Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12. Majalah Dinding

Keesokan harinya sekolah dihebohkan dengan sebuah kertas yang tertempel di mading sekolah. Entah bertuliskan apa sebuah kertas itu, yang berhasil membuat seluruh siswa terbawa kepada sebuah perasaan yang amat dalam, mungkin karena membaca isi dari kertas itu.

Anya, Widi dan Bayu hanya bertanya tanya entah ada apa dengan seluruh siswa yang tak biasanya mereka seperti itu. Mereka bertiga berjalan menuju kelas, di setiap lorong menuju kelas semua siswa bersorak memberi semangat kepada Anya, yang Anya pun tidak mengerti ada apa dengan semuanya.

Seorang siswa laki-laki berjalan ke arah Anya.

"Selamat ya lo kepilih buat wakil olympiade." ucap siswa itu dengan menyodorkan tangannya sebagai ucapan selamat kepada Anya.

Anya hanya menganggukkan kepala saja, karena tidak mengerti dengan semua ini.

"Ini murid pada kenapa sih Ay, pada nyemangatin lo?" tanya Bayu tak mengerti.

"Mana gue tahu Bayu, gue juga bingung," balas Anya.

"Semua siswa kok pada liatin mading sih, emang ada berita apa?" Widi bertanya kepada Anya dan Bayu yang sebenarnya mereka juga tidak mengerti.

Karena menuju kelas X A sangat jauh, dan mereka bertiga penasaran dengan seluruh siswa yang tiba-tiba menyemangati Anya. Mereka pun akhirnya berjalan menghampiri mading sekolah yang berada di tengah-tengah lorong kelas XI.

Saat mereka berada di dekat mading, tidak henti-hentinya seluruh siswa menyemangati Anya.

"Ada apa sih, gue gak ngerti?" tanya Anya kepada seluruh siswa yang mengelilingi mading itu.

"Lo lihat aja sendiri," ucap seorang siswi.

"Permisi-permisi," ucap Anya membuka seluruh siswa yang berhimpitan, sehingga diikuti Widi dan Bayu.

"Puisi gue!" ucap Anya kaget.

"Kok bisa ada di sini, ini kan puisi gue, siapa yang nempelin?" tambah Anya.

"Selamat ya," ucap seorang siswi menepuk bahu Anya.

"Gue gak ngerti, sumpah gue gak ngerti!" ucap Anya dengan memegang kepalanya.

Seluruh siswa menjauh dari hadapan Anya dan mading, sehingga membuat Widi dan Bayu berjalan untuk melihatnya. Hanya tinggal mereka bertiga, yang berada di depan mading itu. Widi menyentuh sebuah kertas yang menempel di mading dan membacanya perlahan.

"Ay bener ini puisi lo?" tanya Widi.

"Itu emang puisi gue Widi!" tegas Anya.

"Yang gue gak ngerti itu, kenapa semuanya pada nyemangatin lo Anya?" tanya Bayu dengan menggerakkan jari telunjuknya.

Anya melihat ke arah jam tangannya yang menunjukan pukul enam lewat limapuluh. Masih ada waktu sepuluh menit lagi bagi Anya, untuk ke kelas Amanda sebelum Anya masuk ke kelasnya.

"Gue ke kelas kak Amanda dulu. Lo berdua ke kelas duluan aja, gak apa-apa," ucap Anya.

"Ya udah, ayo Bay!" ajak Widi kepada Bayu.

Anya berjalan berlawanan dengan Widi dan Bayu, Anya menyusuri lorong kelas XI di tengah-tengah kaki Anya berjalan menuju kelas XI A yang berada di lantai bawah. Sialnya Anya tidak tahu kelas Amanda di mana. Dan karena waktu masuk kelas sudah hampir habis, Anya terpaksa membalikan badannya dari lorong kelas XI itu menuju ke arah kelas Anya.

Setibanya di kelas masih tersisa waktu tiga menit lagi untuk Anya mengatur nafas, karena Anya berlari menuju kelasnya itu karena takut terlambat. Dan kalau sampai Anya terlambat sedetik pun guru yang mengajar di jam pertama akan menghukum Anya habis-habisan. Karena guru yang akan mengajar itu seorang guru yang sangat ditakuti dan disegani semua murid, dan beliau mengajar pelajaran kimia yang sama sekali tidak Anya minati dan mungkin juga bisa sebaliknya.

"Udah ketemu kak Amanda nya Ay?" tanya Widi.

"Belum, gue gak tahu kelasnya." ucap Anya dengan menyimpan tasnya di atas meja.

Seorang guru laki-laki berjalan masuk ke kelas Anya, guru yang masih muda sehingga membuat semua siswi perempuan berteriak pelan karena terpesona melihat wajahnya. Tapi tidak dengan Anya, ia terlalu membuang waktu hanya untuk bersikap bodoh seperti mereka yang tidak akan mungkin guru itu membalas teriakan mereka.

"Gila, baru kali ini gue lihat guru seganteng itu di sekolahan ini," ucap seorang siswi.

"Meleleh hati gue lihatnya, jangan jadi guru dong Pak. adi pacar aku aja!" tambah siswi yang lain.

Anya hanya bisa menoleh ke arah siswi yang terus saja membicarakan ketampanan guru itu.

"Percuma ganteng juga, ngajarnya kimia. Gue gak minat," ucap Anya yang menyadarkan Widi karena terus memandang guru itu.

"Terserah lo deh Ay, gue mau mandang mahluk tuhan yang paling seksi," balas Widi yang terus saja memandang guru itu.

"Nanti lo ketularan gila kayak mereka," ucap Anya.

"Bodo amat, lo mana tahu soal cinta." ucap Widi yang membuat Anya terdiam.

Seorang guru itu berjalan menuju mejanya yang berada di samping papan tulis, nampak tidak membawa buku ataupun yang lainnya. Semua siswa tidak mengerti guru itu akan mengajar mereka dengan apa? Kalau tidak membawa buku, apalagi ini pelajaran kimia.

Setelah beberapa menit guru itu duduk, kemudian beliau berjalan ke arah depan siswa, dan mengeluarkan ponsel dari saku celananya.

"Selamat pagi anak-anak," ucap Pak Lucky.

"Selamat pagi juga Pak," ucap seluruh siswi yang mendadak manis.

"Nama Bapak, Pak Lucky." ucap Pak Lucky.

"Hai Pak Lucky." sapa seorang siswi yang membuat Anya risih.

Pak Lucky hanya bisa tersenyum melihat tingkah aneh siswi itu. Dan dengan senyumnya yang manis, berhasil membuat seluruh siswi bersorak terpesona.

"Adem banget senyumnya, jatuh cinta gue," ucap seorang siswi.

"Dari mata turun ke hati," tambah siswi lainnya.

"Ini siswa laki-laki kok pada diem sih? apa gak ada cowok di sini?" tanya Anya yang berdiri karena risih mendengarkan siswi perempuan berkoar melihat ketampanan Pak Lucky, dan Anya pun menjadi tontonan seluruh siswi di kelasnya itu.

"Huuhhhhhh." sorak seorang siswi ke arah Anya.

"Gak pernah jatuh cinta sih lo," tambah siswi lain.

"Udah semuanya, kok pada ribut sih." ucap Pak Lucky yang menenangkan semua murid.

Anya kembali duduk dengan perasaan yang sedikit kesal.

"Lo sih, bikin malu diri lo aja," ucap Widi menyenggol bahu Anya.

"Ini kelas isinya bucin semua," ucap Anya dengan memutar bola matanya.

"Bubuk mecin!" tambah Anya lagi.

Widi hanya bisa tertawa mendengarkan perkataan Anya.

"Tenang ya anak-anak, Bapak di sini akan mengajar kimia," ucap Pak Lucky.

"Jadi, keluarkan buku kimia kalian." tambah Pak Lucky.

Semua murid sebenarnya sudah tahu, karena melihat dari papan jadwal pelajaran kalau Pak Lucky ini akan mengajar kimia. Yang tidak mereka tahu, kalau yang mengajar kimia ini guru yang tampan dan membuat semua murid terpesona melihatnya. Mungkin umurnya pun tidak berbeda jauh, dan tidak seperti guru-guru lain yang sudah berumur. Ditambah mengajar pelajaran yang sulit, membuat seluruh siswa bosan, tapi tidak dengan Pak Lucky.

"Pak, kok Bapak gak bawa buku sih?" tanya seorang siswa.

"Saya mengajar hanya dari ponsel yang saya miliki, gak perlu repot-repot bawa buku banyak." ucap Pak Lucky.

Semua siswa menganggukkan kepala, kemudian Pak Lucky menulis semua materi yang akan diajarkan kepada siswa. Hanya dengan modal ponselnya itu, Pak Lucky secara rinci merangkum materi yang tak sedikit pun terlewatkan dari buku-buku kimia yang tebalnya berlipat-lipat.

Setelah papan tulis penuh dan semua murid menyalinnya, Pak Lucky kembali duduk di dekat papan tulis, dan menjelaskan apa yang barusan beliau tulis kepada seluruh siswa-siswi. Cara mengajar Pak Lucky memang berbeda dari guru-guru yang lain, beliau tidak perlu membawa buku yang banyak dan hanya menggunakan ponsel seadanya.

Belum apa-apa, Pak Lucky sudah memberikan tugas kepada siswa yang membuat seluruh siswi membicarakan Pak Lucky lagi.

"Belum apa-apa udah ngasih tugas aja." ucap seorang siswi.

"Gak asik deh Pak Lucky bikin kita drop aja." tambah siswi lainnya.

Anya hanya bisa tersenyum sinis ke arah siswi yang tadinya membanggakan ketampanan Pak Lucky. Tapi saat Pak Lucky memberikan tugas, sama saja seperti guru-guru yang lainnya yang membuat Anya bosan harus berhadapan dengan pelajaran kimia, fisika, matematika, biologi, sejarah, dan masih banyak lagi. Dan kalau saja Anya boleh meminta lebih baik belajar tentang sastra.

**

Nampak Amanda yang sedang berjalan dari lorong kelas XI menuju ruang kepala sekolah, Amanda mengetuk pintu dan masuk ke dalam yang sepertinya akan membicarakan hal yang sangat penting.

Sebuah rak berjajar dengan berbagai piala dan penghargaan, mulai dari juara umum puisi sejakarta, juara umum fisika, kimia, matematika, sampai juara umum basket putra. Sekolah 212 Jakarta ini memang berbeda dari sekolah yang lainnya. Sehingga tidak aneh kalau banyak siswa yang ingin menjadi murid di sekolahan itu.

"Permisi Pak," ucap Amanda.

"Iya Manda, silakan masuk," ucap Pak Purnomo.

"Gimana? Kamu sudah memilih siswa yang ikut eskul sastra untuk menjadi wakil di olympiade?" tanya Pak Purnomo.

"Sudah Pak, namanya Anya Arsylia kelas X A. Puisinya bagus kok Pak meskipun dia memakai kata-kata yang sulit dipahami, tapi dalam artian sangat menyentuh hati, Pak," ucap Amanda.

"Iya terima kasih Manda, kamu boleh kembali," ucap Pak Purnomo.

"Permisi Pak." balas Amanda kemudian keluar dari ruang kepala sekolah itu.

Amanda sangat berharap sekali kepada Anya, semoga saja Anya bisa menjadi juara umum di tahun ke empat sekolah itu mengikuti olympiade sastra. Dari kejauhan nampak Anya yang berjalan ke;arah Amanda. Sepertinya Anya akan menanyakan hal yang membuat semua orang terus menyemangatinya.

"Kak Amanda." teriak Anya memanggil.

"Iya." balas Amanda yang berhenti dari langkah kakinya.

Anya mendekat dan menghampiri Amanda untuk bertanya soal mading sekolah pagi tadi.

"Kak Amanda yang nempelin puisi Anya bukan?." tanya Anya.

"Iya, gue disuruh guru pembina sastra buat nempelin puisi lo, karna menurut gue puisi lo itu bagus dan mereka setuju, jadi akhirnya gue nempelin puisi lo di mading, dan selamat yah lo kepilih buat masuk olympiade!." ucap Amanda dengan sangat jelas.

"Tapi Anya gak ngerti kak!." ucap Anya.

"Jadi gini gue jelasin!."

"Sekolah kita itu mengadakan olympiade se-jakarta sejak 7 tahun sebelumnya, dan olympiade itu bukan terdiri dari berbagai macam olahraga bisa juga berbagai mata pelajaran, seni atau yang lainnya."

"Dan sejak diadakannya olympiade sastra sekolah kita sudah melahirkan sastrawan terkenal di seluruh dunia, dan sekolah kita bangga dengan keberhasilan itu, dan kepala sekolah menjadikan olympiade sastra sebagai peluru pertama sekolah ini." ucap Amanda.

"Oh jadi gitu kak?." tanya Anya.

"Lo sekarang ngerti kan?."

"Iya kak." ucap Anya.

"Gue ke kelas dulu yah!." ucap Amanda.

"Iya kak." balas Anya.

Anya terus saja berdiri setelah Amanda berjalan menuju kelasnya dan meninggalkan Anya, Pak Purnomo melihat Anya dari kejauhan dan memanggilnya untuk masuk kedalam ruang kepala sekolah dan membicarakan olympiade itu.

Anya duduk dihadapan Pak Purnomo, Anya melihat keatas rak yang berjajar piala dan penghargaan, tidak lama Anya berada di ruang kepala sekolah itu hanya untuk membicarakan kesanggupan Anya untuk ikut dalam olympiade.

"Apakah kamu sudah mendengar dari Amanda Anya? kalau kamu kepilih untuk jadi wakil olympiade sastra tahun ini?." tanya Pak Purnomo.

"Sudah Pak!." jawab Anya.

"Bapak harap kamu bisa meraih piala dan penghargaan seperti di tahun sebelumnya!."

"Semoga saja Pak!."

Anya masih saja tidak mengerti tentang apa yang dibicarakan oleh semua orang di sekolah ini, kenapa mereka harus memilih Anya? bukankan lebih baik memilih senior dari pada junior yang baru masuk KIR sastra ini, lagi pula Anya merasa ia tidak sebagus itu. Anya terus saja bertanya-tanya dan tiba-tiba saja seorang pria berlari menuju kearah ruang kepala sekolah dan menabrak Anya.

"Aduhhh." ucap Anya dengan memegang tangannya.

****

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro