Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.
Salju berguguran, menutupi apa pun yang tersentuh, menciptakan pemandangan putih di antara dedaunan merah, oranye, dan kuning keemasan. Masih cukup pagi, tetapi aku menjejakkan kaki di antara serpihan lembut dingin menuju area latihan.
Asher tampak berlatih memanah bersama tiga serigala pemburu. Di sisi lain, Lazaro sibuk bergulat dengan Alvito, ditonton Alisha yang tak henti bersorak dan sesekali berseru.
Kududukkan diri di sebuah kursi kayu panjang seraya mengamati mereka. Tak lama kemudian, indera pendengaranku mendadak menangkap suara beberapa langkah kaki mendekati area.
Aku menoleh. Ravantino, Aldevaro, dan Alrico tampak berjalan menghampiri dengan berbagai ekspresi masing-masing di wajah. Arlo, Javiero, Ayna, serta Cleona tak terlihat bersama mereka.
Alrico terlihat santai, hanya mengenakan celana pendek tanpa baju. Aku mendengkus, memperlihatkan rasa tak setuju.
Tidakkah ia akan mengundang perhatian para turis dengan penampilan seperti itu? Aku bahkan sengaja berpura-pura menutupi rasa dingin dalam balutan sweter putih.
Aldevaro tampak rapi dalam balutan busana kasual lengan panjang biru. Wajahnya sedikit lesu.
Ravantino memiliki selera berpakaian hampir mirip dengan si Ketua Alpha. Hanya saja, ia memilih warna cokelat sebagai ciri khasnya. Dia tersenyum ceria.
Sesuatu pasti membuat lelaki itu bangun dalam suasana hati yang menyenangkan. Apakah gerangan? Tunggu, kenapa mendadak aku peduli dan penasaran?
"Pagi yang menyenangkan di Brasov," ujar Ravantino sembari mendudukkan diri di sampingku.
Aldevaro mendengkus, memilih berlalu ke arah lain seraya menarik lengan Alrico. Mereka segera saja bergabung bersama Alisha, mengamati duel latihan antara Lazaro dan Alvito.
Aku hanya bisa bertahan beberapa menit sebelum memutuskan membuka mulut, saat tak tahan melihat senyuman lelaki di sebelahku yang memesona, tetapi menyebalkan. "Kau terlihat sangat ceria. Ada apa?"
Ravantino tertawa kecil. "Seseorang memberitahuku bahwa akan ada sesuatu yang menarik terjadi pagi ini."
Keningku berkerut seketika. "Siapa? Apa?"
Dia mendekatkan bibir ke arah telingaku. "Kau sangat ingin tahu?"
Embusan napas hangat lelaki itu menyentuh daun telinga. Rasanya menggelitik, menimbulkan sensasi aneh sekaligus debaran menggila.
Kujauhkan tubuhku darinya. "Kau tak perlu berbisik padaku."
Dia malah mengedipkan mata diiringi senyuman menawan. Lelaki itu sungguh menguji kesabaran.
"Arlo. Dia memberitahuku agar menemuimu pagi ini," ujarnya.
Tubuhku sepenuhnya kini menghadap Ravantino. "Apa lagi yang ia katakan?"
"Tidak ada," sahutnya santai. "Ia tak memberitahuku lebih lanjut. Namun, aku rasa itu pasti sesuatu yang menyenangkan."
Aku mendengkus, kembali ke posisi normal. "Kenapa Arlo, Javiero, Ayna, dan Cleona hampir tak pernah ikut bersama kalian?
Ia menyandarkan diri ke punggung kursi. "Mereka menghindari pertemuan terlalu sering dengan Aldevaro sementara ini. Alpha itu makin sensitif sejak kami semua mulai menemukan mate lebih dulu daripada dia."
Tanpa sadar, tawa kecil lolos dari mulutku. Aku buru-buru mengalihkan pandangan ke Asher yang kini berlatih duel bersama tiga serigala pemburu.
"Ada yang lucu?"
"Aku tak ingat kapan menerimamu sebagai mate-ku."
"Keana, kau tak bisa mengubah kenyataan tentang kita. Aku menunggu mate saat itu, tetapi kebodohanku adalah aku tak tahu bahwa kaulah yang kutunggu."
"Kau pikir aku akan menunggu seseorang mengeklaim setelah menolakku secara kasar dan menyakitkan?"
"Keana ..., aku sungguh minta maaf pada—"
"Kata maaf tak bisa mengubah apa yang telah terjadi, Rava." Kali ini aku menatapnya intens.
"Aku tahu, tetapi setidaknya bisa membuat awal yang lebih baik, bukan?"
Jangan menatap matanya, Keana. Berpalinglah atau kau akan tenggelam dalam pesonanya.
Kualihkan kembali tatapanku ke arah Asher yang tengah mengibaskan butiran salju di rambutnya. "Aku lebih memilih memulai sebuah awal yang baru bersama pilihan lain yang lebih menyenangkan."
"Kau sungguh percaya, Asher adalah jawaban yang kau inginkan?"
"Ya. Setidaknya ia tak pernah menyakitiku."
Asher menoleh ke arahku. Senyuman samar terlihat sekilas di lengkungan bibir beta itu.
"Keana, harus berapa kali kukatakan, saat itu aku tak tahu kau adalah mate yang kunantikan."
"Usaha yang bagus, Asher!" teriakku saat melihat gerakan lelaki itu menghindari serangan Dante dan Gryson.
Mereka menoleh serentak. Asher mengembangkan senyuman membalas ucapanku. Gryson memutar bola mata dan Dante tertawa ceria.
"Keana ...."
"Teruslah bicara, Rava. Aku mendengarkan, tetapi hanya sebatas itu. Jangan berharap lebih." Aku menelengkan kepala ke arahnya, menatap lelaki itu tanpa memperlihatkan ekspresi apa pun.
Ia tertawa kecut seraya menggeleng-gelengkan kepala. Tarikan dan embusan napas panjang lolos dari mulutnya. "Kau sungguh keras kepala ...."
"Oh, kau masih punya persediaan kritikan lagi untukku? Wow, terima kasih. Aku tak tahu kau begitu peduli padaku," balasku dalam nada sarkastis.
"Kenapa kau sulit me—"
"Asher!" teriakku ke arah beta. Kutunggu sampai ia menoleh. "Kau ada waktu nanti malam?"
Kening lelaki itu berkerut seraya mengangguk. Ia berjalan mendekat. "Ada apa?"
Aku tahu Rava pasti tengah membaca apa yang kupikirkan. Ekor mataku menangkap sikapnya yang gelisah. "Kita kencan malam ini."
Suara geraman rendah terdengar dari arah sebelahku. Asher menoleh, menatap Rava, dan menunduk.
Aku bangkit, berjalan menghampiri, dan menepuk bahu beta itu. "Jam tujuh, jemput aku."
"Ana ...." Asher menatapku ragu.
Aku memasang pandangan mengancam. "Jam tujuh."
Asher menghela napas dan menganggukkan kepala. Mata lelaki itu mengikuti Ravantino yang bangkit kasar dari kursi dan melangkah pergi tanpa kata.
Ravantino meninggalkan area latihan, diikuti pandangan adikku, dua alpha, serta para serigala pemburu. Jejak langkahnya tertinggal di tanah yang sebagian tertutup salju.
Sebuah pertanyaan muncul di pikiran. Apakah aku membuat sebuah kesalahan?
***
"Wow, Asher! Kau terlihat tampan!"
Kudengar seruan Lazaro disusul percakapan singkat antara orang tuaku dan Asher saat aku masih sibuk mengenakan jaket dan sepatu bot kulit cokelat setinggi lutut, melengkapi gaun putih pendek di tubuh. Aku mematut diri di depan kaca. Ini adalah pertama kalinya aku mengenakan gaun untuk sebuah kencan.
Aku mengembuskan napas kuat sebelum memutuskan keluar kamar dan turun untuk menemui Asher. Kulihat beberapa pasang terpaku menatapku tanpa kedip.
"Wow, Sora. Aku tak tahu kau pernah membeli gaun," celetuk Lazaro yang segera mendapat senggolan dari mama di bahunya.
Aku memutar bola mata mendengar ucapan sarkastis Lazaro. Tata dan mama tampak memandangiku dan Asher bergantian. Kutangkap tatapan intens dari si beta melalui ekor mata.
"Kalian ...." Mama tak menyelesaikan ucapannya. Ia terlihat ragu meneruskan.
"Aku mengajak Asher kencan malam ini," ujarku menjawab tatapan herannya.
Tata menghampiri Asher dan menepuk-nepuk pundak si beta pelan sebelum meninggalkan kami tanpa kata. Mama mendesah, lalu ikut berlalu menyusulnya.
Aku berjalan mendekati Asher dan Lazaro. "Kau tampan juga saat memakai pakaian resmi."
Asher tersenyum samar. "Hanya saat berpakaian resmi?"
"Ya, kau terlihat berbeda dalam penampilan busana resmi, Asher," celoteh Lazaro sembari memandanginya lagi.
"Oh." Asher sedikit gelisah, menggerak-gerakkan tubuh seakan ada sesuatu yang membuatnya tak nyaman sambil sesekali mencuri pandang ke arahku. "Kau pun terlihat ... makin cantik ..., Keana."
Dia berdeham-deham kecil. Wajah lelaki itu bersemu merah. Ia menawan jika saja aku tak terbiasa bersamanya sebagai bagian keluarga selama ini.
Aku masih ingat saat tata menggendong ia pulang di suatu malam. Asher kecil menghabiskan semua makanan di meja, lalu tersenyum malu saat menyadari sikapnya.
Keluarganya terbunuh oleh vampir yang diyakini adalah oscuro. Tata membawa Asher kecil ke rumah setelah menemukan dia menderita kelaparan berhari-hari tanpa ada yang mengurusnya dan terluka kena jebakan hewan di hutan. Sejak itu, ia menjadi bagian dari keluarga kami.
"Kita berangkat sekarang?" ajakku tanpa basa-basi.
"Kau sungguh gadis yang tak normal. Seharusnya pihak lelaki yang mengucapkan itu," celetuk Lazaro.
Aku meninju pelan bahu adikku. "Kau urus saja dirimu. Sekian lama menyukai Lavenia, kapan kau akan membuka hati untuk gadis lainnya?"
Lazaro menggaruk-garuk dadanya dengan ekspresi masam. Asher tertawa kecil.
"Ayo, kita berangkat sekarang."
Kali ini ia yang mengajak. Aku mengangguk sebelum mengiringi langkahnya menuju mobil, lalu membawa kami melaju menembus malam.
***
Kencan seharusnya menyenangkan, bukan? Itu yang kupikirkan sebelum memutuskan mengajak Asher menikmati musik dan makan malam romantis di salah satu kafe.
Namun, aku salah. Bersama Asher sungguh ... biasa. Tak ada bedanya dari keseharian kami. Tidak ada debaran atau sensasi seperti yang kurasakan saat berdekatan dengan Ravantino.
Apa yang salah? Kenapa bisa berbeda?
Asher menawan. Namun, jantungku terus mendetakkan nama si mate sialan.
Tanpa sadar aku membanting pintu saat turun dari mobil setibanya kembali di hotel pack. Aku sengaja meminta Asher tak mengantarku ke rumah setelah menghabiskan malam yang sedikit membosankan.
Kencan yang mengecewakan. Percakapan pun hampir tak ada selama di perjalanan.
Asher ikut turun dari mobil, menutup pintu pelan, lalu menatapku yang berdiri menunggu. "Ana ... maaf, aku ...."
"Sudahlah, aku mengerti." Aku berbohong.
Asher menggeleng. "Aku rasa tidak. Ana, aku sungguh bahagia bersamamu dan mencoba sebisaku membuatmu menikmati kebersamaan kita. Namun, aku tahu pikiranmu ada di tempat lain."
"Jangan menduga sesuatu yang kau tak tahu pasti," elakku.
"Ana, kau bahkan beberapa kali tak mendengarkan saat aku mengajakmu bicara." Asher menatapku tajam kini, memperlihatkan sebuah tatapan kekecewaan. "Kau memikirkannya saat bersamaku."
"Aku tidak memikirkannya!" Aku berbalik, hendak meninggalkan Asher. Lebih tepatnya, menghindar. Sebuah tangan buru-buru mencegahku.
"Ana, kau perlu bukti?"
Aku membisu, bergeming di posisiku. Benak penuh pikiran kalut.
"Jika aku bisa membuktikannya, apakah kau bersedia jujur pada hatimu?" tanya Asher pelan.
Kubalikkan tubuhku, menentang matanya. "Buktikan saja. Kau akan lihat, kau salah!"
Baru saja aku menyelesaikan kalimatku, Asher maju dan menyatukan bibir kami. Lembut, hangat, tetapi tak ada debaran.
Aku bahkan tak tahu bagaimana membalasnya, selain diam dan membiarkan bibir Asher bekerja. Setelah beberapa menit, ia berhenti, menatapku lekat-lekat.
"Kau lihat? Aku benar .... Di hatimu tak ada aku, Ana ...."
Dadaku bergemuruh. Tidak, itu bukan gairah, tetapi kemarahan. Aku marah pada diriku.
Egoku menolak. Kuraih leher Asher dan mulai melumat kasar bibir lelaki itu.
Buktikan, Keana. Kau harus perlihatkan bahwa kau menyukainya!
Tidak. Aku menggeleng frustrasi saat tak merasakan sensasi yang kuinginkan meski Asher membalas begitu hangat dan bergairah.
Kujauhkan tubuh, tanpa sadar berbalik, dan berteriak penuh kekesalan. "Mate sialan!"
Aku tak sanggup melihat tatapan kesedihan bercampur kekecewaan di matanya. Hatiku tak nyaman jika mengetahui bahwa perasaan Asher terluka.
"Maaf ...." Aku mendesah lirih.
Tak ada sahutan dari lelaki di belakangku. Kupejamkan mata sebelum membukanya kembali dan bergegas melangkah pergi.
***
Aku membisu menatap pintu kamar Ravantino. Beberapa kali tanganku terangkat hendak mengetuk, tetapi selalu kuurungkan.
Kau harus mengetuknya, Keana. Kau harus buktikan perasaanmu pada Ravantino. Hanya satu sentuhan bibir, kau akan tahu.
Kuembuskan napas pendek, meyakinkan keputusan. Tanganku terangkat kembali dan mengetuk pelan.
Pintu terbuka. Wajah setengah tidur Ravantino dengan rambut pirang acak-acakan terpampang di hadapan, menatapku lebar.
"Keana? Ada ap—"
Aku spontan menyerang bibir lelaki itu, untuk membuktikan perasaanku. Kututup pintu secara asal seraya mendorong Ravantino ke arah ranjang.
Hanya butuh beberapa detik buat lelaki itu untuk berpikir sebelum kurasakan balasan tak kalah dahsyat darinya. Lumatan beradu, saling menyesap, mengulum, dan memainkan lidah. Bunga api seakan memercik di kulit saat bersentuhan seiring jantung menggila dalam debaran.
Kuperdalam penyatuan bibir kami dengan menekan bagian belakang leher Ravantino ke arahku. Ia pun melakukan hal serupa dalam pelukan makin erat. Bibir kami saling serang, beradu dominasi satu sama lain.
Aku tak sadar saat mulai menggerakkan tanganku, mengangkat kaus Ravantino dan melepaskannya. Kembali kusatukan bibir kami yang sempat terjeda sebelum melanjutkan dalam gerakan makin hebat.
Otakku tak lagi berpikir waras. Kumainkan jemari liar di kulit punggung dan dada Ravantino.
Sentuhan jemari Ravantino menyusup ke balik bajuku, menyentuh liar punggung dan dada. Napasnya lebih hangat daripada Asher. Detak jantung kami seakan beriringan melantunkan nada yang sama.
Aku tersentak saat ia bergerak hendak membuka bajuku. Buru-buru kulepaskan tautan bibir sekaligus merenggangkan tubuh kami yang menempel erat dengan mendorongnya kasar.
Napasku tersengal. Ia pun sama. Gairah itu ada. Aku merasakannya.
Serigala di diriku melolong seakan menyuruhku kembali meneruskan. Kugelengkan kepala, mencoba menghentikan pikiran gila.
"Keana ...? Sweetie ..., kenapa berhenti?"
Aku sadar telah melakukan kesalahan. Kumaki diriku dalam hati sebelum berbalik, buru-buru melangkah menuju pintu, membukanya, lalu buru-buru pergi tanpa menoleh lagi.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro