Bagian 22
Bimantara Putra.
Sebuah nama yang mampu membuat seorang Tavisha Xaviera kembali tak berdaya dengan masa lalu. Satu sisi Sasa tak ingin lagi kecewa, namun sisi lain pikirannya masih penuh dengan tanda tanya mengenai kehadiran Tara kembali di hidupnya.
Ucapan Rea beberapa saat lalu, lagi-lagi membuat hatinya kembali terusik. Haruskah dia bertanya untuk memantapkan langkah lupakan masa lalu? Ataukah ia biarkan saja semua tanpa jawaban, toh Tara mungkin bukan jodohnya?
Tak!
"Ngelamun mulu, kesambet tau rasa kamu." Raksa mengetuk pelan dahi Sasa dengan ujung jari telunjukknya, kemudian duduk di samping gadis yang tengah termenung sendirian di teras kamar menghadap taman kecil antara rumah utama dengan deretan kamar kos.
"Apaan sih! Rese' banget!" Sasa bergeser menjauh, ia tak nyaman duduk terlalu dekat dengan Raksa.
"Mikirin apa? Malem-malem duduk sendirian, pake ngelamun lagi." Raksa memutar tubuhnya menghadap Sasa.
"Ck, gak usah kepo!" Sasa beranjak, moodnya semakin berantakan.
"Eh, Sa! Ngomong-ngomong ada angin apaan kasih Mama buket coklat? Mau nyogok Mama ya? Gak usah pake sogokan juga Mama minta buat cepet lamar kamu." Raksa cengengesan meski sebenarnya banyak tanda tanya di kepalanya saat ini.
"Gak ada!" Sasa menutup pintu kamarnya dengan cepat. Kehadiran Raksa bukan di waktu yang pas, ia sedang tak ingin berdebat apalagi melihat tingkah konyol Raksa.
Raksa diam menatap pada pintu yang tertutup rapat di depannya, tanpa sadar sebelah tangannya terkepal. Entah kenapa ia ingin mengetahui bagaimana perasaan Sasa ketika gadis itu bertemu kembali dengan Tara.
Tadi, Saat Tara kembali dari proyek kafe cabang, Bu Yuli menceritakan pada Raksa tentang pria yang datang menemui Sasa, dari ciri-ciri yang mamanya sebutkan saja Raksa sudah dapat mengira siapa pria itu dan sialnya Raksa cemburu.
***
Tring!
Sebuah notifikasi pesan masuk mengagetkan Sasa yang kini hampir terpejam.
0813934xxxxx
Besok boleh aku jemput? Ada yang mau aku omongin, jadi aku akan ke sana lebih pagi. Bima.
Mas Tara? Dahi Sasa berkerut. Pria yang beberapa jam lalu membuatnya galau kini kembali dengan pesan yang entah kenapa menambah resah dalam hatinya. Apa yang ingin pria itu katakan? Haruskah Sasa menjawab pesan itu.
Sasa meletakkan asal ponselnya tanpa mengetikan jawaban apa pun, merebahkan diri dan berusaha kembali terpejam.
"Argh!" Sasa tak kunjung terpejam, hingga beberapa saat kemudian mengacak rambutnya kemudian menyambar ponsel yang tergeletak begitu saja di sampingnya.
Ya.
Dan setelahnya Sasa merutuki dirinya sendiri begitu tanda abu berganti biru. Beberapa kali memukul pelan kepalanya sendiri kemudian membawa tubuhnya tengkurap dan membenamkan wajah dalam bantal agar teriakannya teredam. Kenapa dia jadi selabil ini?
***
Remang cahaya tak sedikitpun menyamarkan sebuah senyum yang sedari tadi menghiasi wajah pemilik kamar. Netranya masih saja menatap pada layar kecil yang hanya menampilkan dua huruf sedari beberapa saat lalu ia membacanya. Entah dengan apalagi ia menggambarkan bagaimana perasaannya sekarang setelah hampir kehilangan harapan akan pesan yang berbalas, meski hanya dengan kata Ya.
"Semoga ini tanda kalo kamu mau kasih aku kesempatan, Sa," gumam Tara menutup jendela chat kemudian menatap lekat potret senyum seorang gadis yang sengaja ia gunakan sebagai wallpaper ponselnya sejak beberapa bulan belakangan.
***
"Udah siap?" Sebuah suara mengagetkan Sasa yang baru saja membuka pintu kamarnya.
"Astaghfirullah. Ngagetin banget sih kamu, Re." Sasa menepuk pelan dadanya agar debarannya normal kembali. Terlalu sibuk dengan pikirannya membuat Sasa tidak awas dengan sekitar.
"Ngagetin gimana sih? Biasanya kan juga barengan." Rea menaikkan sebelah alisnya seraya melipat kedua tangan di depan dada, mengamati sahabatnya yang dari gestur malah terlihat gugup.
"Mmm ... kamu kalo hari ini berangkat sendiri, gimana? Aku ... aku ada urusan." Sasa meringis kecil sedangkan kedua tangan memilin tali tas selempangnya.
"Kamu mau kemana?" Rea memicingkan matanya, mengamati lekat sahabatnya yang terlihat semakin salah tingkah.
"Aku mau..."
"Mbak Sa! Ada yang nyariin tuh," sela Mala salah satu penghuni kos yang terlihat berjalan mendekati keduanya dengan membawa tentengan plastik.
"Siapa?" Bukan suara Sasa, melainkan Rea yang bertanya.
"Aduh, lupa nanya namanya aku, Mbak Re. Pokoknya mas-mas, Mbak. Tinggi, putih, duh ganteng bangeeet." Mala menepuk pelan dahinya, kemudian tersenyum sembari sebelah tangan menyentuh pipinya ketika mengingat orang yang dia maksud.
"Halah! Lebay kamu, La. Kamu itu semua cowok juga dibilang ganteng. Tapi makasih ya," ucap Rea mengibaskan sekali sebelah tangannya kemudian beralih melirik Sasa setelah Mala melanjutkan langkahnya.
"Jadi ini alasan kamu, Sa? Pasti yang dimaksud Mala tadi, si Mas yang kemarin." Rea sedikit mencondongkan kepalanya ke arah Sasa dngan sebelah alis yang terangkat menanti jawaban Sasa.
"Iya," cicit Sasa yang kini terlihat tidak enak hati ketika Rea mengetahui alasan Sasa berangkat terpisah pagi ini.
"Yaudah, semoga sukses ya! Nggak usah jadian, langsung sebar undangan aja kalo serius." Rea menegakkan kembali tubuhnya dan menepuk pelan pundak Sasa dengan kedua alisnya yang bergerak naik turun untuk menggoda sahabatnya itu.
Sasa masih melongo di tempatnya berdiri setelah Rea melenggang pergi dari hadapannya. Sungguh reaksi dari Rea yang tidak Sasa bayangkan. Sementara bagi Rea, dengan siapapun Sasa nantinya, yang terpenting adalah sahabatnya itu nyaman dan bahagia.
"Udah siap?" Tara menghampiri Sasa yang terlihat keluar dari gerbang kos, Sasa hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Bisa kasih tau alamat kantor kamu?" ucap Tara seraya menarik seatbeltnya.
Setelah Sasa memeberitahu alamat kantornya, Tara melajukan kendaraannya menjauh dari kosan. Tanpa Sasa sadari, Raksa menahan napas melihat kebersamaan keduanya dari rumah utama. Ingin rasanya Raksa mencegah mereka, namun ia sadar dirinya tak memiliki alasan yang kuat untuk itu.
***
"Kamu kenapa pergi gitu aja?" Tanya Tara memecah keheningan dalam mobil yang sejak tadi menyelimuti mereka.
Tubuh Sasa menegang, ia juga tak mengalihkan sedikitpun pandangannya dari luar jendela meski sedari tadi pikirannya tak berada di sana. Sasa tahu jika suatu saat Tara akan menanyakan hal ini, tapi ia tak menyangka akan secepat ini setelah pertemuan mereka kemarin.
"Sa?" Tara mengerutkan dahi ketika tak ada suara apa pun yang keluar dari bibir Sasa.
Sasa beberapa kali terlihat membuka sedikit bibirnya lalu kembali mengatupkannya. Perlukah ia menjelaskan? Hingga kemudian ia merasakan mobil yang mereka tumpangi menepi di sebuah taman kota, barulah Sasa menyadari jika Tara menempuh jalan memutar dari rute yang seharusnya mereka lalui.
"Mas, ini?" Sasa mengedarkan pandangannya tanpa berniat keluar dari mobil.
"Aku mau ngomong, Sa." Tara memutar posisi duduknya menghadap Sasa, memandang tepat pada mata Sasa ketika pandangan mereka bertemu.
Sasa sempat sejenak menahan napas, tangannya menggenggam tali tas erat, atmosfer dalam mobil terasa semakin tegang. Sasa tau kemana arah pembicaraan Tara, mungkin sekarang saatnya ia menuntaskan semua.
"Kalau yang mau Mas tanyakan cuma soal kenapa pergi diam-diam, aku cuma mau memulai hidup aku dari awal tanpa ada Mas lagi." Sasa mengembuskan napas pelan.
"Kenapa nggak boleh ada aku lagi di hidup kamu?" Tara tersenyum getir, bodohnya ia masih menanyakan sementara dia sendiri tahu betul jika dirinyalah penyebab utamanya.
"Karena semua jalan buat aku udah ketutup. Terbukti, kalo Mas nggak akan pernah balas perasaan aku selama ini. Selamat buat pernikahan Mas ... Aku nggak nyangka malah ketemu Mas lagi di sini," cicit Sasa seraya membuang pandangannya ke luar jendela dengan senyum kecut di bibirnya, ia tak ingin lagi menangis.
"Kalo aku maunya nikah sama kamu, gimana?"
...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro