga mulutnya. Tak lama kunyahan pelan sedikit dipercepat. So Raru memakan sup itu dengan lahap bersama garlic bread yang disediakan. Mafuyu sekali lagi mengangkat sebelah alis. "Tidak pakai krim asamnya?"

Pertanyaan itu berbalas gelengan cepat. "Rasa ini sempurna. Aku tidak tahu sup manis bisa terasa seenak ini."

Maka bertambahlah kerutan di dahi Mafuyu. "Kau pasti tipe orang yang sanggup menghabiskan satu bundaran besar ptichye moloko* seorang diri."

[*Note: ptichye moloko (птичье молоко) atau disebut juga Russian bird's milk cake adalah salah satu jenis kue souffle yang cukup populer di daerah Utara karena rasanya yang manis dan teksturnya yang sangat lembut. Ilustrasi akan disertakan di akhir chapter.]

Tak dia sangka, cibiran itu malah disambut baik oleh So Raru. "Oh, aku sudah minta dibuatkan kue itu dua kali selama menetap di sini. Apa kau punya rekomendasi camilan manis lain?"

"Yang benar saja," Mafuyu menggaruk sisi kepala. Raut wajahnya jelas tak habis pikir. Tapi, selanjutnya ia tidak banyak bicara. So Raru sempat termenung ketika Mafuyu kemudian menarik sup solyanka yang semula milik dia. "Kau mau menghabiskan dua mangkuk itu sendirian?" Lelaki bersurai gagak sedikit meninggikan intonasi. Mafuyu mengedikkan bahu. "Aku sudah keluar uang untuk ini. Lagipula, dari awal porsinya memang tidak sebanyak itu."

Menjeda makan sebentar, Mafuyu kembali meraih cangkir kopi hitamnya. Namun, kali ini dia langsung tersentak pada tegukan pertama. Mafuyu terbatuk lirih beberapa kali dengan dahi berkerut. Ia segera memeriksa cangkir di tangan kanannya selagi punggung tangan kiri sibuk mengelap bibir. Tak lama, pria itu menyadari beberapa balok gula telah hilang dari kontainer di meja mereka.

Mafuyu tersenyum kecut. Tampaknya, lelaki yang masih asyik makan di depannya ini merupakan tipe orang yang sangat, sangat pendendam.

-

-

-

"Ini."

So Raru terkejut saat Mafuyu menyodorkan ponsel dan dompetnya saat mereka berdua keluar dari restoran. "Aku tidak tahu apa ponselnya masih bisa diperbaiki atau tidak. Tapi, yang jelas semua kartu identitasmu masih aman di dalam dompet meski aku tidak yakin dengan jumlah uang yang masih ada," dia bicara selagi So Raru menampa dua benda itu.

Sepasang alis So Raru bertaut. "Dari mana kau bisa mendapatkan benda ini?"

Senyum riang pria salju kembali lagi. "Aku titip pada kenalan di tim investigasi untuk mengamankannya. Mereka mengeruk kanal tidak lama setelah kita pergi. Kau bilang gawat, kan, kalau identitasmu sampai ketahuan polisi dan masuk daftar orang yang dicari?"

"Memang benar, sih..." So Raru mulai memeriksa setiap sudut dalam dompetnya. Benar, seluruh kartu baik kartu identitas, kartu kredit, sampai kartu perpustakaan semua masih utuh. Ketika mencoba menyalakan ponsel, benda itu sudah mati total. Namun, untungnya kartu SIM dan kartu SD masih aman di tempat. Kalau begini, dia tinggal mengecek dan memulihkan data lalu ganti ponsel. Semuanya beres.

Untuk sejenak, lelaki pemilik manik biru safir terdiam. Namun, itu tak lama. Mafuyu menyadari lirikan So Raru yang penuh selidik ke arahnya. Akan tetapi, kalimat yang kemudian terlontar dari mulut si albino kemudian adalah, "Kenapa? Apa ada yang hilang?"

"Sebenarnya apa maumu?" So Raru memotong kalimat Mafuyu, "mau dipikirkan bagaimana pun, kau terlalu menempel dan terlalu banyak membantu orang yang cuma membeli informasi satu kali padamu. Itu pun, informasi yang tidak dibayar dengan tunai."

"Kau tidak terlihat seperti orang yang akan percaya kalau aku bilang ingin melakukan itu semua karena beritikad baik."

"Memang tidak," sekali lagi So Raru menyambar, "cuma orang bodoh yang mau menggantung lidah dan nyawa secara sukarela pada orang yang baru dikenal. Apalagi, orang dengan reputasi sepertimu."

"Kau juga kelihatan seperti orang yang tidak akan percaya kalau aku bilang semua rumor soal aku itu tidak benar."

"Memang tidak. Tidak setelah kau memberi demonstrasi gratis langsung di depan mata kepalaku sendiri."

Direksi sang agen kini sepenuhnya mengarah pada si pria salju. Tajam kedua birunya serta alis yang tegas. Wajah itu tak menunjukkan niat bercanda sama sekali. "Katakan padaku, Mafu--

"--Apa tujuanmu sebenarnya?"

Biasanya, cara seperti ini berhasil mengintimidasi siapa pun yang dia interogasi. Namun, tubuh tegap nan besar itu tak gentar. Bahkan sampai saat ini, So Raru belum satu kali pun melihat wajah berkulit pucat itu menampakkan rasa gugup. Bibirnya masih dengan senyum yang sama. Tipis, namun tidak terlihat takut. Juga tidak tampak seperti menyembunyikan apa pun sekaligus memendam sesuatu yang tidak diketahui.

Sesaat kemudian pria albino menyembur tawa pelan yang tertahan. Ia masih percaya diri membalas tatapan So Raru. "Apa dengan membuat kesepakatan, kau akan percaya padaku?"

"Apa?"

"Baiklah kalau itu maumu." Mafuyu berbalik, sekali lagi menunjukkan punggung lebarnya di hadapan So Raru. Dari balik bahu, Mafuyu menyengih tenang. "Mari kita buat kesepakatan resmi yang setara. Antara kalian, Kekaisaran, dengan aku, warga negara Federasi."

***

To be Continued...

Chapter berikutnya kemungkinan besar full adu bacot--

Maaf ya hari ini updatenya agak telatan. Kafka baru selesai melakukan perjalanan jauh:") capek kali, jujur.

By the way, barusan Kafka baru liat ada juga reader yg berteori www. Jujur seru banget bacain teori-teori liar kalian satu persatu. Gagasan kalian suka menarik dan nunjukkin kalau pembaca Kafka cukup kritis. Jadi, Kafka harap kalian ga takut nyampein pendapat biarpun mungkin aja ujungnya kegocek. Teruskan, teruskan! Apresiasi banyak banyak dari Kafka buat kalian! Hehe

Sebagai penutup, beberapa makanan yang tampil di chapter ini👉👉

1. Solyanka

(Fyi makanan ini beneran sebenernya ga sepedes itu, tau. Pedes pedesnya itu dari pepper klo gasalah)

2. Borscht

3. Ptichye moloko

Lumayan tuh, referensi kalau suatu saat kalian dikasi kesempatan jalan-jalan ke Rusia. Jangan lupa icip-icip makanan ini (Sama pirozhki yang kemaren^^).

Oke, sekian update hari ini. Makasih banyak buat vote dan komen-komen ajaib kalian. Sampai jumpa lagi minggu depan kalau tidak ada kendala. Babai~

January 25, 2024
-Sierrakafka-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro