Bagian 18
Gelapnya awan masih setia menemani perjalanan pulang Sasa sore ini. Sebelum hujan turun membelai bumi, Sasa cepat melajukan motor yang ia kendarai menuju kantor Rea terlebih dahulu untuk menjemput sahabatnya.
Sampai di pelataran parkir kantor, Sasa memarkirkan motornya namun Rea yang ternyata masih berada di ruangannya, karena sebelumnya Rea selalu menunggu di lobi ketika Sasa menjemputnya. Ia putuskan untuk menunggu di lobi kantor saja, sembari menanti hujan yang kini telah turun deras.
Tring
Sebuah pesan masuk, membuat Sasa yang sedari tadi masih memandang keluar pintu kaca segera mencari keberadaan ponselnya dalam tas. Sebuah pesan diikuti beberapa panggilan tak terjawab dari Rea terlihat di sana. Ternyata selama perjalanan tadi, Rea berusaha menghubunginya.
From : Rea🏵
Bentar lagi aku turun, tungguin ya.
To : Rea🏵
Ok!
Sasa kembali memasukkan ponselnya dalam tas. Ia lebih suka menunggu sembari melihat hujan dari pada memainkan ponselnya. Hingga tak selang berapa lama, Rea telah duduk di sebelahnya seraya menepuk pundak Sasa untuk menyadarkan Sasa akan kehadirannya.
"Malah ngelamun. Mikirin Mas Dya ya? Hayoloh. Baru juga sehari ditinggal berangkat."
Ucapan Rea secara spontan mendapatkan reaksi yang mengejutkan, Sasa menepuk keras paha sahabatnya yang dilapisi celana bahan panjang untuk menyalurkan kekesalan karena Rea beberapa hari ini terus meledeknya semenjak tahu jika Raksa telah mengenal mamanya.
"Sembarangan banget sih kamu, Re! Kalau Raksasa denger bisa besar kepala dia. Udah, ayo balik!" Sasa bangkit seraya membenarkan letak tasnya.
"Mau sakit?" Rea bertanya dan masih bergeming di tempatnya.
"Ya nggak lah. Amit-amit." Sasa menaikkan sebelah alisnya.
"Hujan, Sa. Mau pulang pakai apa kalau nggak hujan-hujan? Jas hujannya lupa aku masukin ke jok motor." Rea menunjukkan cengiran tanpa rasa bersalah.
"Ck, terus gimana donk?" tanya Sasa sembari melihat ke arah pergelangan tangannya. Waktu sudah cukup sore, dan tidak memungkinkan jika menunggu hujan reda.
"Yah gitu deh, pilihannya cuma nunggu apa nerobos?" Rea mengendikkan bahunya.
"Mm ... Hujan-hujan aja yuk kalau gitu?" Sasa mendesah pasrah, ia ingin segera sampai kos agar cepat bisa merebahkan dirinya. Ia cukup lelah hari ini.
"Yakin?" Rea menaikkan sebelah alisnya.
"Udah, ayok!" Sasa menarik tangan Rea agar mengikutinya ke arah parkiran. Mau tidak mau mereka harus menerobos hujan kalau tidak ingin pulang terlambat.
"Reana Shamira?" Sebuah suara menghentikan keduanya yang hampir mencapai pintu keluar lobi.
Rea yang merasa namanya disebut segera berbalik, sementara Sasa membeku di tempatnya. Suara itu? Sasa seperti mengenalnya, tapi apa mungkin orang itu ada di sini sekarang? Jantung Sasa berdebar tidak beraturan.
Semoga bukan dia, batin Sasa seraya perlahan ikut membalikkan badan.
Deg!
Sasa melihatnya, dia ... Tara yang beberapa langkah berdiri berhadapan dengan Rea. Kenapa dunia menjadi sempit? Dari sekian banyak tempat, kenapa pria itu malah ada di sini? Berbagai pertanyaan muncul di pikiran Sasa. Ingin dia segera menjauh, namun kakinya seolah enggan untuk bekerjasama. Ia bergeming di tempatnya, menatap lurus ke depan tanpa bisa mengalihkan pandangannya hingga suara Rea menariknya kembali pada kenyataan.
"Sa! Alhamdulillah, dompet aku balik!" Suara Rea terdengar sangat senang.
"Oh, Ah iya. Masih rejeki kamu." Sasa mengalihkan perhatian sepenuhnya pada Rea.
"Sasa?" Tara nampak terkejut melihat keberadaan Sasa di temoat kerja barunya.
"Loh? Bapak kenal?" Rea nampak bingung, namun hanya sebuah senyuman yang Tara berikan sebagai jawaban.
"Oh ya Sa, ini Pak Bima. Ternyata beliau yang udah nemuin dompet aku, Manajer produk yang mutasi dari kantor pusat. Orang Jakarta juga dia," Rea memperkenalkan pria yang telah menemukan dompetnya.
"Kami ... Udah kenal," cicit Sasa.
"Kenal?" Rea hanya menampilkan raut bingung, kedua orang di depannya ini saling kenal? Sesempit inikah dunia?
"Iya, kami tetangga." Sasa berusaha tersenyum.
"Hai, Sa. Kamu apa kabar?" Tara tersenyum pada Sasa. Ia tak menyangka jika niatnya menutup masa lalu malah membawanya bertemu dengan gadis yang belakangan mengusik hati dan perasaannya. Apakah hanya ketidaksengajaan atau sebuah takdir sebagai pertanda?
"Baik, Mas." Hanya jawaban singkat yang Sasa berikan.
Sepertinya alam sedang baik padanya, hujan di luar hanya menyisakan gerimis, membuat Sasa dengan cepat memanfaatkan kesempatan untuk segera pergi dari sana, menjauh dari Tara.
"Hujannya udah reda. Ayo, Re! Mas Tara, kami pulang dulu." Tanpa menunggu jawaban Tara, Sasa menarik tangan Rea agar bergegas mengikutinya.
"Eh, eh ... Sekali lagi terima kasih, Pak. Permisi." Rea berpamitan dengan terseok karena Sasa menariknya dengan cepat.
Tara hanya memandang keduanya berlalu dari tempat dirinya berdiri. Sasa ada di sini, di tempat yang sama dengannya dan ia tak akan menyiakan kesempatan yang Tuhan berikan untuk meraih hati Sasa kembali.
***
"Sa, lagi apa?" Kepala Rea menyembul dari luar ketika Sasa tengah merebahkan dirinya setelah makan malam.
"Mau tidur," sahut Sasa.
Rea menerobos masuk serta tanpa permisi ikut merebahkan dirinya di sebelah Sasa yang merebahkan diri di atas ranjang. Ia cukup hafal dengan kebiasaan sang sahabat, pintu yang belum terkunci menandakan Sasa yang memang masih sepenuhnya terjaga.
"Mau cerita?" tanya Rea, gadis itu menyadari tingkah aneh Sasa ketika bertemu dengan pria yang telah menemukan dompetnya.
"Enggak ada," sahut Sasa cepat.
"Yakin?" ucap Rea meyakinkan.
"Ck, apaan sih?!" Sasa melempar bantalnya tepat ke muka Rea, kemudian menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang seraya menghela napas panjang.
"Kenapa?" Rea ikut merubah posisi seperti yang dilakukan Sasa.
"Dia ... Mas Tara," cicit Sasa sembari menatap Rea.
"Mas Tara?" Rea seperti familier dengan nama itu, hingga sesaat kemudian, "Yang itu??"
Rea ingat, Tara adalah pria yang sering Sasa ceritakan padanya, pria pertama yang Sasa sukai semenjak SMA. Namun tak sekalipun Rea melihat wajah Tara, itulah sebabnya Rea tidak mengetahui jika sebenarnya Bima adalah Tara, nama yang sering sahabatnya itu sebut setiap bercerita.
"Aku baru sadar, kalau tadi kamu panggil dia Tara. Ternyata dia orangnya. Pantas saja kamu sampai susah move on gitu. Ganteng sih." Gumam Rea seraya meletakkan dagunya pada sela ibu jari dan telunjuk, seakan ia sedang berpikir.
"Ck, kenapa dunia jadi sempit gini," Sasa mendesah.
"Mungkin kalian emang jodoh. Buktinya dari sekian banyak kota, kenapa dia malah ada di kota ini?" Rea menampilkan raut serius.
"Jangan ngawur kamu. Dia udah ada yang punya, jadi bisa dipastikan semua cuma kebetulan." Sasa memberikan lirikan tajam pada Rea.
"Ah, kalau dia udah ada yang punya, paling nggak kamu masih ada Mas Dya. Jadi nggak ngenes-ngenes amat deh. Mas Dya nggak kalah ganteng sama dia kok, rame juga orangnya. Pasti hari kamu bakalan berwarna banget. Mmm ... kalian serasi tau. Bu Yuli juga kayaknya udah cocok. Kalau dia lamar, langsung terima aja daripada di patok ayam kalo kelamaan kasih jawaban." Rea mendadak merubah ekspresinya menjadi jahil dengan sebuah cengiran serta kedua alisnya yang bergerak naik turun.
Sasa melongo mendengar penuturan Rea. Ia tak menyangka sahabatnya semasa kuliah itu memiliki pemikiran yang luar biasa, lebih tepatnya luar biasa menyebalkan.
"Rea! Kamu kalau ngomong dijaga bisa nggak sih? Nyebelin banget pake bawa-bawa si raksasa!" Sasa memukulkan bantal kecil yang sedari tadi dipeluknya pada Rea, hingga membuat suasana kamar menjadi riuh akibat ulah mereka berdua.
Persahabatan itu memang unik, ketika seorang di antara mereka sedang galau, maka sahabat akan muncul untuk mengacau dan memperbaiki perasaan satu sama lain.
...
Kalian di tim mana nih gaes?
🎍 Sasa-Tara?
Atau
🎍 Sasa-Raksa?
Silahkan tentukan pilihanmu
😁😁😁
Thanks udah mampir baca cerita gaje aku ini...
Salam sayang
Rey💟💟💟
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro