Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 19

Riuhnya suara hujan malam ini tak sedikitpun mengusik pria yang sedari tadi duduk sembari memandang potret seseorang di tangannya. Sasa, gadis periang yang kini berubah menjadi gadis yang hampir tak lagi dia kenali. Tak ada lagi panggilan manja atau celetukan riang padanya, membuat Tara merasa kehilangan. Bagaimana dia harus mengawali perjuangannya?

***

"Minta satu." Sebuah suara disertai gerakan tangan cepat mengambil setusuk sate miliknya membuat Sasa meradang. Entah sejak kapan pria ini muncul karena Sasa lebih banyak mengurung diri di kamar sepulang kerja hingga Rea menariknya keluar hanya untuk menuruti keinginan gadis itu untuk makan sate di gang depan kos.

Plak!

Mood Sasa yang sedari awal berantakan menimbulkan bukan lagi sebuah geplakan, namun lebih ke tamparan keras di lengan yang menimbulkan efek panas dan perih pada Raksa.

"Adugh!" Raksa yang baru saja memasukkan setusuk sate berteriak namun sedikit tertahan karena menahan daging ayam berlumur bumbu kacang itu tak melompat dari mulutnya serta menggosok lengannya menadakan tamparan Sasa di sana lumayan keras.

Tak menggubris reaksi Raksa, Sasa melanjutkan makannya. Ia sedang tak ingin menanggapai Raksa.

"Mas Dya, gak apa-apa?" Rea yang sedari tadi melihat apa yang terjadi di depannya menunjukkan wajah prihatinnya.

"Mas! Siji (satu) ya!" Raksa memesan sendiri, kemudian melihat serta bertanya pada Rea, "Temen kamu kenapa sih? Kayak induk ayam kalo anaknya diganggu."

"Ck, makanya liat situasi. Tadi itu Sasa habis ketemu....,"

"Bisa diem?" Ucapan Rea terhenti ketika tiba-tiba Sasa menyela disertai lirikan tajam.

Raksa yang sedari tadi menunggu Rea menyelesaikan ucapannya hanya bisa mengangkat satu alis saat Rea akhirnya hanya mengangkat bahunya tanda menyerah.

"Mas Dya kok udah di sini lagi? Enak ya punya usaha sendiri, bisa main tinggal-tinggal sesukanya," sindir Rea.

"Ck, nggak gitu juga kali. Ada keperluan di Bantul, enggak jauh-jauh banget jadi ya mending balik ke rumah dari pada nginep di penginapan." Raksa mulai menikmati seporsi sate yang baru saja terhidang di mejanya.

"Wah, keperluan apa tuh Mas? Pasti gebetan juga di sana, sampe di bela-belain bolak-balik Jakarta-Jogja." Rea melirik sekilas pada Sasa.

"Gebetan udah di depan mata, nggak perlu pake ke Bantul segala. Mau buka cabang deket jalan parangtritis, lagi survei beberapa tempat." Raksa menjawab Rea dengan melihat pada Sasa yang masih asik sendiri denga makannya.

"Aku duluan," ucap Sasa seraya beranjak untuk membayar pesanannya.

Rea dan Raksa hanya mengamati Sasa dari tempat mereka duduk, baru kali ini mood Sasa terlihat seberantakan itu. Sebuah kekehan kecil terdengar dari bibir Rea sesaat setelah menyadari satu hal.

"Kenapa ketawa?" Raksa bertanya dengan tatapan menyelidik.

"Hitung sampe tiga, Mas," jawab Rea namun tidak dimengerti oleh Raksa.

"Satu ... dua ... ti ... ga," lanjut Rea.

"Re!" Bersamaan dengan hitungan ketiga suara Sasa kembali terdengar di sebelahnya.

Raksa yang melihatnya kembali dibuat bingung dengan keduanya. Seporsi miliknya sebenarnya sudah habis bersamaan dengan Sasa yang tadi pergi, namun keinginannya menyusul Sasa terhenti karena ucapan absurd gadis di depannya.

"Nggak bisa bayar ya?" Rea langsung bisa menebak kemudian dijawab dengan anggukan oleh Sasa.

"Makanya ... bad mood boleh, tapi pikiran harus tetap dingin. Tadi kamu ke sini kan nggak bawa duit," ucapan Rea membuat Sasa mencebikkan bibirnya. Sasa akui jika sudah seperti ini dia tidak akan bisa tenang berpikir apalagi bertindak.

"Biar aku yang traktir kalian," Raksa bangkit dan bergegas membayar makanan mereka sebelum mendapat penolakan.

"Makasih ya Mas Dya. Tolong dimaklum ... gara-gara hai semenit bikin move on berbulan-bulan ambyar seketika." Rea melirik jahil pada Sasa yang berdiri di sebelahnya.

"Oooh," Raksa hanya ber-oh ria namun sesaat setelahnya raut terkejut membuatnya bertanya pada Sasa, "Siapa yang sai hai? Dia di sini?"

"Iya!" Bukan suara Sasa, melainkan Rea yang menjawab.

"Kok bisa?" Raksa yang masih diliputi rasa penasaran kembali bertanya pada Sasa, namun Sasa hanya mengendikkan bahunya lemas. Ia sendiri juga tidak tau kenapa dari sekian banyak kota, Tara malah bisa ada di sini.

"Jodoh kali mereka, Mas. Mas Dya ada saingan." Rea memberikan cengiran pada Raksa.

"Jangan sembarangan ngomong, dia udah nikah." Sasa melirik tajam sahabatnya kemudian mendahului langkah mereka.

Ternyata move on itu bukanlah masalah berjarak dan lamanya waktu, jauh jarak serta waktu selama apapun tak akan berhasil membuatnya pergi jika hati masih menginginkannya tinggal.

***

"Ma, aku ketemu sama dia. Dia di sini." Tara mengapit ponsel di antara telinga kanan dan bahunya.

"Apa? Sasa di sana? Kamu nggak bohong kan, Bim? Jangan-jangan kamu terlalu mikirin dia sampe ketemu orang kayak lihat Sasa." Suara Risa terdengar sangsi dengan apa yang dikatakan sang putra.

"Tadi dia bener-bener di depan Bima, Ma. Kami bicara meski nggak sebanyak ... dulu." Nada bicara Tara terdengar lemah di akhir ucapannya, sebuaah helaan napas panjang juga tertangkap pendengaran Risa. Sepertinya jalan putranya kali ini tak akan mudah.

"Udah, Bim. Yang dulu buat pelajaran, perasaan orang kita nggak akan pernah tau. Tapi, berdoa saja semoga kalian berjodoh karena dari sekian banyak tempat, kalian ternyata berada di satu tempat yang sama." Risa berusaha memberikan semangat untuk putra sulungnya.

"Iya, Ma. Tapi Bima nggak tau mesti mulai dari mana. Tempat kerja sama tempat tinggal Sasa di mana aja Bima nggak tau."

"Trus tadi gimana bisa kalian ketemu?" 

"Tadi Bima ketemu karena balikin dompet temen kantor Bima di lobi, mereka kenal." Tara seperti mengingat kejadian sore tadi.

"Kenapa kamu jadi telat mikir gini sih, Bim? Kalo mereka kenal itu artinya kamu bisa cari info dari temen kantor kamu itu. Ck, kamu ini."   Dari nada suara Risa terdengar gemas dengan sikap Bima.

Pembicaraan berlanjut hingga Risa memutuskan panggilan untuk beristirahat. Bima merasa sedikit ada harapan setelah berbicara dengan sang mama.

"Besok, semua dimulai. Semoga aku memang punya kesempatan buat bisa dapetin hati kamu, Sa." gumam Bima setelah kemudian perlahan matanya memberat dan terlelap dengan harapan baru untuk esok hari.

...




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro