#97
Panjang banget lho ini, bisa dibaca sampai dua hari biar kalian bisa kangen-kangenan sebelum tamat :3
| RavAges, #97 | 7002 words |
DI SEKITARKU, api berkobar. Panas. Silau. Kulitku meremang dan bola mataku seperti akan meleleh keluar. Di atas atap-atap rumah, Pyro dan Embre berkejaran, membakar semua yang menghalangi mereka. Para petugas patroli terus mengarahkan orang-orang untuk meninggalkan pemukiman, beberapanya masih mencoba mengendalikan situasi di antara para Calor.
Di kakiku, Truck terbaring dan mengerang singkat. Darahnya sudah berhenti mengalir keluar, tetapi dia masih kesulitan bergerak usai menerima hantaman popor senjata di belakang kepala.
Di hadapanku, seorang lelaki kurus mencengkram senjata laras panjang. Salah satu matanya yang rusak tidak bergerak, terpancang padaku, matanya yang lain memancarkan kebencian dan dendam. Itu caraku menatap Komandan Binta.
Di sisiku, Erion tampak kepayahan, penuh jelaga, berbau hangus, dan kulitnya memerah. Anak itu terhuyung-huyung memasang badan di depanku dan Truck dengan sikap melindungi.
Aku selalu merasa bahwa ini tidak adil, ujar Sir Ted dalam ingatanku. Saat orang tua berbuat salah, kenapa anak-anak mereka yang harus membayarnya?
Apa-apaan kami selama ini? Berlindung di balik badan anak 10 tahun?
"Aku bukan lagi manusia lemah seperti berbulan lalu." Harun menggertakkan gigi. "Yang bahkan tidak berani mengangkat satu jari pun di hadapan kalian para Fervent. Meski aku manusia normal, kalian tidak bisa meremehkanku lagi."
Aku menarik Erion agar mundur, tetapi anak itu bersikeras. Harun menggerakkan jarinya di pelatuk.
"Tidak!" Aku menyeruak dari sisi tubuh Erion dan mendorong moncong senjata ke atas. Peluru melesat entah ke mana, membuat orang-orang menjerit panik. Dikelilingi api dan diberondongi peluru di atas kepala—mereka terkepung.
Di belakangku, Erion ambruk ke atas Truck. Matanya hampir berputar ke atas. Lalu kusadari sebelah sepatunya hilang, kakinya melepuh.
"Ah ...." Air mataku seharusnya sudah habis, tetapi rupanya aku masih bisa menangis lebih kencang lagi.
Alatas tidak ada.
Calor dan Teleporter terbaik kami raib.
Truck kelelahan karena begitu banyak yang kami alami belakangan ini.
Erion sudah mencapai batasnya.
Sir Ted terluka.
Embre dan para Calor masih berusaha mengekang Pyro, tetapi mereka harus menahan diri agar tidak membakar kami semua.
Bahkan para Pemburu dan petugas patroli sudah kehilangan minat menangkap kami karena prioritas mereka saat ini adalah melarikan penduduk.
Dan aku terjebak di bawah belas kasih seorang manusia normal dan dendam kesumatnya. Di matanya, aku melihat pantulan wajahku sendiri. Ekpresi kebenciannya adalah ekpresi mukaku sendiri saat menghadapi prajurit NC.
Aku bisa meledakkan kepala Harun ... lalu, menyeret Erion dan Truck menjauh dari sini, menemui Sir Ted ... atau aku bisa langsung meledakkan Pyro di sini meski dampaknya akan membunuh semua orang—mereka akan terlempar oleh gelombang energi dan terpencar-pencar ke sepenjuru Kompleks 1, atau hangus, atau terkoyak ... toh, aku tidak peduli pada mereka, 'kan? Aku tidak peduli jika tempat ini berubah jadi ladang radioaktif. Setelah itu, aku tinggal memohon pada Raios untuk membantuku mencari Alatas.
Aku bisa melakukan itu semua.
Namun, aku tidak melakukannya.
Kuraih moncong senjata Harun, dan menempelkannya ke keningku sendiri.
"Cepat," kataku, tetapi dia malah mematung. Kurasakan senjatanya bergetar, jadi aku mencengkramnya lebih kuat agar tembakannya akurat. "Akhiri. Sekarang."
Matanya goyah.
"Jangan ragu," kataku. "Aku ragu kapan pun aku memiliki kesempatan membunuh Komandan. Lihat apa yang terjadi sekarang? Tarik pelatuk itu, tapi ...."—Kugertakkan gigiku, mati-matian menjaga agar suaraku tetap stabil. "Tapi, jika kau berani-beraninya menyentuh Erion dan Truck—"
"Mereka Fervent—"
"Mereka menolongmu!" isakku keras-keras. Untuk sedetik, Harun tersentak ke belakang seolah teriakanku mendorongnya. "Ingat-ingatlah! Di dalam sarang Icore itu, Alatas menggendongmu di punggungnya! Bisa kau ingat genggaman tangannya di kakimu? Pasti bisa! Tangannya berdarah saat itu, menetes-netes ke pasir pantai!
"Ingat-ingatlah, Erion menghabisi para gadis Fervent agar kita bisa kabur! Pernahkah kau menghabisi manusia dengan tanganmu sendiri? Kau tahu rasanya? Aku sendiri tak pernah tahu sampai aku menembak seorang pria! Erion pun takkan tahu—setidaknya sampai nantinya dia lebih besar dan menyadari tindakannya!
"Ingat-ingatlah, waktu itu kau menggigil karena para Icore menyanderamu tanpa baju atasan—Truck melepaskan baju hangatnya, dan dia pakaikan ke badanmu! Apa kau bahkan menyimpan baju itu sampai sekarang? Apa kau mengingatnya? Kau ingat saat kita di koloni Teleporter, dan para Teleporter mencoba membunuh kita begitu mereka tahu kau manusia normal? Kau ingat Neil dan Op membawa kita kabur dari teman-teman mereka? Kau ingat Neil membawamu kemari hingga kau masih hidup sampai sekarang?! Kau ingat apa yang baru saja terjadi?! Kau lihat siapa yang membawa pesawat Specter itu sampai lenyap ke langit untuk menyelamatkan tempat menyedihkan ini? Kau ingat—"
Aku terbatuk. Asap pekat mulai meracuni paru-paruku. Padahal aku memiliki Cyone, dan rasanya tetap saja seperti dicekik tangan tak kasat mata. Aku tidak bisa membayangkan Erion ... tanpa perlindungan ....
"Kau ingat saat Aaron pergi subuh itu?" tanyaku terisak-isak dan terbatuk-batuk. "Aku mengingat dengan jelas—dia berteriak padaku. Dia menangis. Suaranya pecah. Dia berusaha menahanku. Dan aku mengatainya—" Kudongakkan kepalaku. Di balik tirai air mata dan rambutku yang kusut, kutatap Harun lekat-lekat. Kueratkan moncong senjatanya ke kepalaku. "Aaron mati gara-gara aku. Keluargamu tertahan karena itu. Dan aku tidak akan menyangkal. Jadi, kau bisa menghabisiku di sini, sekarang juga ... tapi biarkan Erion dan Truck hidup. Bukan mereka yang harus kau hukum untuk perbuatanku."
"Leila!" Aku mendengar teriakan Embre, lalu merasakan panas menyengat dari sisi tubuhku. Tepat saat mataku melirik ke samping, aku melihat Pyro melesat ke arah kami. Namun, semua sudah terlambat.
Harun menarik senapannya sampai lepas dari cengkramanku, mengayunkannya, lantas menghantam kepala Pyro seperti memukul bola kasti.
Aku tidak bisa melihat detailnya lebih jelas lagi karena mataku penuh air dan bengkak parah, penglihatanku memerah. Yang jelas senapan itu terlempar bersama badan Pyro ke jalan.
Terjadi kekacauan total di dekat kami. Api menyambar-nyambar.
"Kenapa ...." Mataku buram, tetapi aku yakin benar Harun masih menatapku. Namun, dia tidak membunuhku. "Kenapa—"
Untuk beberapa detik yang singkat, pandanganku sedikit lebih jelas, dan yang kulihat sama sekali tidak masuk akal bagiku. Tatapan matanya ... seolah dia kasihan sekaligus jijik padaku. Seolah aku adalah anjing sekarat yang baru saja menggigit kakinya, dan dia tak mau melakukan apa-apa terhadapku—tidak melukai atau pun menolong.
Harun melesat pergi, mendatangi para petugas patroli yang mulai merapat untuk mengepung Pyro. Aku pun merangkak ke atas tubuh Erion. Di bawahnya, Truck mulai menggeliat bangun.
Kurasakan sesuatu berkelotak menghantam kepalaku. Saat aku membersihkan mata dan wajah, kulihat Arka menggeletak di tanah, gosong dan rusak. Di belakang kami, para Pemburu mati-mati mengecilkan api Pyro dengan semua yang bisa mereka pakai—seragam mereka, karung, seember air, injakan kaki. Sedikit demi sedikit, mereka memperkecil jarak, lalu menyalakan Arka setelah memastikan bahwa benda itu sudah efektif untuk digunakan.
Di saat-saat terakhir, Pyro membuka mata. Wajahnya berlumuran darah, tetapi kesadarannya penuh saat para Pemburu dengan sabuk penuh Arka menghujamkan belati pada kedua tangannya yang terentang. Dia melolong, matanya membelalak. Detik demi detik dia habiskan menyaksikan Harun menginjak perutnya dan melesakkan moncong senjata ke mulutnya.
"Berdiri." Truck berkata sambil terbatuk serak. Kami saling papah dan terpincang-pincang untuk menepi. Kedua tanganku menggendong Erion yang bergelung rapat tak sadarkan diri. Di belakangku, terdengar suara letusan senjata.
Tak banyak yang bisa kuingat setelahnya. Samar-samar, aku merasa luka-lukaku dibalut, entah oleh siapa. Aku bahkan tidak ingat sejak kapan ada luka robek di atas sikuku dan sejak kapan jari-jari tangan kiriku terbakar.
Begitu aku membuka mata dengan kesadaran terkumpul kembali, kudapati diriku kembali ke dalam bangunan istal.
Erion berbaring miring di sampingku. Tubuhnya bergelung rapat sambil menggigil, sebelah kakinya diperban, keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya, keningnya panas. Kusentuh ujung kakinya yang berkedut-kedut. Kedua telinganya penuh luka dan sepasang alat bantu dengarnya sudah peretel di tanah.
"Sakit sekali, ya?" bisikku seraya menahan air mata. Dia tidak menjawab.
Jika yang hilang tidak ketemu, akan ada yang mati lagi .... Barangkali inilah maksudnya. Kami selalu punya Cyone ekstra yang menunjang keselamatan kami, tetapi kini tanpa Alatas ....
Di sekitarku, tubuh-tubuh lain menggelimpang, mengerang-erang—beberapa wajah kukenali dari koloni Calor. Luka-luka mereka bahkan lebih parah dariku. Meski mereka bisa menjelma jadi api, beberapa dari mereka tidak kebal peluru atau hantaman keras.
Di sisiku, Sir Ted masih tersandar tidak berdaya, perbannya masih merembeskan darah, dan napasnya terdengar berat.
Anak-anak Calor berkumpul ke sudut istal, berbisik-bisik gugup, ada yang menangis, ada yang berjinjit dan mengintip keluar jendela.
Sesuatu berkelotak jatuh di sampingku, membuatku kaget setengah mati. Ketika aku menoleh, kulihat senjata laras panjang yang tiap goresan di badannya dan bentuk magasinnya kukenali. Ini senapan yang selalu dibawa-bawa Alatas.
Di sampingku, Harun berdiri. Kusadari kini dia memakai seragam serba hitam—petugas patroli Kompleks 1. Sebesar itu kebenciannya pada Fervent, mengubahnya dari anak nelayan jadi anggota NC. Tangannya masih terulur setelah dia menjatuhkan senjata itu ke dekatku.
"Kutemukan itu di tumpukan jerami sebelum si lelaki Fervent masuk ke dalam Specter," ujarnya dingin. "Barangkali kau mau menggunakan itu untuk membunuh Binta atau anaknya—aku tidak peduli."
"A—"
"Jangan bicara. Aku muak mendengar suaramu." Harun menendang senjata itu ke pangkuanku. "Saat aku diikat tadi, aku mendengar rencana kalian—menghilangkan sumber Artificial Night, 'kan? Kalau begitu, aku tidak perlu repot-repot membunuhmu. Pergilah ke sana dan mati bersama Binta. Tapi, kalau kau tidak mati, kuharap kita tidak bakal bertemu lagi."
Aku masih diam sampai dia berbalik dan berjalan menjauhiku. Kupeluk senjata laras panjang Alatas seperti yang biasa dia lakukan.
"Siapa itu?" Seorang wanita dari koloni Calor menghampiriku. Dia Iris, orang yang dulu membantuku dan Alatas di atas arena mereka. "Dia bagian dari kita juga? Kenapa petugas patroli bisa bersama kita?"
"Bukan," kataku tersengal. "Iris, kukira, kau tidak ikut kemari,"
"Memang tidak." Iris memeriksa perban di lenganku, lalu memutukan bahwa lukaku tidak apa-apa. "Pak Timothy menghubungi kami dan melaporkan semuanya, jadi kami pergi ke sini. Kudengar, si cakep hilang bersama Specter, ya? Dan para Teleporter meninggalkan kita?" Lalu, wanita itu menundukkan pandangan, menyembunyikan air matanya. Suaranya pecah. "Dan Pascal ...."
Aku buru-buru meraup lehernya, menariknya. Kami berpelukan untuk sesaat, menangis berdua. Kukatakan padanya bahwa Pascal melindungi anak-anak Calor sampai akhir.
Setelah kami lebih tenang, aku bertanya, "Iris, jika kalian di sini, siapa yang menjaga Raios dan Meredith di rumah sakit T. Ed?"
"Itu ...." Iris mendadak murung. "Begitu kami mendengar kekalahan telak kalian di sini ... Raios tiba-tiba bangun dari komanya. Kurasa, dia memang sudah bangun sejak lama, tapi menunggu sampai kita terpuruk seperti ini. Dia membunuh banyak sekali Fervent yang menjaga Meredith, termasuk Sabang, lalu pergi bersama gadis itu. Jadi, kami tidak punya pilihan selain berangkat kemari dengan satu-satunya Specter yang tersisa."
Iris menunjuk ke arah anak-anak Calor yang berkerumun. Di antara anak-anak itu, kulihat Mo, gadis Teleporter cilik yang tidak bisa berteleportasi lebih dari satu meter jauhnya. Kata Iris, "Raios hanya menyisakan nyawa anak itu. Sisanya—" Jari wanita itu menarik garis melintang di lehernya.
Seluruh Fervent terbaik T. Ed dihabisi ... tetapi mereka menyisakan beberapa yang mereka tahu takkan bisa berbuat banyak. Mereka memberi kami harapan kecil, tetapi ini tidak ada bedanya dengan memberi sekeping koin 500-an untuk membeli permen ke tangan pengemis yang butuh makan, minum, dan sandang.
Raios. Aku memejamkan mataku. Jadi begini rencanamu, ya?
Aku mendengar suara tawa samar-samar.
"Apa yang terjadi di luar?" tanyaku sembari melihat anak-anak Calor dan Mo yang bergerombol di dekat jendela.
"Perselisihan yang memang sejak dulu ada." Iris menjawab dengan muram.
Aku bangkit berdiri dengan dipapah Iris. Kami menghampiri jendela, lalu Mo memotong jalanku. Matanya berkaca-kaca. "Aku mau menolong. Aku bisa berteleportasi beberapa kilometer sekarang. Salah satu Teleporter di koloni Kak Neil mengajariku. Jadi, ayo kita jemput para Teleporter di koloni mereka. Aku tahu jalannya."
Saat orang dewasa berbuat kesalahan, anak-anak ini yang membayarnya ....
"Mo," kataku seraya membelai rambutnya. "Tidak usah. Kau harus jaga yang lain di sini. Lagi pula, Neil benar. Ini bukan perang mereka. Mereka punya keluarga sendiri untuk dijaga."
"Tapi!" Mo bersikeras. "Orang-orang jahat di luar itu tidak mau tahu!"
Aku menyuruhnya berjanji agar tetap di sini. Aku dan Iris pun keluar, lantas melihat selingkaran personel Kesatuan Pemburu, petugas patroli, dan beberapa orang sipil mengepung bangunan istal. Di halaman istal, menghadap todongan senjata, Embre mengangkat kedua tangannya, antara menunjukkan penyerahan diri dan merintangi orang-orang bersenjata dari kami yang berada di dalam istal.
Di belakang Embre, aku bisa melihat dua pria dan satu wanita Calor lain yang hanya menderita cedera ringan, berdiri mendampinginya. Truck, Yohannes, dan keenam gadis Fervent juga di sana, bersiap sebagai tameng jika harus ada pertumpahan darah lagi. Lalu, di tepi kerumunan kecil Fervent yang terkepung itu, kulihat Ryan dan Giok—dua manusia normal di antara kami—menodongkan senjata laras panjang pada para Pemburu.
"Sekarang kita terjebak di sini," kata Iris lemah. "Tanpa para Teleporter. Tanpa transportasi karena Specter yang kami bawa kemari pun sudah tidak punya bahan bakar. Semua rencana apik yang disusun Pak Timothy berantakan hanya dalam satu jam. Satu-satunya alasan kita belum diseret atau dieksekusi adalah para Pemburu dan warga sipil ini juga menderita luka-luka dan kehabisan amunisi, seperti kita."
Iris dan aku menghampiri kerumunan yang terkepung. Melihatku, beberapa penduduk tampak terkesiap. "Itu. Perempuan itu. Dia menyuruh temannya menjatuhkan pesawat tadi ke pemukiman kita."
"Dia bilang, dia tidak peduli pada kita."
"Aku juga mendengarnya."
"Omong kosong macam apa itu?" Ryan mengangkat senjatanya lebih tinggi. "Seorang Fervent mengorbankan dirinya dan lenyap bersama pesawat yang seharusnya menewaskan kalian, tapi kalian lebih suka mengingat Fervent lain yang berkata bahwa dia tidak peduli pada kalian? Kalau boleh jujur, aku juga tidak peduli untuk menembak orang mana saja di antara kalian saat ini."
"Kau manusia normal." Salah satu petugas patroli balas menodongkan senjatanya pada Ryan. Padahal menurut Iris, mereka sudah kehabisan peluru gara-gara Pyro, tetapi mereka tampaknya menggunakan apa saja sebagai ancaman. "Kau tidak seharusnya membela orang-orang ini."
"Lihat ke sebelah kalian," kata Giok sambil mendengkus geli. "Yang berseragam dengan setrip jingga itu—iya, mereka, para Pemburu. Memang mereka itu apa? Beruang gunung? Mereka itu Fervent! Kalian juga bekerja dengan Fervent! Goblok banget."
Kurasakan tangan Truck menepuk bahuku. Matanya bengkak. Padahal Truck hampir tidak pernah sakit sepertiku, tetapi wajahnya pucat pasi. Kurasa, dia juga sudah mendengar perihal Alatas.
"Aku akan mengecek Erion," ujarnya, lalu menyelinap pergi ke dalam istal.
"Tidak bisakah kalian setidaknya membiarkan kami di sini?" tanya Embre dengan suara lantang. Kedua tangannya masih terangkat. "Kalian tak mau memberi kami air, makanan, pertolongan pertama—tidak masalah. Tapi setidaknya, jangan menembaki kami. Ada 22 anak kecil di dalam, 13 orang terluka—"
"Kalian Fervent!" jerit salah satu wanita berpiama dan rol rambut miring. Tampaknya dia dan keluarganya diungsikan saat akan pergi tidur. "Luka-luka kalian tidak lebih parah dari kami!"
"Dan kami kehilangan rumah kami!" Pria di sebelahnya menyetujui.
"Aku masih tidak bisa menemukan ibuku!" raung seorang anak remaja yang barangkali hanya setahun lebih muda dariku.
"Aku terpisah dengan anakku—"
"Mobilku terbakar—"
"Oh, bagus!" Iris mengejutkan kami semua dengan berteriak. "Jadi, sekarang kalian merasakan setidaknya separuh dari apa yang kami alami selama ini!"
Embre menoleh dan memelototi wanita itu, tetapi Iris tidak berhenti.
"Kami juga bisa terluka, dasar kalian otak udang! Dan bagaimana kami bisa kehilangan rumah kami sekarang kalau sejak awal tidak punya rumah? Sebagian besar dari kami malah tidak ingat wajah ibu atau ayah kami! Sebagian besar dari kami sudah tidak bisa punya anak gara-gara NC, dan kalian tak mempermasalahkan itu! Dan, siapa tadi yang mengelu-elukan mobilnya?! Sini, akan ku—"
Aku menarik Iris ke belakang kerumunan, mencoba membuatnya terlindung dari moncong-moncong senjata yang kini terarah padanya. Namun, tidak mudah menenangkan wanita histeris yang mengabsen kebusukan orang—Iris membuat daftarnya panjang sekali.
Ketika salah satu senapan yang terarah ke Iris berkelotak, Embre menggeram dan mengobarkan api di seluruh tubuhnya. Para pengepung kami tersaruk mundur dengan gugup. Namun, sesaat kemudian, Embre memadamkan apinya. Bahunya yang berasap turun-naik mengatur napas. Kemudian, pria itu melakukan hal yang membuat kami semua terkesiap.
Dia berlutut.
Kedua tangan, lutut, serta keningnya merapat ke tanah. Suaranya bergetar. "Kumohon," ujarnya, "tinggalkan kami. Kumohon. Kami akan meninggalkan tempat ini sesegera mungkin. Jika kalian ingin membawa pulang Fervent tangkapan, bawa aku, tapi tinggalkan yang lainnya. Aku mohon."
Keheningan memerangkap kami.
"Lihat baik-baik," kata Giok, mengambil kesempatan ini. "Pria ini bisa menghanguskan kalian dalam sekejap tanpa melukai teman-temannya sama sekali, dan yang dilakukannya adalah berlutut pada kalian."
"Dan ingat sekali lagi," geram Ryan, "yang menyelamatkan nyawa kalian adalah seorang pemuda Multi-fervent pengendali logam yang bisa menjatuhkan pesawat itu kapan saja, tetapi dia memilih lenyap bersama pesawatnya—dan hanya NC yang tahu apa yang ada di atas sana. Yang mengatasi Specter satu lagi adalah seorang Calor dan seorang Teleporter—keduanya sudah mati sekarang. Bisa kalian kembalikan mereka pada kami?"
Salah satu gadis remaja yang barangkali dua atau tiga tahun di atasku menunjuk ke arahku. "Tapi perempuan itu ingin kami mati!"
"Aku tidak akan menyangkal itu," ujarku. Kutatap gadis itu dalam-dalam sampai dia tersaruk mundur ke balik tubuh wanita gempal di sisinya. "Kau mau aku berbuat apa untuk menebusnya? Ditembak mati? Dibakar hidup-hidup? Lakukan saja. Aku tidak bakal lari."
"Tentu saja kau tidak bakal lari!" Gadis itu memekik lagi. "Kau Fervent!"
"Tidak ada bedanya ...."
Aku teringat ucapan Sir Ted bahwa tidak masalah aku terlahir sebagai manusia normal atau Fervent sekali pun. Sekarang aku memahami itu.
"Teleporter yang mati hari ini ... namanya Op, dan dia tidak pernah berhenti mengelu-elukan kekuatannya pada siapa pun." Aku mulai bicara meski seharusnya aku tidak punya hak untuk berucap apa-apa. "Bahwa dia Teleporter terhebat dan sebagainya. Dan memang benar, dia memang Teleporter terbaik yang pernah kukenal. Bahkan Komandan Binta tidak bisa apa-apa saat Teleporter itu menempeleng kepala belakangnya."
Salah satu pria di kerumunan tersedak. "Tunggu, apa dia bilang?"
"Tapi, di saat-saat terakhirnya, aku tidak melihatnya berdiri menantang dengan jubah berkibar atau kulit sekeras logam." Suaraku tercekat. "Yang kulihat dari matanya cuma ketakutan. Aku melihat kaki dan tangannya gemetar. Aku mendengar suaranya bergetar. Di depan anak-anak Calor yang menangis, dia berkata bahwa dia memiliki trik sulap, lalu dia melompat menghadang patahan badan pesawat yang terbakar. Bahkan sampai akhir, aku bisa merasakannya—dia ketakutan. Dia tahu dia akan mati, dan dia takut, tapi Op tetap melompat."
Aku menarik napas. Bibirku bergetar.
"Tidak ada bedanya jika kau Fervent atau manusia normal," kataku lagi. "Mati, ya mati."
Hening lagi. Namun, orang-orang ini tampaknya masih enggan meninggalkan kami. Apa pun yang kami ucapkan tidak akan membuat perbedaan.
Raios, kataku menjangkaunya. Aku terima tawaranmu. Tapi, aku punya syarat.
Seketika itu juga, pesawat Specter muncul begitu saja di atas kami. Tampaknya pesawat itu sudah di sana sejak lama, tanpa bunyi mesin, menjalankan fungsi kamuflasenya. Semua orang mendongak, berdengap, lantas mulai mundur perlahan, tampak ragu-ragu untuk lari mau pun tinggal. Para personel bersenjata bersiap membidik, lalu teringat magasin mereka nyaris kosong. Embre bangkit dari posisinya dan mencoba mendorong kami mundur dari bawah Specter.
Dari pintu landasannya yang terbuka, seseorang melompat turun. Jarak pesawat itu ke permukaan tanah pastilah dua puluh meter lebih. Namun, orang itu mendarat dengan selamat di tengah-tengah kami dan menghasilkan ceruk sedalam setengah meter di bawah kakinya.
Para Pemburu kini membidik Raios, tetapi bisa kulihat tangan mereka gemetaran dan mata mereka disaput teror. Para penduduk sipil bahkan sudah belarian sebelum Raios turun.
Salah satu petugas patroli paling depan tiba-tiba mengangkat salah satu tangannya, menahan para Pemburu. Satu tangannya yang lain menekan earpiece di telinganya. Wajahnya memucat. "Ta-tapi, Pak—" Lalu, dia terdiam. Rahangnya jadi kaku. "Baik. Laksanakan, Komandan."
Pria itu lantas memberi perintah kepada kawanannya untuk mundur. Lalu, terdengar suara-suara yang mempertanyakan keputusan itu.
"Mereka membakar pemukiman," telisik salah satu Pemburu. "Mereka mencoba membunuh kita bersama Pyro—"
"Pyro tidak mencoba membunuh kalian." Raios bicara keras-keras, memastikan si Pemburu mendengarnya. "Pyro hanya menginginkan kepala ketua koloni lamanya, jadi ayahku membantunya ke sini. Soalnya,"—ibu jarinya menodong Embre—"ayahku juga ingin pria ini mati. Kebetulan saja kalian manusia menyusahkan terjebak di tengah-tengah sini."
Pria yang mendapat perintah dari Komandan itu mendorong rekan-rekannya lebih keras untuk mundur. Bisa kudeteksi kegelisahan dalam suaranya.
Dalam sekejap, kerumunan itu kocar-kacir.
Kami yang tersisa di sini tidak berani bergerak dari tempatnya. Semua orang menatap Raios seolah pemuda itu adalah dinosaurus yang baru jatuh dari langit ... yang mana menurutku agak benar.
Landasan pesawat terbuka lagi, kali ini menjatuhkan sesosok perempuan yang terikat tali tambang. Arka terlilit pula pada tali di lehernya, melecut-lecut mukanya. Jeritannya melengking, bergema ke seluruh lahan, hingga Truck dan beberapa anak Calor pun keluar dari istal untuk melihat.
Raios merentangkan tangannya, menciptakan medan energi yang seketika menghentikan laju jatuh Cliquoz si wanita Teleporter.
Seperti menyerahkan sekarung beras, pemuda itu melemparkan Cliquoz ke kaki Embre.
"Upeti damai, dan kalian boleh ambil pesawat Specter yang ini," ujar Raios seraya menunjuk ke atas. "Lagi pula, Komandan yakin kalian tidak akan bisa melewati pertahanan garis depan di Kompleks Sentral. Nah, Leila, ayo."
"Mundur," kataku pada yang lainnya saat mereka mencoba bergerak maju. "Jalankan saja apa pun itu rencana Sir Ted yang sebelumnya. Jangan melawan di sini."
Bak boneka yang digerakkan setelah aku memutar kuncinya, mereka bergerak masuk ke dalam seraya membawa Cliquoz. Semuanya ... kecuali Truck, Embre, dan Giok. Tampaknya mereka memang punya trik pertahanan sendiri terhadap Brainware, atau kemampuanku saja yang menumpul karena kelelahan.
Saat aku akan menyambut tangan Raios, seseorang mencengkram ujung bajuku. Aku disentakkan sampai berbalik, lalu Truck merenggut kerah bajuku. Satu tangannya membentuk bogem. Dia berteriak, "Apa-apaan kau—"
"Aku menuntaskan apa yang tidak bisa dituntaskan ayahku, Truck." Kusentakkan tangannya, tetapi dia tidak mau melepaskan bagian depan bajuku. "Sejak awal kita bodoh sekali karena lari dari Raios. Seharusnya kita terima tawarannya dari lama. Lihat, Truck, dia bisa mengantar kita ke Kompleks Sentral dengan mudahnya, tanpa korban jiwa. Dia menangkap Cliquoz dalam sekejar. Dia memberi kita Specter. Ini lebih dari sekadar yang bisa kita lakukan sendiri."
"Otakmu kenapa?" Truck menggertakkan giginya. "Kau merencanakan sesuatu, 'kan?"
"Raios," kataku. "Masuk ke dalam kepalaku dan lihat apakah aku punya motif lain selain menolongmu."
Raios terdiam sebentar. Matanya menerawang. Lalu, seolah seseorang menjentikkan jari di depan hidungnya, wajah Raios diisi kesadaran. Dia mengulas senyum. "Tidak ada. Rencana kita sama kali ini."
"Jangan bercanda." Gigi-gigi Truck menggeligis. Aku tahu betapa inginnya dia menempelengku sekarang. Jari telunjuknya menodong Raios. "Ingat semua yang kita katakan tentang dia selama ini? Ingat betapa kita semua membencinya?"
"Ingat saat kita setuju bahwa Komandan itu menjijikkan?" Aku balas bertanya pada Truck. "Ingat saat kau berpaling padanya demi menemukan adikmu?"
Truck melepaskan tangannya dariku. Matanya menatapku tidak percaya karena berani mengungkit itu.
"Aku juga sama, Truck. Saat ini, aku melakukan apa pun demi Alatas. Aku juga ingin pulang ke ibuku hidup-hidup. Aku capek melihat orang mati. Lagi pula—" Aku menolak bertemu pandang dengannya kali ini. Dengan lirih, aku melanjutkan, "Raios pantas mendapat kesempatan kedua."
"Apa?" Truck tersedak tertawa. Wajahnya mencemooh. "Sekarang aku benar-benar yakin, Leila, kau sudah gila."
"Bukankah sejak dulu kau memang beranggapan begitu?" Aku berpaling darinya lantas menyambut tangan Raios. "Aku serius berpikiran bahwa kau memang pantas mendapat kesempatan kedua."
"Tentu." Raios mengulurkan satu tangannya yang lain lagi. "Giok?"
"Oh, kau masih ingat padaku?" Giok berpura-pura tersentak, lalu menangkup dadanya dengan gaya tersentuh palsu. Dia bergerak maju ke arah kami, lantas menepuk bahu Raios. Sembari membenarkan kacamatanya, Giok berkata pada Embre dan Truck, "Sampaikan maafku pada Pak Timothy. Bilang padanya, aku hanya melakukan yang terbaik untuk bertahan hidup."
Specter di atas kepala kami mendarat dengan mulus di lahan kosong di sisi pagar istal. Lalu, tanpa menoleh dua kali, kami berteleportasi.
Kami tiba di hilir sungai yang hebatnya tampak jernih. Aku hampir tidak pernah melihat aliran air sebersih ini sejak ... berbulan-bulan ini. Hanya beberapa belas meter dari sungai, tampak sebuah pondok sederhana dari kayu.
"Ah, tentu saja." Giok mengangguk-angguk mafhum. "Kau sudah menemukan lokasi ayahku lagi. Padahal aku sudah meminta Pak Timothy membuat jejak palsu bahwa ayahku ke Kompleks 7."
Raios berdecak-decak seperti mencoba merendah. "Lain kali kau harus menggunakan Teleporter yang lebih lihai dan mulutnya lebih tertutup."
"Seharusnya kami menggunakan Op." Giok menendang batu lagi. "Jadi, Raios, katakan padaku, dua Specter yang menewaskan dua rekrut terbaik T. Ed itu rencanamu?"
"Bukan. Aku harus memberi kredit penuh pada ayahku untuk yang satu itu."
"Tapi kau tahu," terka Giok. "Dan kau diam saja."
Raios menjawab dengan ulasan senyum dingin yang seharusnya bisa membekukan sungai. Dia mengedik ke pondok. "Mana sopan santunmu? Ajak kami masuk menemui ayahmu."
Kuusahakan untuk terus mengosongkan pikiranku. Aku tidak mau tampak lemah saat diseret-seret kedua pemuda ini masuk ke dalam rumah ayahnya Giok. Aku tidak mau mereka tahu bahwa aku ingin sekali gemetaran ke bawah meja saat ayahnya Giok menyajikan tiga gelas teh.
"Anda tampak sehat sekali, Pak," ujar Raios saat si pria tua ikut duduk bersama kami. Memang benar. Si pria tua tak lagi tersengal-sengal seperti beberapa jam yang lalu, dan kakinya kini mampu menopang tubuhnya sendiri. Raios menyandar sampai kursinya terjungkit, matanya melirik ke dapur. Di sana, duduk seorang pria seumuran ibuku, duduk membaca majalah dengan bosan. "Saya tebak ... Cyone? Anda sungguh beruntung." Raios kemudian tersenyum ke arah Giok. "Bayangkan betapa repotnya jika Cyone itu hilang mendadak."
"Nak, kau sungguh perhatian." Ayahnya Giok mengerjap-ngejap, kurasa matanya belum sepenuhnya sembuh. Tangannya yang keriput terangkat, lalu mendarat di puncak kepala Raios. Pada titik itu, aku mengira air sungai bakal meluap dan pondok ini bakal berubah jadi ampas kehitaman di tanah. Namun, Raios tampaknya menahan diri (aku lega setengah mati!). Matanya yang biru dingin berkilat, tampak memercikkan listrik untuk sesaat, lalu padam.
Namun, si pria tua ternyata gemar memaksakan keberuntungannya. Dia menggosok-gosok puncak kepala Raios, membuat rambutnya berantakkan. Aku memejamkan mataku dan melantunkan doa tolak bala dalam hati.
Lalu, badai pun berlalu. Kami pamit dari pondok kecil yang asri dan damai itu, Bahkan di bawah langit gelap abadi, lingkungan ini tampak nyaman.
"Kembalilah kapan pun kalian mau, dan jangan lupa ajak Meredith lagi. Kalian selalu diterima di sini." Ayahnya Giok menepuk-nepuk kepalaku. Raios tampaknya belajar dari pengalaman dan menjaga jarak dari jangkauan si pria tua. Terakhir, pria itu memeluk Giok dan menitikkan setetes air mata ke bahu anaknya. "Cepat pulang jika ... pekerjaanmu sudah selesai."
Raios meneleportasikan kami untuk terakhir kali. Kini, kami berada di tanah kosong tandus tanpa rumput atau pohon atau bangunan apa pun, sangat kontras dengan lingkungan yang baru saja kami datangi. Puluhan kilometer jauhnya, tidak ada yang terlihat selain kekosongan.
"Ini Kompleks Sentral?" tanyaku kebingungan.
"Lihat atas." Giok memberi tahu.
Aku mendongak dan masih tidak bisa mencerna apa yang kulihat.
Tampak sesuatu yang menyerupai bagian bawah mangkuk logam raksasa di mataku, ukurannya ... entahlah, seperti sebuah kota, barangkali. Jaraknya sekitar 50 meter dari permukaan tanah, melayang-layang tanpa ada apa pun yang tampak menambatkannya ke daratan. Di atas pada bagian lingkar sisi-sisinya, terbentang tembok setinggi 50 meter lagi.
"Kota melayang itu punya bahan bakar yang tidak akan habis bahkan untuk seratus tahun ke depan." Giok memberi tahuku. "Itulah yang kau dapat dari penelitian antimateri yang mengorbankan seratus Phantom, Icore, Calor, dan Peledak. Ya, 'kan, Yos?"
Raios berdecak. "Pengorbanan yang setimpal untuk hasil sebesar itu."
Di pusat mangkuk raksasanya, sebuah lubang terbuka seperti pintu, dan turunlah pesawat Specter yang menjemput kami.
"Kenapa kita tidak bisa berteleportasi langsung ke dalam?" tanyaku.
"Kita bukan warga sini. Kalau muncul begitu saja tanpa supervisor, kita bakal ditembak di tempat." Giok menjelaskan lagi. "Ya, 'kan, Yos?"
"Kenapa kau menyebalkan sekali hari ini?" Raios menautkan alisnya.
Di dalam Specter itu, tidak banyak yang bisa kulihat dari Kompleks Sentral karena terlalu banyak yang bisa dilihat. Di setiap sudut, prajurit-prajurit yang masih muda berseragam atasan serba hitam seperti NC, tetapi bawahan mereka merupakan seragam kamuflase T. Ed Company, semuanya menyandang senjata dan sabuk-sabuk perkakas yang entah terisi granat atau permen penyegar napas—mungkin bagi mereka sama saja. Seisi Kompleks Sentral merupakan gedung-gedung pencakar langit, bangunan-bangunan persegi bergaya futuristik yang nyaris membuat mata jelataku meleleh, drone-drone beterbangan, jalan layang melintang artistik, lintasan-lintasan dan kereta maglev menyilang dengan anggun dan melewati terowongan-terowongan logam yang bersinar—segalanya memancarkan cahaya metalik di sini.
Namun, cahaya terbesar tampak di atas kami.
Seperti matahari kedua, bola api bercahaya menggantung di langit, berpendar hangat, kelihatannya tidak melakukan apa-apa selain menerangi dan menghangatkan tempat ini. Namun, aku bergidik menyaksikan kegelapan yang melengkung di atasnya—kegelapan dari Artificial Night, atau Limbo, atau lubang hitam, atau perantara intradimensi, atau apa saja mereka mau menyebutnya.
"Percaya atau tidak," kata Giok di sampingku. "Cahaya tiruan matahari itulah sumber Artificial Night. Rav ada di dalam situ. Semua Fervent yang terlibat Proyek Artificial Nigh pun masih di dalam situ. Mereka terjebak di dalam. Ya, 'kan Yos?"
Aku menatap ke bawah karena merasa ngeri kalau harus melihat ke atas. "Di mana Seli?"
"Aku sudah membawanya ke tempat tujuan kita. Dia bersama Meredith sekarang. Relevia-nya lumayan ampuh menjaga Meredith tetap hidup."
Aku menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.
Giok melirikku, lalu dia mengulurkan tangannya seperti ingin dijabat. Saat aku menyambutnya, tanganku merasakan sesuatu yang menonjol di balik lengan bajunya yang panjang. Bagian dalam mataku seperti disengat, tetapi Giok mencengkram tanganku kuat-kuat dan berkata, "Mari kita putuskan bahwa tidak ada dendam di antara kita karena kemungkinan besar, setelah ini, aku bakal mati."
Raios menyeringai. "Jangan pesimis begitu."
"Tidak ada alasan buatmu membawaku ke sini," kata Giok dengan wajah kosong, "kecuali kau butuh korban. Kau masih tidak yakin, 'kan, Rav mau membawa siapa?"
"Apa?" tanyaku.
"Kau tahu dongeng pria gagak dan bintang jatuh?" tanya Giok. Aku mengangguk. "Seseorang membuat cerita itu berdasarkan kejadian nyata. Ada yang bilang, gagaknya masih ada sampai sekarang, diawetkan oleh NC, disimpan entah di mana. Nah, dalam cerita itu, bintang jatuh membawa seorang manusia yang menanggung kesebelas kekuatannya. Padahal, selain si pria gagak, di dalam cerita itu masih ada manusia-manusia lain yang mendapatkan kekuatan serupa—si bangsawan, misal. Artinya, si bintang jatuh bekerja dua arah. Manusia mencari kekuatan darinya, dan ia mencari kekuatan dari manusia. Ratusan tahun setelah si pria gagak, bintang jatuh itu muncul lagi, membawa seorang wanita dari suatu suku pedalaman. Ratusan tahun kemudian, ia membawa lagi seorang wanita pada zaman perang dunia ke II. Sudah tiga kali. Ini yang ke-4."
Raios melebarkan senyumnya, dan aku belum pernah merasa sebergidik ini seumur hidup.
Giok masih menatap Raios dengan sorot tidak peduli. "Sekarang, kau tidak yakin Rav mau membawa siapa, 'kan? Apakah dia akan membawa Fervent, atau dia oke saja membawa manusia normal sebagai oleh-oleh ke sudut semesta sana. Makanya, kau membawaku, Leila, Seli, dan ayahmu—kami jadi semacam pilihan dalam menu: manusia normal, Multi-fervent keturunan Relevia, Relevia generasi kedua, dan Relevia generasi pertama. Kalau salah satu dari kami dibawa, kau bisa tinggal di sini dan menyimpan semua kekuatanmu, menyelamatkan Meredith, menghidupkan ibumu ... apa lagi? Menguasai dunia?"
"Hidup abadi." Raios merentangkan tangannya. "Seperti Rav, tapi tidak perlu menjadi bagian dari bintang jatuh."
Giok menyenggol pinggangku. "Seperti yang kubilang, jangan mendendam karena kita sudah sampai sejauh ini. Kalau kita bertahan hidup ... jangan balas dendam ke aku, oke?"
"Baiklah," kataku. Aku menarik napas lagi. "Tapi, kudengar saat di Herde dulu kau sering menculasi pacarku dan membuatnya kena masalah."
"Itu masa lalu. Alatas pasti memaafkanku."
"Tahu dari mana?"
"Dia Alatas," jawab Giok seolah itu seharusnya sudah gamblang.
Raios mengernyit kepadaku. "Kau tidak banyak menyanggah hari ini."
"Sudah kubilang, aku ingin membantumu. Aku tulus," kataku sungguh-sungguh. "Lagi pula, aku juga menginginkan ayahku dan Alatas kembali. Kau sudah masuk ke kepalaku dan kau tahu aku berkata jujur."
"Raios pantas mendapat kesempatan kedua." Giok mengejek, melengking-lengkingkan suaranya yang sama sekali tidak mirip suaraku. Kami mengabaikannya.
Specter mendarat di atas langkan terbuka. Langkan itu melingkari tiang metalik yang menjulang terus sampai tembus ke dalam bola cahaya raksasa di atas kami. Lalu kusadari tiang ini terlalu gemuk untuk disebut tiang. Ini sebuah bangunan, dan ada lift di dalamnya untuk membawa kami ke atas sana ... ke dalam bola bercahaya itu. Salah satu petugas wanita bersetelan kelabu memberiku seragam berwarna hitam. Ada Arka terjahit pada pinggang celananya.
"Alat ini tidak bisa meredam Brainware-ku, kau tahu, 'kan?"
Raios mengangkat alis padaku. "Memang apa yang bisa kau lakukan dengan Brainware lemah itu?"
Tanpa banyak bicara, kami digiring naik ke atas. Aku dibiarkan saja menenteng-nenteng senjata punya Alatas yang sejak tadi kubawa-bawa. Penjaga lift-nya adalah perempuan yang tadi memberiku seragam. Dia melaporkan ke Raios dengan nada manis menjilat, bahwa tim pengintai telah melihat kedatangan Specter T. Ed Company yang mencoba menyerang kemari.
"Bisakah jangan terlalu kasar pada mereka?" bujukku. "Mereka hanya memiliki kurang lebih 40 Fervent di dalam Specter itu, sebagian besarnya cuma Calor. Timothy Edison terluka, enam gadis Fervent korban PF13 yang mereka bawa sebagai tambahan pun masih tidak bisa mengendalikan kekuatannya, dan ada satu wanita Teleporter kanibal yang malah lebih membahayakan mereka daripada kalian. Sedangkan pasukan kalian di sini ada ratusan, semuanya terlatih."
Wanita penjaga lift tersenyum merendahkan. "Kami hanya akan mendorong mereka mundur. Tapi jika mereka memaksa, kami harus ambil tindakan."
"Apakah kita tidak bisa berkompromi saja?" Aku coba-coba bertanya ke Raios. "Teman-temanku hanya ingin menghancurkan sumber Artificial Night, kau mau mengambil semua kekuatan Rav dengan mengorbankan Giok—"
"Atau mengorbankan-mu," timpal Giok. "Bisa saja bintang jatuh benci manusia normal berkacamata."
"Kenapa tidak melakukan keduanya?" lanjutku.
Si wanita penjaga lift terkekeh geli seolah aku baru saja bersalto usai diberi biskuit. "Jika kami membiarkan teman-temanmu menghancurkan sumber Artificial Night, yang juga merupakan sumber energi Kompleks ini, tempat ini pun akan runtuh. Kalau begitu, kami semua yang ada di sini bisa repot. Rav akan bebas, tapi tetap mengambil salah satu dari kalian, dan Tuan Raios tidak bisa mendapatkan semua kekuatannya."
Di luar sana di atas puncak tembok yang mengelilingi Kompleks Sentral, mulai tampak letusan-letusan di langit. Sir Ted dan yang lainnya mencoba masuk dengan cara manual tanpa Teleporter ....
Seolah itu bukan apa-apa, kami tetap naik ke atas. Sesampainya di sana—
Ini adalah mimpi buruk dari yang terburuk. Tidak heran wanita di dalam lift tampak tak sabar mengeluarkan kami dan menutup pintu lift-nya lagi.
Dari mana aku harus menjelaskan? Lebih baik aku memulai dari yang bagus-bagus ....
Di dalam bola bercahaya itu merupakan ruang besar megah dengan atap melengkung dari perak. Kami tidak terbakar di dalam sini, yang artinya bola bercahaya ini bukan buka api, tetapi lebih menyerupai bohlam lampu. Di tengah-tengah ruangan, tampak sesuatu yang bertumbuh ke atas, mirip akar-akar pohon yang meliliti satu sama lain dan menjulang tinggi, mengular hingga mencapai ujungnya.
Di sini bagian mengerikannya: puncak dari benda mirip batang pohon itu menggumpal, hampir seperti bola seukuran dua buah rumah tiga lantai yang dilem jadi satu, dengan rambut-rambut mirip daun pohon beringin yang menjuntai ke bawah. Permukaan gumpalan itu kasar dan tidak rata. Namun, bagian yang tidak rata itu sama sekali bukan bonggol kayu pohon. Itu kepala.
Kepala manusia.
Dan yang menjuntai itu memang rambut.
Giok malah sudah jatuh berlutut di sisiku dan muntah ke lantai. Kacamatanya jatuh, lensanya lepas.
"Kau mengotori lantai," ujar Raios seraya menginjak lensa kacamata Giok sampai pecah. "Komposisi sumber Artificial Night terbuat dari tubuh 199 Fervent yang dipadatkan jadi satu—tentu saja pemandangannya seperti itu."
Di telingaku, aku mendengar banyak sekali jeritan meminta tolong berasal dari sumber itu. Di samping batang pohon manusia tersebut, seolah bernaung di bawah kepala-kepala manusia nan rimbun, berdirilah Komandan Binta dengan ekspresi memberengut. Kedua lengannya terlipat di depan dada.
"Raios," ujarnya, "apa yang kau katakan pada para Pemburu di Kompleks 1? Banyak sekali laporan masuk—informasi aku melepaskan Pyro di sana tersebar ke mana-mana." Lalu, seolah baru menyadari kehadiranku, sang Komandan mengangkat sebelah alisnya. Cengiran berot tersungging di wajahnya yang rusak separuh. "Ah ... tapi akhirnya kau menepati janji membawa gadis ini kepadaku. Kita tak dapat ayahnya, anaknya pun jadi."
Pria itu bergeser, menyingkap sosok mungil Seli di belakang punggungnya. Anak itu masih mengenakan gaun tidurnya, kedua tangannya memegangi bantal kapuk berbentuk bintang, dan sandal kelinci bulu menghiasi kakinya. Dia tampak ketakutan dan kebingungan di sana. Di sampingnya, Meredith duduk dengan mata terbuka, tampak tersengal-sengal. Aku nyaris tidak bisa mengenali mukanya yang penuh bekas jahitan, luka melepuh, dan bengkak. Meredith masih menggunakan piama rumah sakit, tetapi tampak darah merembes dari balik kain bajunya.
"Jadi, semua sudah siap?" Komandan merentangkan tangannya. "Bawa gadis itu kemari—bintang jatuh pasti suka sekali pada keturunan pria yang pernah menolak tawarannya mentah-mentah. Sesuai perjanjian kita, Nak, aku akan berikan separuh kekuatan bintang jatuh itu padamu setelah aku mendapatkannya."
"Leila," kata Raios. "Kau percaya padaku?"
"Tentu," kataku.
Raios mengeluarkan sebuah revolver dari saku sabuknya, dan menghujani dada Komandan Binta dengan tiga peluru sekaligus.
Seli melompat menjauh saat Binta roboh. Anak itu buru-buru berlari ke tepi ruangan yang melingkar, membopong Meredith susah payah bersamanya.
"Bagaimana?" tanya Raios sembari menunjukkan cengiran puas. "Tidak di titik vital. Dia masih hidup. Kau bisa menghabisinya sendiri. Sesuatu syaratmu."
"Cukup bagus," kataku. Kupicingkan mataku ke arah Binta yang terseok-seok, tampak syok dan ketar-ketir. "Kenapa dia tidak menyembuhkan dirinya sendiri?"
"Dia sudah tua. Relevia yang sudah tua akan mulai mengonsumsi sel dalam tubuh mereka sendiri. Kau kira, kenapa Pak Ted-mu itu tampak seperti akan mati sebentar lagi?" Raios menelengkan kepalanya. "Cepat atau lambat aku bakal bernasib seperti itu, jadi aku mengambil kekuatan Rav sekarang."
Kubantu Seli untuk membawa Meredith ke sisi kami. Kusandarkan Meredith di sisi Giok yang masih muntah-muntah. Kukatakan pada Seli untuk menjaga mereka. Lalu, aku kembali menghampiri Raios dan menggamit lengannya tanpa sadar. "Bolehkah aku membunuh ayahmu sekarang?"
"Tapi kita harus menawarkannya pada Rav hidup-hidup," tukas Raios. "Rav barangkali hendak membawanya."
"Raios," kataku seraya meraih revolver di tangannya. "Coba pikir. Ayahmu, ayahku, dan Sir Ted sudah pernah bertemu Rav saat pertama kali mereka mendapatkan kekuatan mereka. Tapi Rav tidak mengambil ayahmu. Bukan pria menggelikan ini yang diinginkannya. Rav menginginkan ayahku, tapi ayahku menolak tawarannya. Kau paham? Jadi ...."
Aku berhasil mengambil revolver-nya karena Raios tampak mengerti.
"Sebelum Rav mengambilku ... sebelum aku bergabung dengannya sebagai kesatuan energi yang sama dengan bintang jatuh itu ..." kataku getir, "aku harus membalaskan dendam ayahku. Tapi kau harus berjanji kau akan menghidupkan semua orang-orang yang kucintai. Kau harus mengembalikan Alatas juga ... meski aku takkan ada di sini lagi nantinya."
"Baiklah." Raios mengangguk.
"Raios ...." Binta bangkit berdiri. Satu tangannya menangkup dada. "Aku ini ayahmu ...."
Raios mengangkat alisnya. "Lalu?"
Aku menyiapkan senjataku, bersiap menembak. Mataku masih terpancang pada Binta. Rahangnya menggertak melihat senyumku.
Kueratkan gamitan tanganku di lengan Raios dan aku membidik kepalanya.
Saat letusan senjata terdengar dan membuatku tersentak sendiri, aku tahu bahwa aku meleset. Raios pasti menghindar.
Di belakangku, Giok merespons dengan cepat. Dia bangun dari akting muntahnya, menyiagakan senjatanya yang sejak tadi tersembunyi di balik lengan baju, dan menyelesaikan apa yang kumulai. Ketika Raios oleng dengan pipinya yang tergores oleh tembakanku, Giok membidik dan mengenai sasaran di perut.
"Aku tahu ...." Raios terkekeh. Mulutnya mengeluarkan darah. Namun, lubang di perutnya memuntahkan kembali semua serpih peluru itu sebelum menutup perlahan. "Bahkan meski aku tidak melihat apa-apa dalam kepalamu, aku tahu Giok memiliki rencana lain dan mengarahkanmu. Sejak tadi aku tahu, Leila, kau tidak bertingkan seperti dirimu sendiri. Tapi kalian bodoh. Senjata seperti itu—"
Giok menembak lagi, kali ini di dada kanan Raios hingga tembus.
Raios memuntahkan lebih banyak darah, tetapi dia masih tertawa.
"Tujuan kami bukan membunuhmu," kataku seraya membidik yang ayah agar pria itu pun tetap di tanah. Kami tidak bisa membunuh kedua Relevia itu, tetapi kami bisa memberi mereka rasa sakit luar biasa yang menghambat Fervor mereka—itulah fungsi peluru hollow-point di senjata Giok. "Tujuan kami adalah menghancurkan sumber ini pakai badanmu."
Aku mengambil kancing Reaktor Relevia-nya dari bajunya—benda mungil yang membendung kekuatannya agar tidak meledakkan tubuh fisiknya. Lalu, kuseret kakinya susah payah mendekati sumber Artificial Night.
Giok menembak sekali lagi untuk memastikan Raios tetap terkapar. Kami tidak bisa memberinya waktu untuk mengumpulkan kekuatan. Kami harus terus memberinya rasa sakit.
"Jadi, mau meledakkan badanku?" Raios menyengir. Gigi dan wajahnya bercelemot darah. Namun, bisa kulihat lukanya menutup lagi. "Kalian ingin melempar kancing itu ke bawah, lalu meledak bersamaku di sini?"
"Tidak." Giok menembak sekali lagi. Satu tangannya di pundak Seli. "Anak ini bisa meneleportasikan kami keluar. Lalu, kau dan ayahmu di sini ... bum."
"Lakukan, kalau begitu." Raios menantang.
"Seli." Aku berjongkok di depan anak itu, lalu kusadari matanya kembali berpendar keunguan. Dia menatap lurus ke pohon sumber Artificial Night dan tak berkedip sama sekali. "Seli, hei! Seli!"
"Ada apa dengan anak ini?!" Giok menembak Raios sekali lagi. Lalu sekali lagi. "Lekas!"
Lalu, magasin senjata Giok terbuka. Pelurunya habis.
Aku buru-buru menembakkan revolver milik Raios. Namun, kesempatanku menembaknya pun hanya dua kali sedangkan lukanya terus menyembuhkan diri. Lalu, peluruku habis.
Giok tampak sangat, sangat panik. "Senapan punya Alatas—"
"Tidak ada pelurunya," kataku. "Cowok itu selama ini membawa-bawa senjata yang tidak ada pelurunya. Kau kira kenapa dia nyaman sekali memeluk-meluk senjata ini?"
"Alatas goblok!"
Raios pun bangun.
"Giok, kau lebih pintar dariku—aku mengakui itu." Raios menjentikkan jarinya, dan melayanglah tubuh Giok utuh-utuh ke tangannya. "Tapi, kau tidak hidup sebagai Relevia. Kau tidak tahu bagaimana kekuatan ini bekerja. Bahkan meski kau mencoba membuat manual khusus tentang Relevia sendiri, waktumu di dunia ini tidak akan cukup. Kau ingin menggunakan Seli? Tapi anak itu melihat sesuatu yang tidak bisa kita lihat. Yang jelas, dia tidak akan pernah meninggalkan tempat ini. Sekarang, setelah aku tahu bahwa Rav mungkin tidak menginginkanmu, aku sudah tidak membutuhkanmu. Tapi akan kuberi kau kesempatan. Memohon maaflah."
Aku mendengar Giok mengeluarkan suara rengekan, lalu tangisan. Sekilas, kedengarannya seperti kekehan. Suaranya mengecil ketika Raios mencengkram kepalanya dengan kedua tangan.
"Maaf ...." Giok terisak. Lalu, dia mulai terbahak. Pemuda itu mulai menjerit histeris. "Maafkan aku karena ayahmu berengsek dan kau tumbuh jadi sosiopat seperti ini—"
Suaranya menghilang, digantikan suara krek! dan cras! memuakkan. Raios kemudian mencampakkan tubuh Giok yang tak lagi berkepala.
"Manusia sangat mudah mati." Raios menggerutu. Dia menendang tubuh ayahnya yang masih menggelepar. "Ya, 'kan, Leila?"
Aku masih berusaha menyadarkan Seli, tetapi anak itu tampak terjebak dalam keadaan trans.
Raios menghampiri kami, merebut kembali kancing Reaktor Relevia-nya.
Di dekat pintu lift, Meredith masih bersandar, separuh sadar dan tersengal-sengal sekarat. Kepadanya, Raios berbisik lembut, "Tunggulah, Sayang. Kau akan kembali seperti sedia kala setelah ini. Kau bahkan akan kubuat hidup selamanya."
Di sisi lain ruangan, tubuh Binta masih teronggok, luka tembaknya menutup dengan lambat. Aku bahkan ragu lukanya menutup sama sekali.
Raios menarikku serta Seli mendekati pohon sumber Artificial Night. Rontaanku tidak begitu berarti.
Kami telah tiba di bawah pohon sumber. Dari bawah sini, aku bisa melihat mata-mata yang melotot, bibir-bibir peyot yang menyatu ... lagi-lagi kudengar jeritan minta tolong mereka. Di bawah naungan pohon manusia ini, kurasakan energi tak kasat mata mulai menekanku. Kuku-kuku jariku seperti akan lepas, tenggorokanku panas, dan bagian dalam mataku gatal luar biasa. Telingaku mendengung. Aku mulai menggeliat.
"Tahan saja. Radiasinya tidak akan membunuhmu dalam waktu singkat." Raios menggerakkan tangannya, mengelupas kulit demi kulit batang pohon yang berdiri di hadapan kami.
Di balik batang pohon yang telah tercabik, seorang pria berdiri dengan mata terpejam. Akar-akar meliliti leher, lengan, kaki, dan menyelubungi lingkar kepalanya. Saat Raios mencabik akar terakhir, mata Rav yang biru terbuka.
Dan aku merasa tubuhku mulai dilelehkan dari dalam.
"Apa yang kau cari?" Suara itu menggema. Kurasakan darah mengalir dari lubang telingaku.
"Rav." Raios mengulurkan tangan untuk menyentuh wajah pria di dalam akar, tetapi aku mendorongnya dan menindihnya ke lantai.
Ini bukan serangan yang berguna. Raios menampikku dengan mudah dan mengganti posisi kami.
Namun, dalam dua detik jeda itu, suara ledakan terdengar di sekitar kami. Ruangan melingkar ini bergetar, lalu seluruh dindingnya retak. Kemudian segalanya pecah—dinding, atap ... hanya tersisa lantai yang kami pijak, pohon sumber yang menjulang bersama badan Rav terkurung di dalamnya.
Di bawah kami, kota menjadi gelap gulita. Sebuah Specter melayang-layang. Baling-baling jetnya berputar liar, mengganti arah menghindari tembakan dari bawah. Sekitar sepuluh orang Fervent berseragam unit penjaga Kompleks 1 mengepung, melecut-lecutkan listrik, menyemburkan api, dan mencoba berteleportasi ke dalam.
Seseorang menendang Raios dari atasku. Seseorang yang lain menarikku sampai bangun.
"Truck ...." Aku menatap pria itu yang baru saja menyepak Raios sampai terguling. Lalu, aku menoleh ke pemilik tangan mungil yang kini memegangiku. "Erion. Kenapa ...."
"Raios pantas mendapat kesempatan kedua." Truck meniru ucapanku, lalu kedua tangannya terulur, mencubit kedua pipiku. Kalian kira itu romantis? Itu bukan cubitan sayang. Itu cubitan orang yang mencoba merobek mukaku jadi dua. "Kau pembohong terbaik! Kau kira aku percaya omong kosong begitu?"
"Tapi, bagaimana kalian bisa sampai ke sini—"
Sesuatu yang panas melesat di atas kepala kami. Mulanya, kupikir itu serangan dari seorang Fervent yang mencoba menjatuhkan Specter T. Ed, tetapi kemudian kusadari itu semburan api itu berasal dari tangan Komandan Binta. Sejak kapan pria sialan itu bangun?!
"Erion!" Truck melambaikan tangannya, memberi isyarat pada anak itu, yang kini hanya menggunakan satu alat bantu dengar di satu telinganya. Namun, Erion tampak memahami Truck hanya dengan gerakan pria itu yang menghantamkan tinju ke telapak tangan. "Kau sudah pernah menghajar pimpinan koloni Calor, Komandan gadungan ini pasti bukan masalah buat kita."
Sementara Erion dan Truck berlari menerjang ke arah Komandan, aku melihat sosok tinggi menjulang lain di hadapanku. Awalnya, kukira itu Raios, tetapi kalau dipikir lagi, Raios tidak mungkin mengenakan baju kaus polos dan celana pendek hawaii.
"Neil," kataku membelalak.
"Anak Teleporter itu bodohnya minta ampun," ujarnya, dan kusadari dia tengah membicarakan Mo. "Dia berteleportasi sedikit demi sedikit, 10 kilometer demi 10 kilometer, sampai ke koloni kami. Sekarang dia teler di sana."
Aku membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tetapi Neil memotong dan menanyakannya lebih dulu: "Bagaimana kejadiannya?"
"Dia ... menyelamatkan anak-anak Calor—"
Neil meludah ke samping. "Tahi kucing. Itu bukan Op."
Maka, aku meralat, "Dia memamerkan pertunjukan sulap."
"Itu." Neil menudingku. "Itu baru Op."
Percakapan hangat kami diinterupsi oleh Raios yang melangkah mendekat. Dia meregangkan lehernya yang berbunyi, barangkali salah urat karena tendangan kaki Truck. Di sebelah pemuda itu, Meredith bersimpuh, tampak nyaris mati. Luka-luka di tubuhnya sudah terbuka, napasnya makin memendek, dan kian detik gadis itu kian dekat dengan kematian.
"Aku ...." Neil menatap Raios dengan pandangan resah, lalu dia menunjuk ke belakang dengan ibu jarinya. "Aku akan menyuport para Calor saja."
Dan lenyaplah si Teleporter.
Di bawah kami, kota telah menjadi porak-poranda. Suara debuman, asap, dan harum mesiu memenuhi udara. Bau gosong di mana-mana. Tembok yang mengelilingi seluruh Kompleks ini sudah terbakar hebat dan aku tahu itu pekerjaan Embre.
Raios menggeram. "Tidak ada waktu lagi."
Satu tangannya mencengkram rambutku, mengangkatku paksa dengan menarik kepalaku.
"Rav," kata Raios sekali lagi, tetapi aku menahan badannya hingga tangannya yang terulur tidak mencapai ke akar pohon. Aku mencoba meraih senapan Alatas di punggungku, barangkali aku bisa memukulnya sampai home run, tetapi Raios tidak memberiku celah.
Arka di pinggang celanaku, terjadi sampai ke baju atasan—andai saja aku menghancurkannya. Aku mungkin punya kesempatan. Meledakkan badan Raios, misal. Atau aku mungkin harus ambil risiko melepaskan celanaku ....
Tidak. Lebih baik mati.
Raios tiba-tiba membeku. Kupikir, aku berhasil. Namun, ini bukan berkat tindakanku sama sekali.
Kami menengok ke bawah, di mana Meredith telah memeluk kaki Raios erat-erat. Gadis itu telah merangkak beberapa meter dari posisinya sampai kemari. Bajunya basah oleh darah dari luka jahitnya yang tebuka.
"Aku ...." Meredith berusaha bersuara. "Tidak ... mau ... abadi."
Bahkan Raios sekali pun tertegun.
Aku memanfaatkan ini untuk berkelit dari tangan Raios. Kepalaku terantuk sesuatu ... lalu kusadari aku baru saja menyundul wajah Rav dengan ubun-ubunku.
Seolah kilat menyambar langsung ke kepalaku, membuatku buta akan sambaran sinarnya. Aku mendengar suara di dalam kepalaku.
Aku akan berikan apa yang kau cari, jika kau memberiku apa yang kucari.
Aku mencoba menampik suara itu, tetapi kemudian ia mencengkramku dengan sebuah visi.
Visi yang sangat, sangat indah.
Di bawah langit terang benderang dan tanah yang serba hijau, aku berdiri dalam sosok yang begitu sempurna—gambaran fisik paling sempurna yang bisa kubayangkan. Lalu aku melihat ayahku dan Alatas. Semua yang telah gugur: Pascal, Op, Sabang, Amy si gadis Icore ... mereka semua utuh, amat hidup. Aku berhasil menghidupkan mereka.
Semuanya bisa utuh lagi. Semuanya bisa hidup lagi. Aku bisa membangkitkan mereka yang mati. Aku bisa menebus dosaku.
Apa yang akan kuberikan kali ini, raga manusiamu takkan mampu menampungnya. Aku punya penawaran untukmu, Leila. Kau bisa menjadi diriku.
Jadi abadi. Aku, ayah dan ibuku, Alatas, Erion, Truck, teman-temanku ... aku bisa membuat mereka hidup selamanya hanya dalam satu jentikan jari. Cyone yang tak terbatas—kami akan selalu beregenerasi, takkan pernah terluka, dan muda seumur hidup. Bahkan meski aku menjadi Rav sekali pun ... meski aku hanya sebentuk energi murni, aku adikuasa—aku bisa membuat tubuh manusiaku sendiri yang sempurna. Aku tetap bisa bersama mereka semua.
Segala bentuk energi di bawah bumi dan di atas langit akan menjadi milikmu, seluruh pemikiran manusia ada di bawah kendalimu, kekayaan dan sumber kehidupan ada dalam genggamanmu, seluruh jalur akan terbuka untuk kau datangi, kemudaan dan siklus kehidupan akan menjadi abadi di dalam dirimu, tetapi salah satu dari kalian tidak boleh pulang kembali.
Aku tersenyum pada semua visi itu. Cahaya membutakanku, tetapi aku tak pernah melihat sejelas ini. Aku tinggal maju sedikit, menerimanya, dan—
Manusia tidak bisa abadi. Suara Ayah menggaung dalam kepalaku. Langkahku terhenti. Seketika itu juga, aku mampu melihat apa yang berada di balik semua kesempurnaan yang mengitariku.
Ayah dan ibuku, Alatas, Erion, Truck, teman-temanku—Fervent mau pun manusia normal. Semua orang yang kuinginkan menjadi abadi ... beberapa tahun yang amat membahagiakan itu akan bertahan ... selama beberapa tahun semata.
Seratus tahun dari sekarang, kami akan tetap sama—berwajah dan berpenampilan sama.
Lalu, kami dikuasai kejenuhan.
Meski dengan fisik sempurna, bagian dalam kami masih manusia. Rasa bosan manusia menghantui. Seratus tahun berikutnya, kami berpencar. Tidak ada lagi alasan untuk bersama—kami abadi. Kami sudah tidak perlu saling melindungi.
Tidak ada lagi kecacatan untuk dicintai. Tidak ada lagi kekurangan untuk diterima. Tidak ada lagi kematian untuk dihindari. Tidak lagi senang-susah yang mengikat kami. Tidak perlu mencemaskan penyakit atau pun ancaman manusia lainnya. Tidak ada lagi yang perlu diperjuangkan.
Seratus tahun lagi—dan kami hanyalah cangkang kosong. Meski abadi, kami memiliki hal-hal yang membuat kami masih jadi manusia—emosi, rasa, ingatan ....
Tidak butuh waktu lama sampai Truck berusaha membunuh dirinya sendiri—penasaran bagaimana rasanya sakit dan terluka, ingin merasakan rindu sekali lagi terjadap Aria. Tidak butuh waktu lama sampai Erion meneladani langkahnya, mencoba mempereteli keabadian dari dirinya. Tidak butuh waktu lama sampai Alatas meninggalkanku, dan aku meninggalkannya. Apa lagi yang kami harapkan? Setelah ratusan tahun bersama, kami mulai muak terhadap wajah satu sama lain.
Kita manusia. Ayahku seolah berbisik sekali lagi kepadaku. Kita paling kuat di saat-saat terlemah kita.
Aku mengingat sosok Alatas, dan tangannya yang menaut tanganku. Tangannya yang penuh parut dan luka, kulitnya yang kasar, tetapi hangat. Luka-luka itu memberitahuku hari-hari yang dilewatinya di Herde. Percaya atau tidak, luka-luka itulah hal pertama yang kucintai darinya—bukan rayuannya, atau senyum manisnya, atau binar di matanya ... meski kemudian, aku juga mencintai itu semua.
Aku mengambil satu langkah mundur. Lalu satu lagi. Begitu aku keluar dari kabut, kudapati mata Rav kembali memejam. Di sisiku, Seli berdiri. Bibirnya mengulas senyum. Tangannya mengelus-elus batang pohon manusia itu dengan sayang, matanya masih tampak tak fokus.
Di belakangku, Meredith masih memegangi kaki Raios, memeluknya erat-erat.
"Tidak mau ...." Meredith terisak. Dia mempertahankan pegangan meski Raios mencoba menarik kakinya. "Aku tidak mau .... Raios, aku mencintaimu, tapi aku tidak mau terjebak denganmu seumur hidup. Aku ... harus pulang ... ke ayah dan ibuku suatu saat. Aku harus mati suatu hari—"
Raios mengangkat satu kakinya yang bebas, lantas mendaratkan satu tendangan ke wajah Meredith.
Lalu satu tendangan lagi. Dan satu tendangan lagi. Hingga tendangan itu jadi bertubi-tubi. Mataku berkedut menyaksikannya.
Dia. Menendang. Wajah. Meredith.
Lalu, kusaksikan dua gigi Meredith lepas, menyembur keluar dari mulutnya. Meredith yang lembut dan tak pernah menyakiti seekor kecoak pun yang paling dibencinya ... hidung mungilnya bengkok, bibirnya robek, matanya hampir tertutup. Suaranya berupa deguk napas patah-patah dan ringikan.
Melihat Meredith nyaris tak bergerak lagi, Raios berlutut dan memegangi wajah kekasihnya dengan lembut. "Aku akan memperbaiki ini." Pemuda itu menyeka segores darah di wajah Meredith dengan ibu jarinya. Dia mendekat dan mencium wajah Meredith yang sudah hancur. Darah Meredith menempel di bibirnya. "Tunggulah, Sayang. Aku kuperbaiki kau."
Sampai sana, akal sehatku sudah hilang. Aku meraih senjata laras panjang Alatas di punggungku, mengayunkannya ke kepala Raios.
Raios terlempar dan mendarat dengan wajah lebih dulu. Darah merembes ke rambutnya. Namun, tentu saja itu tidak membunuhnya. Dia bangkit, tangannya terangkat. Sinar energi kebiruan memancar dari telapaknya, tetapi aku melompat menghindari tembakannya. Di tempatku berdiri tadi, lantai berlubang, lalu runtuh sedikit demi sedikit. Jasad Giok yang berada di dekat sana pun merosot dan jatuh, tersedot gravitasi.
Aku mengangkat kepala, bersamaan dengan Truck yang juga menoleh ke arahku. Di hadapannya, Erion masih mencoba mendistraksi Binta dengan Phantom-nya. Truck dan aku memelototi lubang di lantai, lalu memelototi satu sama lain. Saat mata kami bertemu, sebuah pemahaman terbentuk.
Truck menarik Erion mundur. Aku mengikuti langkahnya. Kami memojokkan diri kami ke sekitar pohon manusia sumber Artificial Night. Di depanku, Raios mengumpulkan energi besar yang pasti akan membuatku menguap jadi asap kalau mengenaiku. Di depan Truck dan Erion, Binta memunculkan bola api besar yang luar biasa panas.
Truck membisikkan sesuatu pada Erion. Anak itu pun menoleh ke arahku, tangannya menggapai ke Arka yang terkait ke celanaku. Dia menekan tombol-tombol dan memutar gigi roda di sisinya, mematikan alat itu.
Coba dari tadi ....
Erion kemudian mengangkat tangannya, dan naiklah kami bertiga.
Sumpah demi apa pun aku tidak mau memegang kepala Fervent yang menggumpal-gumpal, tetapi hanya itulah caraku bertahan. Kami menggelantung, berpegangan pada rambut-rambut yang entah milik siapa. Kuangkat satu tanganku yang bebas, memancarkan gelombang energi yang sama dengan Raios seolah-olah aku bakal menyerang.
Neil! Aku menjerit sejadinya. Kau mau membalaskan kematian Op?!
Satu detik sebelum Raios dan Binta menembakkan serangan masing-masing, aku memadamkan gelombang energi tipuan di tanganku. Neil muncul tepat di belakang kami, menginjak gumpalan kepala, meraup kami bertiga ke dalam rengkuhan tangannya seperti seorang ayah yang mencoba memeluk atau menggulat anak-anaknya.
Kami berteleportasi ke sisi Meredith tepat saat tembakan energi Raios dan api Binta menghancurkan gumpalan kepala para Fervent. Gelombang listrik melecut-lecut, badai energi mengamuk selama lima detik yang singkat, menyebabkan lantai bergemuruh dan berguncang hebat. Lalu, pohon itu mulai terbakar dari atas, apinya menjalar ke bawah.
"Maaf," bisikku pada semua Fervent di dalamnya. "Beristirahatlah dengan tenang."
"Langitnya ...." Truck mendongak.
Di atas kepala kami, langit hitam tak lagi segelap sebelumnya. Tampak kilatan-kilatan ungu serupa petir yang membelah-belahnya, lalu udara di sekitar kami berdenyar, suhu meningkat pesat. Peluhku meleleh dari sekujur badanku.
Sementara langit di atas kami mulai tercabik dan meluruh, pijakan kami bergetar dan meraungkan bunyi bergaung.
Neil menelan ludah seraya memandangi sekitar. "Apa tempat ini bakal runtuh?"
"Pergi." Truck mengedik padanya. "Peringatkan semua teman-temanmu. Kerahkan semua Teleporter untuk mengungsikan sebanyak mungkin orang."
"Bagaimana dengan kalian."
Aku memfokuskan mata ke depan, di mana Raios dan Binta menatap kami dengan nafsu membunuh. "Kami masih harus membereskan dua orang ini—untuk Alatas, ayahku, dan semua yang sudah mereka lakukan."
Tangan Erion melimbai, seperti menyuruh Neil pergi, tetapi dia terlalu dekat hingga punggung tangan anak itu menampar Neil di pipi.
"Aku salah apa padamu?!" Neil memprotes.
Begitu Neil lenyap, aku berbisik pada Truck, "Berjanjilah padaku."
"Apa?" Dia mengangkat alisnya.
Kalau kita sampai pada titik penghabisan. Aku berbisik ke benaknya, entah dia mendengar atau tidak. Kalau kita sampai pada titik di mana harus memilih—kau harus menyelamatkan Erion. Kau boleh meninggalkanku, atau membunuhku sekalian. Aku akan melakukan hal yang sama jika akulah yang sampai di titik itu.
Karena aku merasa hanya dua dari kami yang akan keluar dari sini hidup-hidup. Karena dari perkataan Seli, jika kami tidak menemukan Alatas, akan ada satu lagi yang mati.
Akan kulakukan apa pun agar Erion tetap utuh sampai akhir.
Truck menggertakkan giginya. "Kau hadapi Raios saja. Aku dan Erion bakal bereskan Komandan."
Mereka berlari menyusuri lantai yang masih tersisa dan Erion langsung melancarkan serangan pertama; dia menyeret Binta dengan medan energinya.
Raios sendiri sudah melangkah ke arahku dengan mata merah, alis menukik marah, dan gigi menggeligis.
Aku belari menyongsongnya, betul-betul siap untuk pertumpahan darah.
Lantai berguncang dan kami berdua kehilangan keseimbangan. Senapan Alatas menggelincir lepas dari tanganku.
Raios melemparkan satu lagi gelombang energinya, tetapi kali ini tembakan itu tidak mencapaiku. Di sekitar kami, kegelapan tampak turun. Langit malam buatan seolah berubah menjadi gumpalan-gumpalan kabut hitam yang berjatuhan, dan kurasakan seperti ada yang menyedot kami ke segala arah. Meski tak ada angin, kaki dan tanganku seperti diregangkan, rambutku melecut-lecut. Sekujur tubuhku ditarik-tarik, tetapi sesuatu yang menarikku seperti tidak yakin ke arah mana. Bahkan Raios tidak lepas dari anomali ini.
Tunggu dulu. Kenapa pesawat-pesawat itu hilang begitu mendekati langit buatan ini ....
Gravitasi.
Langit buatan ini sedang ambruk dan kini berada di sekitar kami.
Kabut hitam meyurut, lalu menebal, lalu menyurut lagi. Dalam jeda-jeda tak beraturan itu, kota di bawah kami ambruk, terangkat, lalu longsor lagi. Pijakan kami sudah terpencar-pencar.
Meredith hampir menggelincir ke tepi saat aku menangkap tangannya.
Lalu, kusadari Raios menangkap tangan gadis itu yang sebelah lagi.
Setidaknya dalam hal ini kami kompak.
Ketika badai gravitasi menyurut, aku memanfaatkan ini untuk mencengkram leher Raios. Aku bisa meledakkannya, atau melemparnya ke bawah sana, atau ....
Di saat-saat terakhir, aku mendengar suara Meredith di benakku.
"Raios ...." Mulutku terbuka, dan suaraku berubah menjadi suara Meredith. "Raios, bukan ini yang kuinginkan—"
Raios membekap mulutku, menindihku ke lantai. Matanya nyalang. Giginya bergemeretak. "Jangan," desisnya, "gunakan suaranya. Jangan ambil memorinya. Berani-beraninya kau bicara mewakilinya—"
Raios tersentak saat Meredith memeluknya dari belakang, menarik tubuhnya dariku. "Raios ..." kataku lagi, masih dengan seluruh ingatan Meredith membanjir dalam kepalaku. "Aku percaya kau juga bisa diperbaiki."
Kedua tanganku menangkup sisi kepala Raios, dan kulakukan dosa paling besar seorang Brainware yang sejak awal aku sudah bersumpah takkan pernah menggunakannya.
Saat wajah bibinya membanjir ke dalam kepalaku, aku menghapus gambaran itu dari kepala Raios. Saat sosok ayahnya menjulang di hadapannya, kuhapus pula Binta dari ingatannya. Saat Giok memanfaatkannya, kusimpan kenangan itu jauh-jauh di sudut pikirannya yang takkan pernah bisa dijangkaunya.
Kuperbaharui kehidupannya. Kuhapus hampir segala hal yang membentuk dirinya. Semua pembunuhan yang dilakukannya kukubur dalam-dalam.
Kusisakan beberapa kenangan kecil.
Saat Raios masih mungil dan berbaring di sisi ibunya. Kepalanya dibelai untuk terakhir kali oleh wanita itu. Namun, aku menghapus ambisinya untuk menghidupkan kembali ibunya.
Saat Raios sedikit lebih besar dan berada di aula makan Herde, kubiarkan dia meresapi wajah-wajah teman lamanya. Giok, Alatas, Truck, Neil, Op ....
Saat Raios bersama Meredith dan Giok di dalam bungker, menyesap segelas teh buatan gadis itu. Setitik kecil kehangatan yang dirasakannya memang nyata untuk beberapa waktu yang amat singkat. Kubiarkan memori itu bertahan.
Saat Raios berada di pondok kecil di hilir sungai, seorang pria tua menepuk kepalanya—sesuatu yang tak pernah dilakukan ayahnya sendiri. Kupinjamkan sekilas memori milikku sendiri saat ayahku melakukan hal serupa padaku. Kuperlihatkan padanya apa itu kasih sayang. Kubuang jauh-jauh ambisi dan keserakahan yang menggerogotinya.
Pupil mata Raios membesar. Tatapannya kosong. Kepalanya mendongak, terkulai ke belakang.
"Tebus dosamu." Kuucapkan itu dengan suaraku sendiri, tetapi aku tahu bahwa benak Meredith yang membentuk kalimat ini. Aku hanya meminjamnya. "Tebus semua dosa-dosamu, bahkan meski seumur hidup kau mungkin takkan bisa menebus semuanya. Tapi, teruslah berusaha."
Raios mengerjap dan menegakkan badannya. Di punggungnya, Meredith melemas. "Ucapkan selamat tinggal pada Meredith," kataku saat dia berbalik untuk melihat Meredith, "dan tebus dosamu."
"Selamat tinggal." Raios membungkuk dan mengecup puncak kepala Meredith. Pemuda itu kemudian berdiri. Dia melangkah ke tepi, lalu jatuh.
Sekujur badanku gemetaran. Kurasakan kedua tangan Meredith merengkuhku. Suaranya tak terdengar jelas, tetapi benakknya membisikkan, Leila, terima kasih.
Badai gravitasi kembali mengamuk. Bak boneka perca, Meredith terseret ke sisi. Ujung jariku semata menyentuh rambutnya, tetapi aku belum menyerah. Aku menjulurkan seluruh badanku ke depan, mencoba mengapainya, tetapi kemudian tangan Meredith melimbai dan menepuk tanganku menjauh. Kepalanya miring ke satu sisi, tubuhnya ditarik ke sisi lain, dan terdengar bunyi krek memualkan.
Dan jatuhlah dia ke kegelapan.
Hingga detik ini aku tak tahu apakah gadis itu sungguh menepisku atau tubuhnya yang tak berdaya dikendalikan gravitasi yang kacau.
Aku kehabisan akal. Di ujung sana, Truck dan Erion berpegangan pada sisa-sisa akar dari pohon sumber yang masih terbakar dengan lambat. Di tengah-tengah itu semua, Seli berdiri dengan berpegangan pada Rav, menatap kosong ke langit. Di sisinya, Binta merangkak pelan namun pasti, mencoba meraih Rav.
Binta. Aku mengerahkan semua yang kumiliki, tak peduli seberapa benci dan jijiknya aku berada di dalam kepalanya. Kemari dan teleportasikan kami—
Retakan membuka di bawah pria itu, lantai tempatnya merangkak longsor seperti pusaran air, dan sang Komandan lenyap.
Neil! Aku melolong putus asa. Neil! Kami terjebak!
Tidak ada jawaban. Tidak ada yang datang.
Perlahan, aku merangkak. Tanganku mencakar ke lantai. Sedikit demi sedikit, kukerahkan energi Peledak ke telapak kakiku, berusaha membuat dorongan.
Gaya nuklir lemah lebih kuat daripada gravitasi. Aku mengingat ajaran ibuku yang bersikeras memberiku pendidikan meski aku tak lulus SMP. Bahkan balon dan roket bisa mengalahkan gaya tarik bumi.
Pakaianku tercabik, rambutku tercabut sedikit demi sedikit, tetapi dengan dorangan terakhir, aku menjadi roket manusia dan melompat ke arah Erion dan Truck.
Neil! Aku memekik putus asa saat tanganku menangkap salah satu cabikan akar yang masih terhubung ke Rav. Neil, kami masih menunggu!
Akar di tangan Erion tercabut dan sepetak lantai longsor di bawah kakinya, membawa anak itu ke kegelapan di belakangnya. Aku berteriak melepaskan peganganku, melompat, meraih, berusaha menangkap salah satu tangannya. Namun, yang kudapatkan hanya udara kosong.
Aku nyaris melompat turun, tetapi kemudian kudapat Erion masih bertahan. Kakinya masih memijak pada sepetak marmer keropos, menggantung rapuh pada dinding-dinding tiang terakhir yang menyangga sisa-sisa pohon sumber di atas sana. Tangannya mencengkram tepian lantai yang masih bertahan. Tanpa Phantom, anak itu pasti sudah tertarik ke bawah sana.
"Tidak apa-apa," kataku untuk menenangkannya. Aku meraihkan satu tangan untuk menjangkau, dan Erion berjinjit susah payah untuk menyambut tanganku, tetapi ujung jari kami bahkan tak bersentuhan. Terlalu jauh. "Tidak apa-apa, Erion. Aku ke sana. Kau akan baik-baik saja."
Aku merosot lebih rendah, perlahan dan hati-hati. Lantai menyerpih karena bergesekkan dengan badanku. Erion terus berjinjit, mati-matian menjangkaukan tangannya yang bebas ke arahku. Dia mencoba mengangkat badannya dengan Phantom, tetapi badai gravitasi seolah mencabik fokus medan energinya.
Dengan separuh badanku menjuntai di tepi jurang, mataku bertemu dengan mata Erion. Apa yang kulihat di sana mematahkan hatiku seketika.
Pipi anak itu berlinangan air mata.
Bibirnya bergetar dan giginya bergemeletuk ketakutan.
Keputusasaan terpancar dari sorot matanya.
Kengerian dan kepanikan menyelubungi wajahnya.
Tubuhnya gemetaran dari ujung kaki sampai kepala.
Tangannya begitu kecil. Tangan kiri berpegangan erat pada ujung lantai, menolak untuk jatuh. Tangan kanan masih terulur ke arahku, memohon untuk ditarik. Kami yang buta selama ini, tidak melihat Erion sebagaimana adanya: bocah laki-laki kurus yang ketakutan, bisu dan tuli, tak berdaya bahkan untuk sekadar mengeluarkan jeritan. Namun, dia tidak lemah. Dibandingkan kami semua, atau siapa pun di dunia ini, dia sama sekali tidak lemah.
Di belakang punggung anak inilah kami terus berlindung.
Aku turun dan memijak marmer yang lebih besar tepat di sebelahnya. Tangan kami berhasil bertemu. Kulihat tungkainya yang kecil gemetaran. Satu-satunya yang membuat batu pijakan Erion bertahan adalah bobot anak itu yang mungkin tak sampai 20 kilogram.
"Erion, percaya padaku," kataku dengan keyakinan yang bisa dibilang berlebihan. Di lihat dari sudut mana pun, kami berdua sudah tamat. Namun, aku takkan membiarkan anak itu tenggelam lebih lama dalam ketakutan. "Kau harus lompat ke arahku. Mengerti? Aku akan menangkapmu. Aku sudah memegangimu. Satu—"
Erion langsung melompat. Refleks, aku menariknya kuat-kuat. Takkan kubiarkan gravitasi tolol menariknya lebih dulu. Badan kami berbenturan. Di detik yang sama, marmer yang tadi dipijak Erion patah dan menghilang di kegelapan di bawah sana.
"Anak pintar." Aku menepuk-nepuk kepalanya. Kedua tangannya melingkari pinggangku erat-erat. Kakinya menginjak kakiku karena nyaris tak ada ruang yang tersisa di bawah batu pijakanku.
Sekarang apa?
Kami harus naik, tetapi bagian atas sana begitu jauh, benar-benar di luar jangkauan. Pijakanku yang hanya seluas permukaan buku tulis juga sudah mulai retak di bawah kakiku karena bobot kami berdua. Jika gravitasi sedikit lebih kuat lagi, tamatlah kami.
Aku mendongak, lalu terkesiap. Wajah Truck muncul di atas sana, berlumuran darah dan hidungnya bengkok, mungkin patah. Sorot matanya tampak liar, tetapi dia masih sadarkan diri. Aku hampir berteriak saking leganya, tetapi pijakanku berbunyi, keretak.
"Cepat." Kudengar suara Truck samar-samar. Tangannya terulur ke bawah. Dari ujung jarinya, darah menetes ke jidatku. Aku tak tahu apakah ini adalah darahnya sendiri atau darah Binta.
Aku memaksa Erion melepaskan pegangannya dari badanku. Dengan segenap tenaga yang tersisa dalam diriku, aku mengangkat badan Erion ke atas.
"Tangkap tangan Truck!" Aku menjerit. Suaraku mulai diisi kepanikan. "Erion, cepat!"
Neil! Aku menjerit lagi.
Truck berhasil mencengkram lengan Erion, mengangkatnya ke atas, tetapi kemudian tarikannya macet. Badan Erion berhenti di tengah-tengah, tak peduli sekeras apa pun Truck menariknya. Semula, kukira Truck telah kehilangan tenaganya, lalu kusadari ....
Satu tangan Erion masih mencengkram kerah bajuku, menolak melepaskanku.
"Erion, naik!" bentakku. Bahkan saat itu saja, pijakanku telah lenyap separuh, menyisakan gundukan kecil yang makin lama makin merosot. "Erion, lepaskan aku! Naik sama Truck!"
Erion menggertakkan giginya. Alisnya bertautan. Cengkramannya di bajuku justru makin kencang.
"Tidak apa-apa," dustaku dengan suara lirih. Aku menghela napas, lalu dengan suara yang lebih meyakinkan, aku berbohong lagi, "Erion, aku akan baik-baik saja. Pijakanku masih kuat. Aku akan naik sendiri."
Anak itu menolak memercayaiku kali ini. Air matanya berjatuhan di ujung hidungnya, dari dagunya, menetes ke wajahku hingga bercampur dengan air mataku sendiri.
"Erion, kumohon." Aku mencengkram pergelangan tangannya, berusaha memisahkannya dari kerah bajuku. "Pijakanku ... sungguh ... masih kuat. Aku—aku akan naik—"
Mataku kemudian bertemu dengan Truck. Lalu, aku memahami: sebagian dari diri Truck tidak benar-benar menarik Erion ke atas. Dia membiarkan Erion mencengkramku.
Aku mengerjap, memberinya peringatan singkat melalui tatapan mata. Kurasa, pria itu mengerti karena kemudian, dengan bibir mengatup rapat dan rahang mengejang, Truck membuang muka dariku. Matanya terpejam, lalu terbuka lagi, menampakkan sesuatu yang lain.
Dengan kehancuran total dalam sorot matanya, Truck mengeluarkan teriakan kencang dan menarik Erion sekuat tenaga, bertepatan dengan tanganku yang berhasil merenggut lepas cengkraman Erion dari kerah bajuku. Pijakanku menghilang, dan kulepaskan tangan Erion dari peganganku. Seluruh tubuhku ditarik ke bawah.
Truck dan Erion menjauh. Dan makin jauh. Kegelapan menelanku utuh-utuh. Sepertinya aku mendengar jeritan Erion di atas sana.
ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading
Secuil jejak Anda means a lot
Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan
Terima kasih untuk kiriman fanart Raios & Meredith dari Mak seirin11_04 ❤ (ɔˆз(ˆ⌣ˆc)
Duh pas banget pada mati (°◡°♡)
Kalo tamat di sini, saya dihajar, tidak?
⊂( ̄▽ ̄)⊃
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro