11. KIR Sastra
Keesokan harinya semua siswa kembali bersekolah seperti biasa, Anya bergegas menuju sekolah karena takut terlambat ke sekolah Anya bangun sangat pagi sekali, karena di hari Senin ini Anya tidak mau terlambat lagi ke sekolah. Anya diantar Pak Surno, supir pribadinya itu.
Karena takut terlambat Anya memasukan 2 potong roti dengan susuk kotak ke dalam kotak makan, selama perjalanan menuju sekolah Anya memakannya di dalam mobil. Anya mengirim sebuah pesan kepada Widi dan Bayu untuk bertemu di sekolah saja.
Sesampainya di sekolah Anya berlari menuju kelasnya, dan menyimpan tas untuk segera bergegas ke lapangan sekolah mengikuti upacara bendera. Nampak di dalam kelas, sudah ada Widi dan Bayu yang menunggu kedatangan Anya.
"Ay tumben lo pagian ke sekolah?" tanya Widi yang menyenggol bahu Anya.
"Gue gak mau dihukum pak Reno lagi Wid," balas Anya.
"Udah-udah, mending kita ke lapangan sebelum terlambat." ucap Bayu memotong.
Mereka pun berjalan ke arah lapangan sekolah untuk mengikuti upacara, semua siswa dan murid sudah berbaris. Anya dan Widi berjalan menuju barisan siswi perempuan, dan Bayu berjalan menuju barisan siswa laki-laki. Anya lebih memilih untuk berdiri di barisan belakang yang cukup teduh, sehingga bisa melindunginya dari terik mentari pagi, karena Anya tidak kuat untuk berdiri terlalu lama sehingga jikalau Anya duduk di bawah pohon itu, tidak akan ada guru yang mengetahuinya.
Upacara dimulai dengan sangat khidmat, semua murid terdiam dengan suasana yang terasa hening, tidak ada suara sedikit pun kecuali kicauan burung yang sesekali terbang di atas langit. Karena waktu upacara yang sangat lama dan entah ada apa dengan Bapak Purnomo, kepala sekolah Anya yang berbicara diatas mimbar dengan panjang lebar dan entah mengumumkan apa.
Anya mulai merasa pusing karena berdiri sangat lama mendengarkan pengumuman Pak Purnomo, sehingga membuat langkah kaki Anya mundur ke arah belakang untuk berteduh dan duduk di bawah pohon. Dan semoga saja tidak ada guru yang melihatnya, kalau sampai ada guru yang mengetahuinya duduk, bisa-bisa Anya kena hukuman yang lebih berat lagi.
Anya yang duduk itu memandang ke arah Widi yang terus berdiri, dan sebenarnya Widi sedang mengawasi jangan sampai Anya ketahuan oleh guru-guru, apalagi kalau sampai ketahuan pak Reno bisa gawat urusannya. Seorang siswa laki-laki berjalan dari arah samping secara diam-diam, sepertinya dia akan mengejutkan Anya yang duduk di bawah pohon itu.
"Kenapa kamu duduk di sini?" tanya seorang pria dengan suara yang dibesarkan, persis seperti suara pak Reno.
"Eu—" Anya tidak bisa berkata-kata dan langsung berdiri dari duduknya.
"Gue pasti bakal kena hukuman lagi deh," ucap Anya pelan ke arah samping dan menepuk jidatnya.
"Jawab saya, kenapa kamu duduk seperti itu?." ucap pria itu.
"Euu ... anu Pak," ucap Anya menoleh kearah suara itu dengan wajah yang menunduk malu.
"Haha lo takut ya?" tanya pria itu dengan tertawa sehingga membuat siswa yang berada di sekelilingnya melihat kearah mereka.
"Dasar lo ya," ucap Anya dan memukul ke arah pria itu.
Karena Anya pikir suara itu suara dari pak Reno. Pria itu terus saja tertawa dan membuat Anya memukul tangannya dengan sedikit keras karena Anya kesal dengan sikap pria itu yang hampir saja membuat jantung Anya jatuh kebawah kakinya.
"Aw, sakit tahu." ucap pria itu.
Anya langsung saja berhenti memukul pria itu yang nampak kesakitan, dan memandang pria itu dengan tatapannya yang tajam sehingga membuat pria itu menggodanya.
"Lo marah ya?" goda pria itu dengan menyenggol badan Anya.
"Berisik lo," ucap Anya dengan nada kesal.
"Sorry deh," ucap pria itu dan langsung menarik tangan Anya untuk duduk kembali bersama pria itu.
"Gue takut lo pingsan lagi." ucap pria itu kesekian kalinya.
Anya masih saja terdiam kesal mendengarkan ocehan pria itu dan Anya tidak akan menoleh lagi ke arah pria itu. Tiba-tiba saja pria itu membuka dasi yang menempel di baju seragamnya untuk diikatkan ke kepala. Pria itu merapikan rambutnya yang menghalangi setengah jidat, lalu mengikatkan dasi itu ke arah kepalanya dengan rambut yang sedikit acak-acakan membuat pria itu terlihat semakin keren untuk dipandang oleh mata Anya.
Anya menoleh dan memandang kearah wajah pria itu, dan membuat hati Anya terpanah setelah melihat pria itu dengan wajahnya yang sangat berkarisma. Pria itu mengibaskan tangannya ke arah Anya dan Anya terus saja menatap pria itu.
"Lo bengong yah?" tanya pria itu menyadarkan lamunan Anya.
"Hahh, enggak kok." ucap Anya yang langsung memalingkan wajahnya.
Setelah upacara selesai semua murid masuk ke kelasnya untuk mengikuti pelajaran, dan untungnya guru yang mengajar di kelas Anya tidak masuk karena sakit, dan membuat kelas Anya kosong pada jam pelajaran pertama dan ini merupakan kesempatan yang tak jarang bagi Anya, Widi dan Bayu serta semua teman sekelas Anya dapatkan.
Seorang siswi berjalan ke arah meja Anya dan Widi.
"Lo berdua dipanggil ketua sastra, disuruh keruangan sastra sekarang," ucap siswi tersebut.
"Iya makasih." ucap Widi.
Karena kelas Anya yang kosong, dan tidak ada pelajaran jadi tak masalah bagi Anya kalau harus kumpulan sastra pada jam pertama. Anya dan Widi berjalan menyusuri kelas-kelas yang berjajar hingga mereka sampai di depan pintu sebuah ruangan yang bertuliskan [ R. Sastra ]. Mereka pun langsung masuk ke dalam ruangan itu dan benar semua siswa yang mengikuti eskul sastra sudah berkumpul.
Anya dan Widi duduk di meja depan karena hanya meja itu yang tersisa. Setelah semua siswa berkumpul. Seorang siswi perempuan memperkenalkan dirinya.
"Selamat pagi, saya Amanda sebagai ketua Sastra di sini. Saya mengucapkan banyak terimakasih kepada kalian yang ikut serta dalam ekstrakulikuler ini," ucap Amanda.
"Selamat pagi juga, Kak." ucap seluruh siswa.
Kemudian Amanda membagikan sebuah kertas kepada seluruh siswa.
"Kertas ini kalian isi dengan identitas kalian ya, dan karya kalian sendiri bisa itu berupa puisi, cerpen, atau pantun bisa juga seni yang lainnya seperti menggambar juga boleh, pokoknya bebas ya sesuai bakat kalian masing-masing." ucap Amanda setelah selesai membagikan semua kertas itu.
Setelah semua anggota sastra itu menerima selembar kertas yang Amanda bagikan, mereka langsung mengisi dengan identitas dan bakat yang mereka miliki. Anya dan Widi sangat antusias mengisi selembar kertas itu begitu pun dengan siswa yang lainnya.
Dimulai dari Anya mengisi selembar kertas itu.
Nama : Anya Arsylia
Kelas : X A
Puisi
Sebuah Harapan
Seuntai kata yang sederhana serta penuh makna
Mengalir segenggam rasa disetiap detakannya
Harapan muncul karena sebuah perhatian
Dan membuat sebuah rasa hadir tanpa di minta
Harapan bukan hanya kata berharap pada sebuah rasa
Melainkan
Harapan harus dipastikan bahwa harapan itu pasti menuju ruang yang bernama kan hati
Jika kau tak ahli pada sebuah makna dari kata 'harapan'
Tak perlu kau bawa masuk segenggam rasa untuk tumbuh di dalamnya
Jika kau tak pandai memaknai 'harapan'
Kau tak perlu memastikan harapan itu nyata
Sebuah kata 'harapan' hanya hadir dihati seseorang yang dapat memahaminya hingga sampai dititik terdalam
Salam hangat Anya." tulis Anya diatas selembar kertas itu.
Setelah semua selesai, Amanda langsung kembali mengambil kertas itu dan disimpan diatas meja.
"Baik semuanya, saya akan memilih beberapa karya kalian yang sudah kalian tulis di kertas itu untuk di tempel di mading sekolah, karena setiap anggota yang baru harus menyalurkan bakatnya dan semua orang berhak tau bakat kalian melalui eskul sastra ini, dan semoga saja ada perwakilan dari anggota baru yang dapat dipilih untuk mewakili olympiade dalam berbagai media seperti dalam mata pelajaran, olahraga, serta di bidang seni ini." ucap Amanda dengan sangat jelas.
"Baik, karena untuk kumpulan yang pertama kali ini hanya untuk perkenalan serta menyalurkan bakat kalian, saya rasa cukup sampai disini semoga kita bisa bertemu di kesempatan selanjutnya!." sambung Amanda.
Semua siswa kembali ke kelasnya untuk mengikuti pelajaran selanjutnya. Anya dan Widi berjalan menuju kelas dengan bersenda gurau.
"Ay tadi lo bikin apa diatas kertas itu?." tanya Widi.
"Gue bikin puisi Wid!." balas Anya.
"Gue yakin pasti puisi lo bakal dipilih buat di tempel di mading Ay!."
"Puisi gue gak sebagus itu kali Wid!."
"Dari dulu lo suka bikin puisi Anya tapi gak jadi-jadi kan?, nah sekarang lo tunjukin bakat lo biar bisa ke pilih buat olympiade!." ucap Widi yakin.
"Semoga aja Widi!." ucap Anya berharap.
Sesampainya mereka di depan pintu kelas, merekapun langsung duduk. Jelang beberapa menit seorang guru masuk ke kelas Anya untuk mengajar di jam pelajar kedua. Pelajaran terus berlanjut sampai bel pulang berbunyi.
**
Suasana halaman rumah Anya selalu membuatnya tenang, dan untung saja senja hari ini akan jauh lebih indah karena mentari tak biasanya memancarkan cahaya yang begitu menggoda mata. Anya berjalan menuju kearah jendela kamarnya untuk menikmati secercah cahaya yang tak bisa di pungkiri keindahannya.
Jam dinding Anya sudah menunjukan detik-detik dimana langit dan awan akan terlihat berbeda, Anya terus saja memandang kearah barat dimana senja muncul dengan tersipu malu. Terdengar suara motor yang terus menerus di hidupkan dan sangat menggangu telinga Anya.
Anya berjalan keluar dari kamarnya itu dan melihat siapa gerangan yang membuat kebisingan itu.
Pria itu terus menghidupkan motornya, karna kesal sudah berapa kali pria itu menghidupkannya dan tak bersuara seperti biasanya, pria itu mengambil kerikil kecil dan melemparkan ya kearah Anya.
Hampir saja kerikil kecil itu menyentuh jendela kamar Anya kalau saja Anya membiarkannya, tapi tak Anya biarkan karena Anya mengambil sebuah bantal untuk membalikan kerikil itu.
"Woy lo, siapa lo, berani-beraninya lempar rumah gue lo!." ucap Anya teriak.
Pria itu langsung membuka helm yang dia kenakan, dan Anya mengenal jelas pria itu.
"Lo cowok gak jelas berisik tau gak? lo denger gak sih?." tambah Anya.
Pria itu terus saja menghidupkan motornya yang tidak mau menyala, karena Anya merasa terganggu dengan kebisingan yang di buat pria itu dan Anya sudah berusaha berteriak sekencang yang Anya bisa tapi pria itu malah menghiraukan Anya.
"Lo tunggu gue dibawah! awas aja lo ganggu ketenangan gue!." ucap Anya dengan mengepalkan tangannya.
Suara kaki Anya yang dihentakan dilantai membuat bunda bertanya.
"Ada apa sayang?." tanya bunda.
"Anya mau kedepan bun!." ucap Anya yang terus berjalan dengan kaki yang dihentakan.
"Ada-ada aja kamu." ucap bunda yang memperhatikan langkah Anya.
Setibanya didepan pintu Anya langsung membuka pintu itu dan berjalan menghampiri gerbang rumah, Anya celingukan mencari pria itu yang sudah tidak ada didepan gerbang rumah Anya, kemudian Anya membuka kunci gerbang itu dan berjalan sedikit menuju kearah depan.
Mata Anya terus saja mencari pria itu yang sudah kabur mungkin karena takut dipukuli oleh Anya, karena pria itu sudah tidak ada disana dan percuma juga bagi Anya kalau harus marah-marah di tengah jalanan itu nanti orang lihat Anya sakit jiwa. Anya pun berjalan lagi menuju pintu rumahnya untuk beristirahat.
Saat Anya ingin membuka pintu itu terdengar suara pintu yang akan ditutup dari arah rumah tante Ami yang mengagetkan Anya karena suaranya sangat mencekam dan membuat bulu kuduk Anya berdiri.
"Ada apa sih di rumah tante Ami?." tanya Anya.
****
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro